CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)
MODEL PEMBELAJARAN CTL
(CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)
Pengertian
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan
membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap
konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural),
sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel
untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
masyarakat.
Rasional
Dalam Contextual teaching and learning (CTL) diperlukan
sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu
mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta.
Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat
pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan
tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut
pengetahuan selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Pemikiran Tentang Belajar
Proses belajar anak dalam belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksi
pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Transfer
belajar; anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan
serta ketrampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam
kehidupannya. Siswa sebagai pembelajar; tugas guru mengatur
strategi belajar dan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan
baru, kemudian memfasilitasi kegiatan belajar. Pentingnya lingkungan
belajar; siswa bekerja dan belajar secara di panggung guru mengarahkan
dari dekat.
Penilaian Otentik
prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan
(pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian
otentik adalah pada; pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu
mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhr periode,
kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan
berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
Penerapan CTL dalam pembelajaran
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan engkonstruksi
sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin kegiatan
inkuiri untuk semua toipik. Kembangkan sifat keingin tahuan siswa dengan cara
bertanya. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
Hadirkan model sebagai contoh dalam pembelajaran. Lakukan refleksi pada akhir
pertemuan. Lakukan penilaian otentik yang betul-betul menunjukkan kemampuan siswa.
Terdapat lima karakteristik penting dalam proses
pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan oleh Dr. Wina
Sanjaya, M.Pd (2005:110),sebagaiberikut:
Pembelajaran
merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activtinging knowledge),
artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah
dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah
pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
Pembelajaran
kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan
baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara
deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan,
kemudian memperhatikan detailnya.
Pemahaman pengetahuan (understanding
knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk
dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain
tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan
itu dikembangkan.
Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman
tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang
diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak
perubahan perilaku siswa.
Melakukan
refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal
ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan
strategi.
Pembelajaran interaktif menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:297) adalah
kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa
belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No.
20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas
berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat
meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya
meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.
Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi pelajaran yang
diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan
berpikir siswa dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang
kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh
guru. Pendapat ini sejalan dengan Jerome Brunner (1960) mengatakan bahwa:
‘’Perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang
pembelajaran yang efektif di kelas’’. Selanjutnya menurut Bruner teori belajar
itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu preskriptif.
Hal ini menggambarkan bahwa orang yang berpengetahuan adalah orang
yang terampil memecahkan masalah, mampu berinteraksi dengan lingkungannya dalam
menguji hipotesis dan menarik generalisasi dengan benar. Jadi belajar dan
pembelajaran diarahkan untuk membangun kemampuan berpikir dan kemampuan
menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan itu sumbernya dari luar diri,
tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan tidak diperoleh
dengan cara diberikan atau ditransfer dari orang lain, tetapi ‘’dibentuk dan
dikonstruksi’’ oleh individu itu sendiri, sehingga siswa itu mampu
mengembangkan intelektualnya.
Pembelajaran interaktif mempunyai dua karakteristik seperti dijelaskan oleh Dr. H. Syaiful Sagala, M.Pd. (2003:63), yaitu: (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir; (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Pembelajaran interaktif mempunyai dua karakteristik seperti dijelaskan oleh Dr. H. Syaiful Sagala, M.Pd. (2003:63), yaitu: (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir; (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Proses
pembelajaran atau pengajaran kelas (Classroom Teaching) menurut Dunkin dan
Biddle (1974:38) berada pada empat variabel interaksi yaitu:
(1)
variabel pertanda (pesage variables) berupa pendidik;
(2) variabel konteks (context variables)
berupa peserta didik, sekolah dan masyarakat;
(3) variabel proses (process variables) berupa
interaksi peserta didik dengan pendidik; dan
(4) variabel
produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Dunkin dan Biddle selanjutnya
mengatakan proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik jika pendidik
mempunyai dua kompetensi utama yaitu:
(1) kompetensi substansi materi pembelajaran
atau penguasaa materi pelajaran;
(2) kompetensi metodologi pembelajaran.
Artinya jika guru menguasai materi
pelajaran, diharuskan juga menguasai metode pengajaran sesuai kebutuhan materi
ajar yang mengacu pada prinsip pedagogik, yaitu memahami karakteristik peserta
didik. Jika metode dalam pembelajaran tidak dikuasai, maka penyampaian materi
ajar menjadi tidak maksimal. Metode yang digunakan sebagai strategi yang dapat
memudahkan peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diberikan oleh
guru. Hal ini menggambarkan bahwa pembelajaran terus mengalami perkembangan
sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu dalam
merespon perkembangan tersebut, tentu tidaklah memadai kalau sumber belajar
berasal dari guru dan media buku teks belaka. Dirasakan perlu ada cara baru
dalam mengkomunikasikan ilmu pengetahuan atau materi ajar dalam pembelajaran
baik dalam sistem yang mandiri maupun dalam sistem yang terstruktur. Untuk itu
perlu dipersiapkan sumber belajar oleh pihak guru maupun para ahli pendidikan
yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran aktivitasnya
dalam bentuk interaksi belajar mengajar dalam suasana interaksi edukatif, yaitu
interaksi yang sadar akan tujuan artinya interaksi yang telah dicanangkan untuk
suatu tujuan tertentu setidaknya adalah pencapaian tujuan intruksional atau
tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan pada satuan pelajaran. Kegiatan
pembelajaran yang diprogramkan guru merupakan kegiatan integralistik antara
pendidik dengan peserta didik. Kegiatan pembelajaran secara metodologis berakar
dari pihak pendidik yaitu guru, dan kegiatan belajar secara pedagogis terjadi
pada diri peserta didik. Menurut Knirk dan Gustafson (1986:15) pembelajaran
merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan dan
evaluasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan
perancangan pembelajaran.
Selanjutnya Knirk dan Gustafson
(1986:18) mengemukakan teknologi pembelajaran melibatkan tiga komponen utama
yang saling berinteraksi yaitu guru (pendidik), siswa (peserta didik), dan kurikulum.
Komponen tersebut melengkapi struktur dan lingkungan belajar formal. Hal ini
menggambarkan bahwa interaksi pendidik dengan peserta didik merupakan inti
proses pembelajaran (instructional). Dengan demikian pembelajaran adalah setiap
kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu
kemampuan dan atau nilai yang baru dalam suatu proses yang sistematis melalui
tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar
mengajar. Dalam proses pembelajaran itu dikembangkan melalui pola pembelajaran
yang menggambarkan kedudukan serta peran pendidik dan peserta didik dalam
proses pembelajaran. Guru sebagai sumber belajar, penentu metode belajar, dan
juga penilai kemajuan belajar meminta para pendidik untuk menjadikan
pembelajaran lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri.
Sesuai dengan filsafat yang
mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka
dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif.
Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan
lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan
Respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang
tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa
yang tampak, pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang
dalam diri seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak
semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah
adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu. Mengapa
demikian? Sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam
dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku
.
Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2005:114) antara lain:
Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2005:114) antara lain:
Belajar
bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan sesuai dengan
pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman
maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.
Belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta yang
lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang
dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap
pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan
memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin
pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam
berpikir.
Belajar
adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan
berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intektual akan tetapi juga
mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak
menghadapi persoalan.
Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang
berkembang secara bertahap dari sedssserhana menuju yang kompleks. Oleh karena
itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan
siswa.
Belajar pada hakikatnya adalah
menagkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang
diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real
World Learning)
Selanjutnya Sanjaya (2005:115) memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain:
Selanjutnya Sanjaya (2005:115) memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain:
CTL
menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa perperan aktif dalam
setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi
pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai
objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
Dalam
pembelajaran CTL siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja
kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi. Sedangkan, dalam
pembelajaran konvensional siswa lebih bnayak belajar secara individual dengan
menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.
Dalam CTL pembelajaran dikaitkan dengan
kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembelajaran konvensional
pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak.
Dalam
CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran
konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan.
Tujuan
akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri; sedangkan
dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka.
Dalam CTL, tindakan atau perilaku dibangun
atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perilaku
tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat;
sedangkan dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku individu
didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan
sesuatu disebabkan takut hukuman, atau sakadar untuk memperoleh angka atau
nilai dari guru.
Dalam
CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan
pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan
dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran
konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat
absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
Dalam
pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan
pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional
guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran bisa
terjadi di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan
kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi
di dalam kelas.
Oleh karena tujuan yang ingin
dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan
pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil
karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya;
sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya
hanya diukur dari tes.
Berdasarkan perbedaan pokok tersebut di atas, bahwa CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire (Sanjaya, 2005:116-117) sebagai sistem penindasan.
Berdasarkan perbedaan pokok tersebut di atas, bahwa CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire (Sanjaya, 2005:116-117) sebagai sistem penindasan.
Sehubungan
dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru
manakala menggunakan pendekatan CTL yakni:
(a) Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
(a) Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
(b) Setiap anak memiliki
kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan memecahkan setiap persoalan
yang menantang. Dengan demikian guru berperan dalam memilih bahan-bahan belajar
yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
(c) Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru adalah membantu agar setiap siswa mempu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
(c) Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru adalah membantu agar setiap siswa mempu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
(d) Belajar bagi anak adalah
proses penyempurnaan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses pembentukan
skema baru (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah memfasilitasi
(mempermudah) agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.
Sesuai dengan asumsi yang
mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang
diberikan oleh orang lain temasuk guru, akan tetapi dari proses penemukan dan
mengontruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai proses
penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar dengan
segala keunikannya. Siswa adalah organisme aktif yang memiliki potensi untuk
membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi kepada
siswa, guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi itu agar lebih
bermakna untuk kehidupan mereka.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh)
asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan CTL. Komponen tersebut antara lain konstruktivisme,
inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic
assessment) Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut
konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi
dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan
terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan
dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Kedua faktor itu
sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu tidak bersifat statis akan
tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan mengonstruksinya.
Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:
Pengetahuan
bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu
merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
Pengetahuan
dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk
pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang.
Pembelajaran
melalui CTL pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengonstruksi pengetahuan
melalui proses pengamatan dan pengalaman. Asas kedua dalam pembelajaran CTL
adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah
sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan
sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan
materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan
siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Belajar pada
dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis.
Melalui proses mental itulah diharapkan siswa berkembang secara utuh baik intektual,
mental emosional maupun pribadinya.
Apakah inkuiri
hanya bisa dilakukan untuk mata pelajaran tertentu saja? Tentu tidak. Berbagi
topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses inkuiri.
Secara umum proses ikuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu:
merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulakn data, menguji hipotesis
berdasarkan data yang ditemukan dan membuat kesimpulan.
Penerapan asas ini dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis itulah yang akan menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk mengui hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
Ketiga, bertanya (questioning). Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Penerapan asas ini dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis itulah yang akan menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk mengui hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
Ketiga, bertanya (questioning). Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam suatu pembelajaran yang
produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: (1) menggali informasi
tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran; (2) membangkitkan
motivasi siswa untuk belajar; (3) merangsang keingintahuan siswa terhadap
sesuatu; (4) memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan (5) membimbing
siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Keempat, masyarakat belajar
(learning community). Dalam CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat
dialukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi
dalam kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan
dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam
kelompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar didorong untuk
membantu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk
menularkannya pada yang lain.
Kelima, pemodelan (modeling).
Maksudnya adalah, proses pembelajaran dengan menggunakan sesuatu contoh yang
dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara
mengoperasionalkan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat
asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru
kesenian memberi contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi
memberikan contoh bagaimana cara mengggunakan thermometer dan lain sebagainya.
Proses modelling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modelling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang memungkinkan terjadinya verbalisme.
Keenam, refleksi (reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan memperbarui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah pengetahuannya.
Dalam setiap proses pembelajaran
dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk ‘’merenung’’ atau mengingat kembali apa yang
telah dipelajarinya. Biarkanlah secara bebas siswa menafsirkan pengalamannya
sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.
Ketujuh, penilaian nyata (authentic
assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi
tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan
untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman
belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik
intelektual maupun mental siswa.
Penilaian autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
Penilaian autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan
tersebut di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
- Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipejarinya.
- Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar. Lingkungan yang kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual, dan keberhasilan pembelajaraan secara keseluruhan.
Saran
Diharapkan kepada semua guru, supaya didalam melakukan
pembelajaran memilih model yang sesuai dengan materi dan karakter siswa serta
fasilitas sekolah, sehingga hasil yang kita inginkan dapat tuntas. Dan begitu
juga dengan teman-teman yang sedang melakukan praktik microteaching atau sebagai calon guru
juga diharapkan seperti itu.
DAFTAR PUSTAKA
Robert E.Slavin 2008
Cooperative Learning.Bandung:Nusa Media.
Irzani.2009.Strategi Belajar Mengajar
Matematika.Mataram:Media Grafindo press.
Isjoni,2007. Cooperative Learning mengembangkan kemampuan belajar
berkelompok.Bandung:Alfabeta
Erman Suherman,dkk.2003.Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung:Jica
Komentar
Posting Komentar