METODE PENELITIAN KUALITATIF
PENGERTIAN
A. Pengertian Metode Penelitian Kualitatif
Terdapat
kesalahan pemahaman di dalam masyarakat bahwa yang dinamakan sebagai kegiatan
penelitian adalah penelitian yang bercorak survei. Ditambah lagi ada pemahaman
lain bahwa penelitian yang benar jika menggunakan sebuah daftar pertanyaan dan
datanya dianalisa dengan menggunakan teknik statistik. Pemahaman ini berkembang
karena kuatnya pengaruh aliran positivistik dengan metode penelitian
kuantitatif.
1. Ada dua kelompok metode
penelitian dalam ilmu sosial yakni metode penelitian kuantitatif dan metode
penelitian kualitatif. Di antara kedua metode ini sering timbul perdebatan di
seputar masalah metodologi penelitian. Masing-masing aliran berusaha
mempertahankan kekuatan metodenya
2. Salah satu argumen
yang dikedepankan oleh metode penelitian kualitatif adalah keunikan manusia
atau gejala sosial yang tidak dapat dianalisa dengan metode yang dipinjam dari
ilmu eksakta.
3. Metode penelitian
kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya
dianalisa dengan cara non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan
penggunaan angka
4. Penelitian
kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat.
Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan
segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh
responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui
bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang
dalam dunia dan lingkungan responden.
Ada dua metode
berfikir dalam perkembangan pengetahuan, yaitu metode deduktif yang
dikembangkan oleh Aristoteles dan metode induktif yang dikembangkan oleh
Francis Bacon. Metode deduktif adalah metode berfikir yang berpangkal dari
hal-hal yang umum atau teori menuju pada hal-hal yang khusus atau kenyataan.
Sedangkan metode induktif adalah sebaliknya. Dalam pelaksanaan, kedua metode tersebut
diperlukan dalam penelitian.
Kegiatan penelitian memerlukan metode yang
jelas. Dalam hal ini ada dua metode penelitian yakni metode kualitatif dan
metode kuantitatif. Pada mulanya metode kuantitatif dianggap memenuhi syarat
sebagai metode penilaian yang baik, karena menggunakan alat-alat atau intrumen
untuk mengakur gejala-gejala tertentu dan diolah secara statistik. Tetapi dalam
perkembangannya, data yang berupa angka dan pengolahan matematis tidak dapat
menerangkan kebenaran secara meyakinkan. Oleh sebab itu digunakan metode
kualitatif yang dianggap mampu menerangkan gejala atau fenomena secara lengkap
dan menyeluruh.
Tiap penelitian berpegang pada paradigma
tertentu. Paradigma menjadi tidak dominan lagi dengan timbulnya paradigma baru.
Pada mulanya orang memandang bahwa apa yang terjadi bersifat alamiah. Peneliti
bersifat pasif sehingga tinggal memberi makna dari apa yang terjadi dan tanpa
ingin berusaha untuk merubah. Masa ini disebut masa pra-positivisme.
Setelah itu timbul pandangan baru, yakni bahwa
peneliti dapat dengan sengaja mengadakan perubahan dalam dunia sekitar dengan
melakukan berbagai eksperimen, maka timbullah metode ilmiah. Masa ini disebut
masa positivisme.
Pandangan positivisme dalam perkembangannya
dibantah oleh pendirian baru yang disebut post-positivisme. Pendirian
post-positivisme ini bertolak belakang dergan positivisme. Dapat dikatakan
bahwa post-positivisme sebagai reaksi terhadap positivisme. Menurut pandangan
post-positivisme, kebenaran tidak hanya satu tetapi lebih kompleks, sehingga
tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu saja.
Dalam penelitian, dikenal tiga metode yang
secara kronologis berurutan yakni metode pra-positivisme, positivisme, dan
post-positivisme.
Penelitian
kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Untuk mengetahui perbedaan tersebut
ada 15 ciri penelitian kualitatif yaitu:
1.
Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam
kondisi yang asli atau alamiah (natural setting).
2.
Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti
sebagai alat utama pengumpul data yaitu dengan metode pengumpulan data
berdasarkan pengamatan dan wawancara
3.
Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan
data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh
dari penelitian ini berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.
4.
Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses
daripada hasil, artinya dalam pengumpulan data sering memperhatikan hasil dan
akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi.
5.
Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari
maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia
merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif. Mengutamakan data langsung
atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada
penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
6.
Dalam penelitian kualitatif digunakan metode
triangulasi yang dilakukan secara ekstensif baik tringulasi metode maupun
triangulasi sumber data.
7.
Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti
mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap
bertalian dengan masalah yang diteliti.
8.
Subjek yang diteliti berkedudukan sama dengan
peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya.
9.
Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan
pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dan
segi pendiriannya.
11. Pengambilan sampel
secara purposif. Metode kualitatif menggunakan sampel yang sedikit dan dipilih
menurut tujuan penelitian.
12. Menggunakan “Audit
trail”. Metode yang dimaksud adalah dengan mencantumkan metode pengumpulan dan
analisa data.
13. Mengadakan
analisis sejak awal penelitian. Data yang diperoleh langsung dianalisa,
dilanjutkan dengan pencarian data lagi dan dianalisis, demikian seterusnya
sampai dianggap mencapai hasil yang memadai.
14. Teori bersifat
dari dasar. Dengan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dapat dirumuskan
kesimpulan atau teori.
Pada penelitian
kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang peneliti dalam kegiatan
penelitiannya, baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, menerapkan
paradigma tertentu sehingga penelitian menjadi terarah. Dasar teoritis dalam
pendekatan kualitatif adalah:
1.
Pendekatan fenomenologis. Dalam pandangan
fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya
terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
2.
Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan
interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak
memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka.
Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya
bersifat esensial serta menentukan.
3.
Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan
kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan
suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan
pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku
dalam suatu latar kebudayaan.
4.
Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya
untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan
tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana
orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia
tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang
ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan
sudut pandang dari objek penelitiannya.
Kedudukan Paradigma Dalam Metode Penelitian
Kualitatif
Ilmu pengetahuan merupakan suatu cabang studi
yang berkaitan dengan penemuan dan pengorganisasian fakta-fakta,
prinsip-prinsip, dan metoda-metoda. Dari sini dapat dipahami bahwa untuk
dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan, maka cabang studi itu haruslah memiliki
unsur-unsur penemuan dan pengorganisasian, yang meliputi pengorganisasian
fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan, prinsip-prinsip serta metoda-metoda. Oleh
Moleong prinsip-prinsip ini disebut sebagai aksioma-aksioma, yang menjadi dasar
bagi para ilmuan dan peneliti di dalam mencari kebenaran melalui kegiatan
penelitian.
Dasar-dasar untuk melakukan kebenaran itu
biasa disebut sebagai paradigma, yang oleh Bogdan dan Biklen dinyatakan sebagai
kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau
proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Ada berbagai macam paradigma yang mendasari
kegiatan penelitian ilmu-ilmu sosial. Paradigma-paradigma yang beragam tersebut
tidak terlepas dari adanya dua tradisi intelektual Logico Empiricism dan
Hermeneutika.
Logico Empiricism, merupakan tradisi
intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu yang nyata atau faktual dan yang
serba pasti. Sedangkan Hermeneutika, merupakan tradisi intelektual yang
mendasarkan diri pada sesuatu yang berada di balik sesuatu yang faktual, yang
nyata atau yang terlihat.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang berusaha melihat kebenaran-kebenaran atau membenarkan kebenaran, namun di
dalam melihat kebenaran tersebut, tidak selalu dapat dan cukup didapat dengan
melihat sesuatu yang nyata, akan tetapi kadangkala perlu pula melihat sesuatu
yang bersifat tersembunyi, dan harus melacaknya lebih jauh ke balik sesuatu
yang nyata tersebut.
Pilihan terhadap tradisi mana yang akan
ditempuh peneliti sangat ditentukan oleh tujuan dan jenis data yang akan
ditelitinya. Oleh karena itu pemahaman terhadap paradigma ilmu pengetahuan
sangatlah perlu dilakukan oleh para peneliti. Bagi kegiatan penelitian,
paradigma tersebut berkedudukan sebagai landasan berpijak atau fondasi dalam
melakukan proses penelitian selengkapnya.
Dalam rangka melakukan pengumpulan fakta-fakta
para ilmuwan atau peneliti terlebih dahulu akan menentukan landasan atau
fondasi bagi langkah-langkah penelitiannya. Landasan atau fondasi tersebut akan
dijadikan sebagai prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar maupun aksioma, yang
dalam bahasanya Moleong disebut sebagai paradigma.
Menurut Bogdan dan
Biklen paradigma dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang
dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan
penelitian.
Paradigma didalam
ilmu pengetahuan sosial memiliki ragam yang demikian banyak, baik yang
berlandaskan pada aliran pemikiran Logico Empiricism maupun Hermeneutic.
Masing-masing paradigma tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan
masing-masing. Oleh karena itu para peneliti harus mempunyai pemahaman yang
cukup terhadap dasar pemikiran paradigma-paradigma yang ada sehingga sebelum
melakukan kegiatan penelitiannya, para peneliti dapat memilih paradigma sebagai
landasan penelitiannya secara tepat.
Menurut Meta Spencer
paradigma di dalam ilmu sosial meliputi (1) perspektif evolusionisme, (2)
interaksionisme simbolik, (3) model konflik, dan (4) struktural fungsional.
Menurut George Ritzer paradigma di dalam ilmu sosial terdiri atas (1) fakta
sosial, (2) definisi sosial, dan (3) perilaku sosial.
Perbedaan dan
keragaman paradigma dan atau teori yang berkembang di dalam ilmu pengetahuan
sosial, menuntut para peneliti untuk mencermatinya di dalam rangka memilih
paradigma yang tepat bagi permasalahan dan tujuan penelitiannya.
Pengertian dan Fungsi Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan salah satu tahap
di antara sejumlah tahap penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam kegiatan penelitian. Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian
akan menjadi sia-sia dan bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Perumusan masalah atau research questions atau
disebut juga sebagai research problem, diartikan sebagai suatu rumusan yang
mempertanyakan suatu fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai fenomena
mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagai fenomena yang saling terkait di
antara fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun
sebagai akibat.
Mengingat demikian pentingnya kedudukan
perumusan masalah di dalam kegiatan penelitian, sampai-sampai memunculkan suatu
anggapan yang menyatakan bahwa kegiatan melakukan perumusan masalah, merupakan
kegiatan separuh dari penelitian itu sendiri.
Perumusan masalah penelitian dapat dibedakan
dalam dua sifat, meliputi perumusan masalah deskriptif, apabila tidak
menghubungkan antar fenomena, dan perumusan masalah eksplanatoris, apabila
rumusannya menunjukkan adanya hubungan atau pengaruh antara dua atau lebih
fenomena.
Perumusan masalah memiliki fungsi sebagai berikut
yaitu Fungsi pertama adalah sebagai pendorong suatu kegiatan penelitian menjadi
diadakan atau dengan kata lain berfungsi sebagai penyebab kegiatan penelitian
itu menjadi ada dan dapat dilakukan. Fungsi kedua, adalah sebagai pedoman,
penentu arah atau fokus dari suatu penelitian. Perumusan masalah ini tidak
berharga mati, akan tetapi dapat berkembang dan berubah setelah peneliti sampai
di lapangan. Fungsi ketiga dari perumusan masalah, adalah sebagai penentu jenis
data macam apa yang perlu dan harus dikumpulkan oleh peneliti, serta jenis data
apa yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti. Keputusan memilih data
mana yang perlu dan data mana yang tidak perlu dapat dilakukan peneliti, karena
melalui perumusan masalah peneliti menjadi tahu mengenai data yang bagaimana
yang relevan dan data yang bagaimana yang tidak relevan bagi kegiatan
penelitiannya. Sedangkan fungsi keempat dari suatu perumusan masalah adalah
dengan adanya perumusan masalah penelitian, maka para peneliti menjadi dapat
dipermudah di dalam menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel
penelitian.
Kriteria-kriteria Perumusan Masalah
Ada setidak-tidaknya tiga kriteria yang
diharapkan dapat dipenuhi dalam perumusan masalah penelitian yaitu kriteria
pertama dari suatu perumusan masalah adalah berwujud kalimat tanya atau yang
bersifat kalimat interogatif, baik pertanyaan yang memerlukan jawaban
deskriptif, maupun pertanyaan yang memerlukan jawaban eksplanatoris, yaitu yang
menghubungkan dua atau lebih fenomena atau gejala di dalam kehidupan manusaia.
Kriteria Kedua
dari suatu masalah penelitian adalah bermanfaat atau berhubungan dengan upaya
pembentukan dan perkembangan teori, dalam arti pemecahannya secara jelas,
diharapkan akan dapat memberikan sumbangan teoritik yang berarti, baik sebagai
pencipta teori-teori baru maupun sebagai pengembangan teori-teori yang sudah
ada.
Kriteria ketiga,
adalah bahwa suatu perumusan masalah yang baik, juga hendaknya dirumuskan di
dalam konteks kebijakan pragmatis yang sedang aktual, sehingga pemecahannya
menawarkan implikasi kebijakan yang relevan pula, dan dapat diterapkan secara
nyata bagi proses pemecahan masalah bagi kehidupan manusia.
Berkenaan dengan
penempatan rumusan masalah penelitian, didapati beberapa variasi, antara lain
(1) Ada yang menempatkannya di bagian paling awal dari suatu sistematika
peneliti, (2) Ada yang menempatkan setelah latar belakang atau bersama-sama
dengan latar belakang penelitian dan (3) Ada pula yang menempatkannya setelah
tujuan penelitian.
Di manapun rumusan
masalah penelitian ditempatkan, sebenarnya tidak terlalu penting dan tidak akan
mengganggu kegiatan penelitian yang bersangkutan, karena yang penting adalah
bagaimana kegiatan penelitian itu dilakukan dengan memperhatikan rumusan
masalah sebagai pengarah dari kegiatan penelitiannya. Artinya, kegiatan
penelitian yang dilakukan oleh siapapun, hendaknya memiliki sifat yang
konsisten dengan judul dan perumusan masalah yang ada. Kesimpulan yang didapat
dari suatu kegiatan penelitian, hendaknya kembali mengacu pada judul dan
permasalahan penelitian yang telah dirumuskan.
Komentar
Posting Komentar