Model Pemecahan Masalah (Problem Solving Model)


a.      Pengertian Problem solving
Pada pembelajaran matematika siswa sering berhadapan dengan masalah, sehingga diharapkan dengan pembelajaran matematika siswa mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Untuk melakukan hal tersebut dibutuhkan kemampuan pemecahan masalah. Menurut Krulik & Rudnick (1995: 4), “ It [problem solving] is the means by which an individual uses previously acquired knowledge, skill, and understanding to satisfy the demands of an unfamiliar situation”. Dari definisi tersebut problem solving dapat dianggap sebagai alat yang digunakan oleh seseorang untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang dimiliki sebelumnya, untuk mengatasi situasi (permasalahan) yang tidak biasa dihadapinya.
Usaha meningkatkan keterampilan penyelesaian masalah pada pandangan lain disebut juga dengan pendekatan heuristik, tujuannya adalah untuk mengajarkan keterampilan mengatasi masalah tertentu, yang dapat digunakan murid ketika mereka harus mengatasi masalah tertentu. Muijs & Reynolds (2008:187).
Pembelajaran dengan pendekatan problem solving oleh Boser (1993:2). Dinyatakan sebagai berikut :
Through participation in a series of practical problem solving activities that may involve designing, modeling, and testing of technological solutions it is assumed that the learner will acquire both technical knowledge and higher-order cognitive skills.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa selama siswa atau siapapun yang terlibat dalam rangkain aktivitas penyelesaian masalah, di dalamnya meliputi kegiatan merancang, memperagakan, dan menguji penyelesaian secara tekhnis, kegiatan tersebut diasumsikan bahwa proses belajar  merupakan usaha untuk mendapatkan antara pengetahuan secara teknik dan keterampilan kognitif tingkat tinggi.
Dalam buku Problem solving in School Mathematics yang ditulis oleh Branca menyebutkan bahwa “Branca views problem solving as a goal, a process, and a basic skill”. Menurut Ashalock, et.al. (1983: 238) dikatakan sebagai tujuan, karena ketika kita menerapkan model problem solving kita menginginkan siswa kita menjadi seorang pemecah masalah. Sedangkan sebuah proses dalam problem solving sendiri terdiri atas rangkaian kegiatan mengaplikasikan berbagai pengetahuan yang baru dan situasi yang tidak biasanya. Dan sebagai keterampilan dasar dikarenakan setiap kegiatan matematika selalu mengarah kepada penyelesaian masalah.
Pendapat lain tentang pengertian problem solving yaitu: “Problem solving included higher order thinking skills such as visualization, association, abstraction, comprehension, manipulation, reasoning, analysis, synthesis, generalization—each needing to be 'managed' and 'coordinated” (Garofalo & Lester, 1985, p. 169; dalam Krikley, 2003: 3).
Dari pendapat di atas kegiatan problem solving meliputi aktivitas keterampilan berpikir tingkat tinggi, seperti bagaimana seorang siswa dalam memvisualisasikan, mengelompokkan, mengabstraksikan, mengkonprehensikan, memanipulasi, menganalisis, sintesis, menggeneralisasikan tiap-tiap kebutuhan untuk di atur atau di koordinasikan.
Dari beberapa pendapat di atas model problem solving dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan maslah dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang dimilikinya sehingga masalah tersebut menjadi bukan masalah lagi baginya.
b.      Strategi Problem Solving
Dalam menerapkan pendekatan problem solving harus dilakukan dengan strategi yang tepat agar prosesnya dapat berjalan dengan efektif. Strategi problem-solving itu sendiri merupakan kemampuan yang harus dimiliki untuk menyelesaikan masalah itu sendiri, tanpa strategi yang tepat ada kemungkinan permaslahan itu akan terselesaikan dengan tidak sempurna bahkan tidak dapat terselesaikan.
Dalam pendekatan problem solving ada beberapa strategi yang dapat digunakan antara lain:
(1)   Find and use a pattern, (2) act in out, (3) build a model, (4) draw a picture or diagram, (5) make a table and/or graph, (6) write a mathematical sentence, (7) guess and check, or trial and error, (8) account for all possibilities, (9) solve a simpler problem, or break the problem, (10) work backward, (11) break set, or change point view. (Kennedy, 2008:116).

1.      Find and Use Pattern
Strategi ini biasanya digunakan bersamaa dengan strategi mencari pola dan menggambar tabel. Karena pada strategi ini siswa mengidentifikasi berbagai pola dan keberadaannya untuk menyelsaiakan permasalahan. Dalam menggunakan strategi ini, kita mungkin tidak perlu memperhatikan keseluruhan kemungkinan yang bisa terjadi. Yang kita perhatikan adalah semua kemungkinan yang diperoleh dengan cara yang sistematik. Yang dimaksud sistematik disini misalnya dengan mengorganisasikan data berdasarkan kategori tertentu, namun demikian, untuk masalah-masalah tertentu, mungkin kita harus memperhatikan semua kemungkinan yang bisa terjadi.
2.      Act in Out
Strategi ini menekan kepada bagaimana siswa memahami permasalahan dengan membuat hubungan antar komponen sehingga masalah menjadi lebih jelas melalui hubungan aksi fisik atau manipulasi objek. Strategi ini akan sangat membantu siswa dalam menemukan hubungan antar komponen yang tercakup dalam suatu masalah.
Dalam penerapannya, strategi ini akan lebih mudah dipahami apabila obyek kongkrit yang sebenarnya dapat diganti dengan suatu model yang lebih sederhana misalnya gambar. Untuk memperkenalkan strategi ini, berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari dapat digunakan sebagai tema atau konteks masalah.
3.      Build a Model
Dalam penerapannya strategi ini siswa menggunakan sebuah objek untuk merepresentasikan situasi permasalahan. Kegiaatan ini cenderung kepada menggunakan model untuk mempresentasikan sebuah situasi. kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui sekumpulan gambar atau bilangan. Kegiatan yang mungkin dilakukan antara lain dengan mengobservasi sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh kumpulan gambar atau bilangan yang tersedia. Sebagai suatu strategi dalam pemecahan masalah.
4.      Draw a Picture or Diagram
Pada strategi ini siswa diharapkan dapat menunjukkan apa yang terjadi dalam suatu  masalah dengan membuat gambar atau diagram. Strategi ini akan membantu siswa dalam menemukan informasi yang terkandung dalam maslah sehingga hubungan antar komponen dalam maslah tersebut dapat terlihat lebih jelas. Pada waktu akan menerapkan strategi ini. Kejelsan gambar tidak menjadi prioritas utama, akan tetapi gambar yang dibuat harus betul-betul mampu memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan yang ada
5.      Make a Table and/or Graph
Strategi ini mengarah kepada aktivitas siswa dalam mengorganisasikan dan merekam data kedalam sebuah tabel atau grafik. Selanjutnya siswa akan menemukan sebuah pola serta menemukan informasi yang tidak lengkap. Penggunaan tabel sangat efektif dalam melakukan klasifikasi serta menyusun sejumlah data sehingga apabila nantinya timbul permasalahan terkait dengan data tersebut akan dengan mudah dijelaskan kembali.
6.      Write a Mathematical Sentence
Strategi ini membantu siswa melihat hubungan antara informasi yang diberikan dan yang dicari. Untuk menyederhanakan permasalahan, kita dapat menggunakan variabel sebagai pengganti kalimat dalam soal. Strategi ini sering ditemukan dibuku-buku pelajaran, akan tetapi langkah awal anak seringkali mendapat kesulitan untuk menentukan kalimat terbuka yang sesuai. Untuk sampai pada kalimat yang dicari, seringkali harus melalui penggunaan strategi lain, dengan maksud agar hubungan antar unsur yang terkandung di dalam masalah dapat dilihat secara jelas. Setelah itu baru dibuat kalimat terbukanya.
7.      Guess and Cek, or Trial and Eror
Strategi ini dilakukan dengan memberikan tebakan terhadap seluruh kemungkinan penyelesaian masalah. Akan tetapi tebakan disini tidak hanya asal tebak. Tebakan tersebut haruslah disertai dengan alasan-alasan yang logis atau berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sehingga tebakan itupun dapat diuji kebenarannya disertai alasan-alasan yang logis.
8.      Account for All Possibilities
Dalam pelaksanaan strategi ini siswa akan mengurutkan secara sistimatis berbagai kemungkinan solusi dari permasalahan dan menentukan satu solusi yang sesui dengan situasi permaslahan. Strategi ini biasanya dilakukan bersamaan dengan strategi “mencari pola” dan “membuat tabel”. Karena kadangkala tidakmungkin bagi kita untuk mengidentifikasi seluruh kemungkinan himpunan penyelesaian.
Dalam kondisi demikian, kita dapat menyederhanakan pekerjaan kita dengan mengkategorikan semua kemungkinan tersebut kedalam beberapa bagian. Akan tetapi, jika memungkinkan kita juga perlu mengecek atau menghitung semua kemungkinan jawaban tersebut.
9.      Solve a Simpler Problem or Break the Problem
Strategi ini digunakan apabila siswa dihadapkan pada permasalahan yang cukup panjang atau lebih komplek. Permasalahan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa bagian yang lebih sederhana. Hal ini disebabkan, sebuah permasalahan kadangkala sangat sulit untuk diselsaikan karena di dalamnya terkandung permasalahan yang cukup komplek, hal tersebut dapat diselsaikan dengan cara menyelesaikan masalah yang serupa tetapi lebih sederhana.
10.  Work Backward
Suatu masalah kadang-kadang disajikan dalam suatu cara sehingga yang diketahui itu sebenarnya merupakan hasil proses tertentu, sedangkan komponen yang ditanyakan merupakan komponen yang seharusnya muncul lebih awal.
11.  Break Set
Ketika suatu strategi tidak dapat digunakan lagi, dibutuhkan pemikiran siswa yang lebih fleksibel, untuk melakukan dan mencoba sesuatu yang lainnya atau memikirkan tentang permasalahan tersebut dengan jalan yang berbeda. Strategi ini sering dilakukan ketika kita gagal dengan menggunakan strategi yang lain. Waktu kita menyelesaiak sebuah masalah, pada saat itu berarti kita secara langsung memandang permasalahn tersebut dengan sudut pandang tertentu.
 Kesebelas strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang merupakan kelengkapan pada saat memahami, mengorganisikan, mengimplementasikan, mengkomunikasikan masalah, menyelesaikan, dan membuat konsep matematika. Di samping itu, satu strategi bisa jadi tidak dapat diterapkan satu-satu. Berdasarkan penjelasan masing-masing startegi di atas, satu strategi ada kemungkinan membutuhkan strategi lainnya ketika akan digunakan dalam melakukan pemecahan masalah matematika..
c.       Langkah-langkah Penerapan Model Problem Solving
Dalam penerapan model problem solving, salah satu pendekatan yang terkenal adalah pendekatan Polya’s Approach. Menurut pendapat Polya ada empat langkah dalam melakukan pemecahan masalah sebagaimana pernyataan berikut ini
We shall distinguish four phases of the work. first, we have to understand the problem; we have to see clearly what is required. second, we have to see how the various items are connected, how the unknown is linked to the data, in order to obtain the idea of the solution, to make a plan. third, we carry out our plan. fourth, we look back at the completed solution, we review and discuss it”. ( Polya, 1973:5).
Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan ada empat langkah dalam melakukan penyelesaian masalah, antara lain : memahami masalah, membuat rencana penyelesaian masalah, melaksanakan rencana yang telah ditetapkan, dan memeriksa ulang jawaban yang diperoleh.
1.      Memahami Masalah
Memahami masalah merupakan langkah awal dalam menyelesaikan masalah, dikarenakan tanpa mengetahui apa yang terjadi tentunya kita tidak akan mungkin mengetahui bagaimana harus menghadapinya. Memahami masalah dapat dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan masalah tersebut, diantaranya apa yang diketahui dari soal, apakah yang ditanyakan soal, apa saja informasi yang diperlukan, dan bagaimana menyelesaikan soal tersebut, serta kemungkinan pertanyaan-pertanyaan lain yang mengarah pada pemahaman tentang masalah yang ada.
2.      Membuat Rencana Penyelesaian Masalah
Menyelesaikan sebuah permasalahan yang sudah dipahami tidak akan berjalan dengan baik. Dalam membuat rencana penyelesaian masalah, kita diarahkan kepada pemilihan strategi-strategi yang tepat dan berkaitan dengan permasalahan yang akan dipecahkan.
3.      Melaksanakan Rencana yang telah Ditetapkan
Jika siswa telah memahami permasalahan dan menentukan strategi yang tepat dalam menyelesaikan masalah. Langkah berikutnya adalah melaksankan penyelesaian soal sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, kemampuan siswa memahami substansi materi dan keterampilan siswa melakukan perhitungan-perhitungan matematika akan sangat membantu untuk melakukan rencana penyelesaian masalah.
4.      Memeriksa Ulang Jawaban yang Diperoleh
Memeriksa ulang jawaban yang diperoleh sangatlah penting, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah jawaban yang kita peroleh sesuai dengan ketentuan. Langkah ini juga akan menentukan apakah hasil penyelesaian yang kita dapatkan dapat diterima sebagai penyelesaian masalah, atau dilakukan penyelesaian kembali sampai mendapatkan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan.
Keempat langkah tersebut merupakan proses penyelesaian masalah yang paling sering digunakan dalam pemecahan masalah matematika, sehingga dalam pengembangan pedoman pembelajaran matematika yang akan dilakukan dilakukan dalam penelitian ini, mengikuti proses penyelesaian masalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Polya.

2.      Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia

Realistic Mathematics Education(RME) di Indonesia dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang secara operasional disebut Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia. Menurut Suryanto (2000: 111) yang dimaksud dengan “realistik” adalah pembelajaran matematika yang dikaitkan dengan “dunia nyata siswa” dan dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah yang mengandung situasi “dunia nyata siswa” disebut masalah kontekstual. Sutarto Hadi (2006b: 10) menyatakan bahwa masalah kontekstual dapat digali dari (1) situasi personal siswa, yaitu yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari siswa, (2) situasi sekolah/akademik, yaitu berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran siswa, (3) situasi masyarakat, yaitu yang berkaitan dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar siswa tinggal, dan (4) situasi saintifik/matematik, yaitu yang berkenaan dengan sains atau matematika itu sendiri.
Freudenthal (Gravemeijer, 1994: 82) mengungkapkan bahwa“Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah matematika sebagai aktivitas manusia, meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi pokok persoalan, kemudian aktivitas-aktivitas tersebutdinamakan matematisasi.
Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (Panhuizen, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan vertikal dengan penjelasan sebagai berikut “Horizontal mathematization involves going from the world of life into the world of symbol, while vertical mathematization means moving within the world of symbol”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa matematisasi horizontal meliputi proses transformasi masalah nyata/sehari-hari ke dalam bentuk simbol, sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri.
Gravemeijer (1994: 93) mengemukakan bahwa dalam proses matematisasi horizontal, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Pada mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal (menggunakan bahasa mereka sendiri). Kemudian setelah beberapa waktu dengan proses pemecahan masalah yang serupa (melalui simplifikasi dan formalisasi), siswa akan menggunakan bahasa yang lebih formal dan diakhiri dengan proses siswa akan menemukan suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai menemukan algoritma disebut matematisasi vertikal. Selanjutnya Gravemeijer (1994: 94) menggambarkan kedua proses matematisasi tersebut pada Gambar 1 di bawah ini.

















Menurut Hadi (2005: 21) dalam matematisasi horizontal, siswa mulai dari masalah-masalah kontekstual mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri oleh siswa, kemudian menyelesaikan masalah kontekstual tersebut. Dalam proses ini, setiap siswa dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan siswa yang lain, sedangkan dalam matematisasi vertikal, siswa juga mulai dari masalah-masalah kontekstual, tetapi dalam jangka panjang siswa dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk meyelesaiakan masalah-masalah sejenis secara langsung, tanpa menggunakan bantuan konteks. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa. Contoh matematisasi vertikal adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian.
Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas de Lange (1987: 101) mengidentifikasi empat pendekatan yang dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik. Pengkategorian keempat pendekatan tersebut didasarkan pada penekanan atau keberadaan dua aspek matematisasi (horizontal atau vertikal) dalam masing-masing pendekatan tersebut, seperti yang tergambar dalam Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2
Matematisasi Horizontal dan Vertikal dalam
Pendekatan-pendekatan Matematika

Jenis pendekatan
Matematisasi Horizontal
Matematisasi Vertikal
Mekanistik
­
-
Empiristik
+
-
Strukturalistik
-
+
Realistik
+
+


Tanda “+” berarti perhatian besar yang diberikan oleh suatu jenis pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu, sedangkan tanda “-“ berarti perhatian kecil atau tidak ada sama sekali tekanan suatu jenis pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu. Berdasarkan hal ini makapembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik pada kegiatan matematisasi horizontal maupun vertikal jika dibandingkan dengan tiga pendekatan yang lain.
Zulkardi (2006: 6) menyatakan  pembelajaran seharusnya tidak diawali dengan sistem formal, melainkan diawali dengan fenomena di mana konsep tersebut muncul dalam kenyataan sebagai sumber formasi konsep. Menurut de Lange (1987: 2) proses pengembangan konsep-konsep dan ide-ide matematika berawal dari dunia nyata dan pada akhirnya merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika kembali ke dunia nyata. Berikut digambarkan siklus matematisasi konseptual, dimana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber proses pengembangan ide-ide dan konsep-konsep, tetapi juga sebagai area untuk mengaplikasikan kembali matematika.
 







Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa dalam PMRI proses belajar matematika berlangsung dari situasi nyata, secara intuitif siswa pertama-tama memiliki konsep-konsep matematika melalui situasi dunia nyata. Dalam hal ini, siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu siswa mengorganisasikan, merefleksikan, menyusun masalah, mengidentifikasi aspek-aspek masalah secara matematika sehingga menemukan aturan-aturan atau relasi-relasinya.
Dengan adanya interaksi antarsiswa, antara guru dengan siswa, dan antara siswa dengan lingkungan sosial diharapkan siswa mampu menggunakan matematisasi vertikal dengan memformalkan dan mengabstraksikan konsep-konsep matematika sehingga melahirkan konsep-konsep matematika pada siswa.Setelah konsep-konsep matematika terbentuk, selanjutnya siswa diharapkan dapat mengaplikasikannya dalam masalah dan situasi yang berbeda.Kemudian, pada akhirnya dikembalikan lagi pada masalah dunia nyata.
Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas, Gravemeijer (1994: 91) menyatakan bahwa “Mathematics is viewed as an activity, a way of working. Learning mathematics means doing mathematics, of which solving everyday life problem is an essentialpart”. Maknanya, matematika dipandang sebagai suatu aktivitas, maka belajar matematika berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari merupakan bagian penting dalam pembelajaran.
Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara pandang terhadap pembelajaran matematika yang ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasar pengetahuan informal yang dimilikinya. Dalam pandangan ini, matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan oleh guru ke dalam pikiran siswa.

a.      Prinsip dan Karateristik Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia


Gravemeijer (1994: 90-91) mengemukakan bahwa terdapat tiga prinsip kunci dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1)      Guided reinvention and progressive mathematizing (menemukan kembali secara terbimbing melalui matematisasi progresif) berdasarkan prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu, prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini, strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing).
2)      Didactical phenomenology(Fenomena didaktis), berdasarkan prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan, yaitu memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing.
3)      Self-developedmodels (Pengembangan model sendiri), berdasarkan prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal, siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya, melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada yang dimiliki siswa.Tahapan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 3 berikut:
4)           
Gambar 3
Tingkatan Model Pendidikan Matematika Realistik (Gravemeijer, 1994: 102)
 



Berdasarkan gambar 3 di atas, Gravemeijer (1994: 100) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika realistik terdapat empat tingkatan yaitu situations (situasi), model of (model dari), model for (model untuk), formal mathematics (matematika formal). Tingkatan pertama, berhubungan dengan aktivitas dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini, siswa dikonfrontasikan dengan masalah kontekstual yang realistik.Tingkatan kedua, siswa mengembangkan model dari situasi masalah tersebut. Tingkatan ketiga, model dari situasi masalah tersebut berkembang menjadi model untuk pengetahuan formal matematika, pada tahap ini siswa tidak lagi berpikir terhadap situasi masalah melainkan sudah menggunakan representasi dengan simbol seperti angka, tanda bagi atau tanda kali dan sebagainya.  Tahapan model of dan model for merupakan kontribusi siswa terhadap proses pembelajaran yaitu penggunaan hasil dan konstruksi siswa sendiri. Selanjutnya, proses pembelajaran berlangsung secara interaktif antara siswa dan guru, serta siswa dan siswa. Pada tahap ini siswa dibimbing untuk mencapai pengetahuan matematika secara formal berupa algoritma, prosedur konvensional, notasi-notasi dan sebagainya. Dalam pembelajaran matematika realistik terdapat pendekatan secara holistik, di mana penerapan matematika sesungguhnya dilakukan secara terintegrasi antara bagian-bagian matematika itu sendiri maupun terintegrasi dengan bidang ilmu lain.
Menurut Gravemeijer(1994: 114-115) ada limakarakteristik dari pembelajaran matematika realistik, yaitu sebagai berikut.
1)      Penggunaan konteks, yaitu pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai awal pembelajaran harus masalah yang dikenali siswa.
2)      Penggunaan model, yaitu sewaktu mengerjakan masalah kontekstual, siswa menggunakan model-model yang mereka kembangkan sendiri sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain.
3)      Penggunaan kontribusi siswa, yaitu kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari konstruksi dan produksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah yang lebih formal. Dari hasil konstruksi dan produksinya diharapkan siswa termotivasi untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka sendiri anggap penting dalam proses pembelajaran.
4)      Interaktivitas antara siswa yang satu dengan siswa yang lain, juga antara siswa dengan pembimbing (guru) merupakan hal yang penting dalam pembelajaran konstruktif. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide yang berupa proses dan hasil konstruksi mereka sendiri melalui pembelajaran yang interaktif, seperti diskusi kelompok, kerja kelompok, maupun diskusi kelas. Melalui interaktivitas seperti ini, setiap siswa diharapkan mendapat manfaat yang positif.
5)      Terdapat keterkaitan diantara berbagai bagian dari materi pembelajaran, yaitu struktur dan konsep matematika. Dalam pembahasan suatu topik biasanya memuat beberapa konsep yang berkaitan. Oleh karena itu, keterkaitan antartopik harus dieksploitasi untuk mendukung proses pembelajaran yang lebih bermakna.
Dikaitkan dengan prinsip-prinsip pembelajaran dalam PMRI, Tim MKPBM (2001: 130-131) mengemukakan beberapa hal yang menjadi rambu-rambu berkaitan dengan penerapkan pendekatan PMRI dalam pembelajaran sebagai berikut.
1)      Bagaimana “guru” menyampaikan matematika kontekstual sebagai starting point pembelajaran.
2)      Bagaimana “guru” menstimulasi, membimbing dan memfasilitasi agar prosedur, algoritma, simbol, skema, dan model yang dibuat oleh siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada matematika formal.
3)      Bagaimana “guru” memberi atau mengarahkan kelas, kelompok maupun individu untuk menciptakan free production, menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal atau menginterpretasikan problem kontekstual sehingga tercipta berbagai macam pendekatan atau metode penyelesaian atau algoritma.
4)      Bagaimana “guru” membuat kelas bekerja secara interaktif sehingga interaksi di antara mereka antarsiswa dalam kelompok kecil dan antara anggota-anggota kelompok dalam presentasi umum, serta antara siswa dan guru.
5)      Bagaimana “guru” membuat jalinan antara topik dengan topik lain, antara konsep dengan konsep lain dan antara satu simbol dengan simbol lain di dalam rangkaian topik matematika.
Dengan mengkaji secara mendalam prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik tampak bahwa pendekatan ini dikembangkan berlandaskan pada filsafat kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang belajar secara aktif. Penanaman suatu konsep tidak dapat dilakukan dengan mentransferkan konsep itu dari satu orang ke orang lain, tetapi seseorang yang sedang belajar semestinya diberi keleluasaan dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam mengkonstruk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Aktivitas ini dapat terjadi dengan cara memberikan permasalahan kepada siswa. Permasalahan tersebut adalah permasalahan yang telah diakrabi siswa dalam kehidupannya. Akibat dari peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika realistik adalah berkurangnya dominasi guru. Dalam pendekatan ini guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.

b.      Sintaks Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia


Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMRI serta memperhatikan pendapat tentang proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI di atas, maka disusun sintaks pembelajaran matematika realistik Indonesia ini adalah sebagai berikut.
1)      Memahami masalah kontekstual.
Guru memberikan masalah (soal) realistik dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual (the use of context).
2)      Mendeskripsikan masalah kontekstual.
Setelah siswa dapat memahami masalah kontekstual yang diberikan, siswa diberi kesempatan untuk mendeskripsikan masalah kontekstual dengan melakukan refleksi, interpretasi atau mengemukakan strategi pemecahan masalah kontekstual yang sesuai untuk menyelesaikan masalah tersebut. Karakteristik PMRI yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik keempat yaitu adanya interaksi (interactivity) antara guru dan siswa.
3)      Menyelesaikan masalah kontekstual.
Siswa secara individual atau kelompok menyelesaikan masalah realistik dengan cara mereka sendiri. Perbedaan dalam menyelesaikan soal menggunakan lembar kegiatan, tidak dipermasalahkan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri dengan memberikan pertanyaan, petunjuk, dan saran, misalnya bagaimana kamu tahu itu, bagaimana caranya, dan mengapa kamu berpikir seperti itu.
Semua prinsip PMRI tergolong dalam langkah ini adalah penemuan kembali yang terbimbing dan matematisasi progresif, fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology), dan mengembangkan model sendiri. Karakteristik PMRI yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik kedua menggunakan model.
4)      Membandingkan dan mendiskusikan jawaban.
Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok, kemudian membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap ini, dapat digunakan siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya, meskipun pendapat tersebut berbeda dengan lainnya.Karakteristik PMRI yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik ketiga dan keempat, yaitu menggunakan  kontribusi siswa dan terdapat interaksi antara siswa dengan siswa lainnya.


5)      Menyimpulkan.
Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah realistik yang diselesaikan.Karakteristik PMRI yang tergolong dalam langkah ini adalah adanya interaksi antara siswa dengan guru (pembimbing).

c.       Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Matematika RealistikIndonesia


Menurut Mustaqimah (Asmin 2003:11) terdapat beberapa kelebihan dari pembelajaran matematika realistik Indonesia sebagai berikut.
1)      Memberikan suasana yang menyenangkan bagi siswa karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika.
2)      Melatih kemampuan siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga siswa tidak cepat mudah lupa dengan pengetahuannya
3)      Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya
4)      Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat serta memupuk kerja sama dalam kelompok
5)      Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya
6)      Memberikan pendidikan budi pekerti kepada siswa, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang berbicara.
Selanjutnya kelemahan pembelajaran matematika realistik Indonesiamenurut Mustaqimah (Asmin 2003: 11)sebagai berikut.
1)      Siswa sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu sehingga siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya.
2)      Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.
3)      Kesulitan mencari  soal-soal yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut pembelajaran matematika realistik Indonesiadan kesulitan mencermati proses berfikir siswa dalam melakukan  matematisasi horizontal dan vertikal, untuk dapat memberikan bantuan seperlunya. 
4)      Guru merasa kesulitan dalam mengevaluasi dan memberikan nilai karena belum ada pedoman penilaian khusus dalam pembelajaran matematika realistik Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FAKTA, KONSEP DAN PRINSIP DALAM MATEMATIKA

8 SMP Soal Pembahasan Garis Singgung Lingkaran

Turunan Fungsi