MODEL PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN
(CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)
Contextual
Teaching and Learning
(CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa
untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan
mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa
memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk
mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.CTL disebut pendekatan
kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.Rasional;Dalam Contextual
teaching and learning (CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih
memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan
dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar
melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat
fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi
oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan
perkembangan jaman.Pemikiran Tentang Belajar;Proses belajar anak dalam belajar dari
mengalami sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada
pengetahuan itu. Transfer belajar; anak harus tahu makna belajar dan
menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang diperolehnya untuk memecahkan
masalah dalam kehidupannya. Siswa sebagai pembelajar; tugas guru mengatur strategi
belajar dan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru,
kemudian memfasilitasi kegiatan belajar. Pentingnya lingkungan belajar; siswa
bekerja dan belajar secara di panggung guru mengarahkan dari dekat.Penilaian Otentik;prosedur
penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa
secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; pembelajaran seharusnya
membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya
informasi di akhr periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi
lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan
yang diperoleh siswa.
A. Penerapan CTL dalam pembelajaran
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar
lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan engkonstruksi
sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin kegiatan
inkuiri untuk semua toipik. Kembangkan sifat keingin tahuan siswa dengan cara
bertanya. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
Hadirkan model sebagai contoh dalam pembelajaran. Lakukan refleksi pada akhir
pertemuan. Lakukan penilaian otentik yang betul-betul menunjukkan kemampuan
siswa.
Terdapat lima karakteristik penting
dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL seperti dijelaskan
oleh Dr. Wina Sanjaya, M.Pd
(2005:110),sebagaiberikut:
1.
Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan
yang sudah ada (activtinging knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak
terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan
yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki
keterkaitan satu sama lain.
2.
Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka
memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan
baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan
mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3.
Pemahaman
pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan
untuk dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta
tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan
tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
4.
Mempraktikkan
pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan
dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan
siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
5.
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap
strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk
proses perbaikan atau penyempurnaan stratsegi.
Pembelajaran interaktif menurut
Dimyati dan Mudjiono (1999:297) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam
desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan
pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun
oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan
kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi
pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap
materi pelajaran.Dalam pembelajaran guru harus
memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran
yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami berbagai model
pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan
perencanaan pengajaran yang matang oleh guru. Pendapat ini sejalan dengan
Jerome Brunner (1960) mengatakan bahwa: ‘’Perlu adanya teori pembelajaran yang
akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di
kelas’’. Selanjutnya menurut Bruner teori belajar itu bersifat deskriptif,
sedangkan teori pembelajaran itu preskriptif.
Hal ini menggambarkan bahwa orang
yang berpengetahuan adalah orang yang terampil memecahkan masalah, mampu berinteraksi
dengan lingkungannya dalam menguji hipotesis dan menarik generalisasi dengan
benar. Jadi belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun kemampuan
berpikir dan kemampuan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan itu
sumbernya dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa.
Pengetahuan tidak diperoleh dengan cara diberikan atau ditransfer dari orang
lain, tetapi ‘’dibentuk dan dikonstruksi’’ oleh individu itu sendiri, sehingga
siswa itu mampu mengembangkan intelektualnya.
Pembelajaran interaktif mempunyai dua karakteristik seperti dijelaskan oleh Dr. H. Syaiful Sagala, M.Pd. (2003:63), yaitu: (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir; (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Pembelajaran interaktif mempunyai dua karakteristik seperti dijelaskan oleh Dr. H. Syaiful Sagala, M.Pd. (2003:63), yaitu: (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir; (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Proses pembelajaran
atau pengajaran kelas (Classroom Teaching) menurut Dunkin dan Biddle (1974:38)
berada pada empat variabel interaksi yaitu:
(1)
variabel pertanda (pesage variables) berupa pendidik;
(2) variabel konteks (context variables) berupa
peserta didik, sekolah dan masyarakat;
(3) variabel proses (process variables) berupa
interaksi peserta didik dengan pendidik; dan
(4)
variabel produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang.
Dunkin dan Biddle
selanjutnya mengatakan proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik jika
pendidik mempunyai dua kompetensi utama yaitu:
(1) kompetensi substansi materi pembelajaran
atau penguasaa materi pelajaran;
(2) kompetensi metodologi pembelajaran.
Artinya jika guru menguasai materi
pelajaran, diharuskan juga menguasai metode pengajaran sesuai kebutuhan materi
ajar yang mengacu pada prinsip pedagogik, yaitu memahami karakteristik peserta
didik. Jika metode dalam pembelajaran tidak dikuasai, maka penyampaian materi
ajar menjadi tidak maksimal. Metode yang digunakan sebagai strategi yang dapat
memudahkan peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diberikan oleh
guru. Hal ini menggambarkan bahwa pembelajaran terus mengalami perkembangan sejalan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu dalam merespon
perkembangan tersebut, tentu tidaklah memadai kalau sumber belajar berasal dari
guru dan media buku teks belaka. Dirasakan perlu ada cara baru dalam
mengkomunikasikan ilmu pengetahuan atau materi ajar dalam pembelajaran baik
dalam sistem yang mandiri maupun dalam sistem yang terstruktur. Untuk itu perlu
dipersiapkan sumber belajar oleh pihak guru maupun para ahli pendidikan yang
dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran aktivitasnya dalam
bentuk interaksi belajar mengajar dalam suasana interaksi edukatif, yaitu
interaksi yang sadar akan tujuan artinya interaksi yang telah dicanangkan untuk
suatu tujuan tertentu setidaknya adalah pencapaian tujuan intruksional atau
tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan pada satuan pelajaran. Kegiatan
pembelajaran yang diprogramkan guru merupakan kegiatan integralistik antara
pendidik dengan peserta didik. Kegiatan pembelajaran secara metodologis berakar
dari pihak pendidik yaitu guru, dan kegiatan belajar secara pedagogis terjadi
pada diri peserta didik. Menurut Knirk dan Gustafson (1986:15) pembelajaran
merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan dan
evaluasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan
perancangan pembelajaran.
Selanjutnya Knirk dan Gustafson (1986:18)
mengemukakan teknologi pembelajaran melibatkan tiga komponen utama yang saling
berinteraksi yaitu guru (pendidik), siswa (peserta didik), dan kurikulum.
Komponen tersebut melengkapi struktur dan lingkungan belajar formal. Hal ini
menggambarkan bahwa interaksi pendidik dengan peserta didik merupakan inti
proses pembelajaran (instructional). Dengan demikian pembelajaran adalah setiap
kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu
kemampuan dan atau nilai yang baru dalam suatu proses yang sistematis melalui
tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar
mengajar. Dalam proses pembelajaran itu dikembangkan melalui pola pembelajaran
yang menggambarkan kedudukan serta peran pendidik dan peserta didik dalam
proses pembelajaran. Guru sebagai sumber belajar, penentu metode belajar, dan
juga penilai kemajuan belajar meminta para pendidik untuk menjadikan pembelajaran
lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan
pembelajaran itu sendiri.
Sesuai dengan filsafat yang mendasarinya
bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari
sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran
ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar
bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan Respons. Belajar
tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti
emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak, pada
dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri
seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata
merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya
faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu. Mengapa demikian? Sebab
manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Kebutuhan
itulah yang mendorong manusia untuk berperilakari asumsi dan latar belakang
yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang
belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2005:114) antara lain:
a.
Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses
mengonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh
karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula
pengetahuan yang mereka peroleh.
b.
Belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta yang
lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang
dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap
pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan
memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin
pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam
berpikir.
c.
Belajar adalah
proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang
secara utuh yang bukan hanya perkembangan intektual akan tetapi juga mental dan
emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi
persoalan.
d.
Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang
berkembang secara bertahap dari sedssserhana menuju yang kompleks. Oleh karena
itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan
siswa.
Belajar pada
hakikatnya adalah menagkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu,
pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk
kehidupan anak (Real World Learning)
Selanjutnya Sanjaya (2005:115) memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain:
Selanjutnya Sanjaya (2005:115) memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain:
ü
CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya
siswa perperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan
menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional
siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima
informasi secara pasif.
ü
Dalam pembelajaran CTL siswa belajar melalui kegiatan
kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi.
Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih bnayak belajar secara
individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.
ü
Dalam CTL
pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam
pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak.
ü
Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman,
sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui
latihan-latihan.
ü
Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL
adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir
adalah nilai dan angka.
ü
Dalam CTL,
tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu
tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu
merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional
tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya,
misalnya individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman, atau
sakadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.
ü
Dalam CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu
selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu
setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang
dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi.
Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan
dikonstruksi oleh orang lain.
ü
Dalam pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam
memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran
konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
ü
Dalam
pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan
setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran
konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
Oleh karena tujuan
yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL
keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi
proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain
sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran
biasanya hanya diukur dari tes.
Berdasarkan perbedaan pokok tersebut di atas, bahwa CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire (Sanjaya, 2005:116-117) sebagai sistem penindasan.
Berdasarkan perbedaan pokok tersebut di atas, bahwa CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire (Sanjaya, 2005:116-117) sebagai sistem penindasan.
Sehubungan
dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru
manakala menggunakan pendekatan CTL yakni:
(a) Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
(a) Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
(b) Setiap anak
memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan memecahkan setiap
persoalan yang menantang. Dengan demikian guru berperan dalam memilih
bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
(c) Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru adalah membantu agar setiap siswa mempu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
(c) Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru adalah membantu agar setiap siswa mempu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
(d) Belajar bagi anak
adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses
pembentukan skema baru (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah
memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan
proses akomodasi.
Sesuai dengan asumsi
yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi
yang diberikan oleh orang lain temasuk guru, akan tetapi dari proses penemukan
dan mengontruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai
proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar
dengan segala keunikannya. Siswa adalah organisme aktif yang memiliki potensi
untuk membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi
kepada siswa, guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi itu agar
lebih bermakna untuk kehidupan mereka.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Komponen tersebut antara lain konstruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic assessment)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Kedua faktor itu sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan mengonstruksinya. Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Komponen tersebut antara lain konstruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic assessment)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Kedua faktor itu sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan mengonstruksinya. Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:
a.
Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan
belaka, akan tetapi selalu merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan
tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
b.
Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang.
Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam
berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Pembelajaran
melalui CTL pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengonstruksi pengetahuan
melalui proses pengamatan dan pengalaman. Asas kedua dalam pembelajaran CTL
adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah
sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan
sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan
materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan
siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Belajar pada
dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis.
Melalui proses mental itulah diharapkan siswa berkembang secara utuh baik
intektual, mental emosional maupun pribadinya.
Apakah
inkuiri hanya bisa dilakukan untuk mata pelajaran tertentu saja? Tentu tidak.
Berbagi topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses
inkuiri. Secara umum proses ikuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah
yaitu: merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulakn data, menguji
hipotesis berdasarkan data yang ditemukan dan membuat kesimpulan.
Penerapan asas ini dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis itulah yang akan menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk mengui hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
Ketiga, bertanya (questioning). Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Penerapan asas ini dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis itulah yang akan menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk mengui hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
Ketiga, bertanya (questioning). Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam suatu
pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: (1)
menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran;
(2) membangkitkan motivasi siswa untuk belajar; (3) merangsang keingintahuan siswa
terhadap sesuatu; (4) memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan (5)
membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Keempat, masyarakat
belajar (learning community). Dalam CTL, penerapan asas masyarakat belajar
dapat dialukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa
dibagi dalam kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari
kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya.
Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar
didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu
didorong untuk menularkannya pada yang lain.
Kelima, pemodelan
(modeling). Maksudnya adalah, proses pembelajaran dengan menggunakan sesuatu
contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya guru memberikan contoh
bagaimana cara mengoperasionalkan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan
sebuah kalimat asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar
bola, guru kesenian memberi contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru
biologi memberikan contoh bagaimana cara mengggunakan thermometer dan lain
sebagainya.
Proses modelling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modelling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang memungkinkan terjadinya verbalisme.
Keenam, refleksi (reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan memperbarui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah pengetahuannya.
Proses modelling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modelling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang memungkinkan terjadinya verbalisme.
Keenam, refleksi (reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan memperbarui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah pengetahuannya.
Dalam setiap proses
pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk ‘’merenung’’ atau mengingat kembali
apa yang telah dipelajarinya. Biarkanlah secara bebas siswa menafsirkan
pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman
belajarnya.
Ketujuh, penilaian
nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk
mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.
Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau
tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar
Penilaian autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar
M0del
Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Dalam buku “Konsep
Strategi Pembelajaran” (karangan Dr.
Nanang hanafiah, M.M.Pd. dan Drs.
Cucu Suhana, M.M.Pd. hal 77) Model pembelajaran penemuan terbimbing (Discovery Learning) merupakan suatu
rangkaian kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan peserta didik untuk mencari, meneliti dan menyelidiki secara
sistematis, kritis, dan logis sehingga mereka dapat menemukan ssendiri
pengetahuan, sikap, wawasan dan keterampilan sebagai wujud adanya perubahan
pada dirinya sendiri.
Menurut Sund dalam buku
“Strategi Belajar mengajar” (karangan Dra.
Roestiyah N.K. hal 20) Model pembelajran penemuan terbimbing (Discovery learning) adalah proses mental
dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksud
dengan proses mental antara lain ialah : mengamati, mencerna, mengerti,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan
dan sebgainya. Suatu konsep misalnya segitiga, persegi, persegi panjang, kubus,
balok dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip antara lain ialah
: air apabila dipanaskan akan mendidih. Dalam teknik ini siswa dibiarkan untuk
menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya sebagai
fasilitator dan membimbing apabila diperlukan atau apabila ada yang
dipertanyakan.
Menurut Jerome Bruner (Cooney, Davis:1975,138),
penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan
bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat
menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk
dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan
adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu
masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan
pemecahannya sendiri. Dalam kegiatan pembelajarannya siswa diarahkan untuk
menemukan sesuatu, merumuskan suatu hipotesa, atau menarik suatu kesimpulan
sendiri. Kadang-kadang model penemuan ini memerlukan waktu yang lebih lama pada
kelas-kelas tertentu. Jelas bahwa model penemuan ini kurang tepat untuk siswa
sekolah dasar maupun lanjutan apabila tidak dengan bimbingan guru, karena
materi matematika yang ada dalam kurikulum tidak banyak yang dapat dipelajari
karena kekurangan waktu bahkan siswa cenderung tergesa-gesa menarik kesimpulan
dan tidak semua siswa dapat menemukan sendiri.
Dalam
buku “Strategi pembelajaran Matematika Kontemporer” (yang disusun oleh Drs. H. Erman suherman Ar, M.Pd. dkk.
hal 212) Model pembelajaran penemuan terbimbing (Discovery Learning) merupakan penemuan yang dilakukan oleh peserta
didik itu sendiri sesuatu hal yang baru padai dirinya sendiri walaupun sudah
diketahui oleh orang banyak. Hal-hal yang baru tersebut dapat berupa konsep,
teorema, rumus, pola, aturan, dan sejenisnya, untuk dapat menemukan mereka
harus melakukan terkaan, terkaan, dugaan, coba-coba, dan usaha lainnya dengan
menggunakan pengetahuan siapnya melalui cara induksi, deduksi, observasi dan
ekstrapolasi.
Metode
penemuan yang dipandu oleh guru ini pertama dikenalkan oleh Plato dalam suatu
dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering disebut juga dengan metoda
Socratic (Cooney, Davis:1975, 136). Metode ini melibatkan suatu
dialog/interaksi antara siswa dan guru di mana siswa mencari kesimpulan yang
diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang diatur oleh guru. Salah satu
buku yang pertama menggunakan teknik penemuan terbimbing adalah tentang aritmetika
oleh Warren Colburn yang pelajaran pertamanya berjudul: Intellectual
Arithmetic upon the Inductive Method of Instruction, diterbitkan
pada tahun 1821, yang isinya menekankan penggunaan suatu urutan pertanyaan
dalam mengembangkan konsep dan prinsip matematika. Ini menirukan metode
Socratic di mana Socrates dengan pertolongan pertanyaan yang ia tanyakan
dimungkinkan siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dialog
di bawah ini menerangkan contoh strategi untuk membimbing siswa dalam
menyimpulkan bahwa a0= 1. Pertanyaan yang tepat dari seorang guru
akan sangat membantu siswa.
Contoh
dialog antara guru dan siswa adalah sebagai berikut:
Guru
: “Berapakah hasilnya apabila bilangan bukan nol dibagi dengan bilangan itu sendiri?”
Siswa
: “Satu”
Guru
: “Bagaimanakah hasilnya kalau am dibagi am ,
dengan a bukan 0?”
Siswa
: “Satu”
Guru
: “Jika kita gunakan sifat bilangan berpangkat untuk m
m
a
a
,
apakah hasilnya?”
Siswa
: “Akan didapat am-m =
a0 “
Guru
: “Bagus, sekarang apa yang dapat kita simpulkan untuk a0?”
Siswa
: “a0 = 1.”
Interaksi
dalam metode ini menekankan pada adanya interaksi dalam kegiatan belajar
mengajar. Interaksi tersebut dapat juga terjadi antara siswa dengan siswa (S –
S), siswa dengan bahan ajar (S –B), siswa dengan guru (S – G), siswa dengan
bahan ajar dan siswa (S – B – S) dan siswa dengan bahan ajar dan guru (S – B –
G). Interaksi dapat pula dilakukan antara siswa baik dalam kelompok-kelompok
kecil maupun kelompok besar (kelas). Dalam melakukan aktivitas atau penemuan
dalam kelompok- kelompok kecil, siswa berinteraksi satu dengan yang lain.
Interaksi ini dapat berupa saling sharing atau siswa yang lemah bertanya
dan dijelaskan oleh siswa yang lebih pandai. Kondisi semacam ini selain akan
berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap materi matematika, juga akan dapat
meningkatkan social skills siswa, sehingga interaksi merupakan aspek
penting dalam pembelajaran matematika. Menurut Burscheid dan Struve (Voigt,
1996:23), belajar konsep-konsep teoritis di sekolah, tidak cukup hanya dengan
memfokuskan pada individu siswa yang akan menemukan konsep-konsep, tetapi perlu
adanya social impuls di sekolah sehingga siswa dapat mengkonstruksikan
konsep-konsep teoritis seperti yang diinginkan. Interaksi dapat terjadi antar
guru dengan siswa tertentu, dengan beberapa siswa, atau serentak dengan semua
siswa dalam kelas. Tujuannya untuk saling mempengaruhi berpikir masing-masing,
guru memancing berpikir siswa yaitu dengan pertanyaan-pertanyaan terfokus
sehingga dapat memungkinkan siswa untuk memahami dan mengkontruksikan
konsep-konsep tertentu, membangun aturan-aturan dan belajar menemukan sesuatu
untuk memecahkan masalah.
Di dalam model penemuan
ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu secara induktif, deduktif
atau keduanya.
1. Strategi
Penemuan Induktif
Sebuah
argumen induktif meliputi dua komponen, yang pertama terdiri dari
pernyataan/fakta yang mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian
dari argumentasi itu (Cooney dan Davis, 1975: 143). Kesimpulan dari suatu
argumentasi induktif tidak perlu mengikuti fakta yang Guru Bahan Ajar Siswa B
Siswa A mendukungnya. Fakta mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung
sifatnya, tetapi itu tidak bisa membuktikan dalil untuk mendukung. Sebagai
contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima dan
masuk akal secara umum kita buat kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah
ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak membuktikan“. Guru beresiko di dalam
suatu argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya,
suatu kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena hal
seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan atau mungkin terjadi.
Sebuah argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu kesimpulan dari
yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh
pokok.
Perhatikanlah strategi penemuan berikut
ini :
Guru : sekarang kita akan “menguji”
hubungan yang merupakan tantangan
matematika. Untuk memulai, mari kita mengikuti pernyataan
berikut.
4
x 5 = ………. 6 x 7 = ……..
5 x 6 =……….. 5 x 4 =………
6 x 7 = ………. 3 x 8 = ………
8 x 3 = ………. 6 x 5 = ………
Perhatkanlah
hasil yang kalian peroleh.?
Lala
: “Bilangan-bilangan tersebut kurang dari 10.”
Guru
: “Eee, bisa…”
Vivi
: “Bilangan-bilangan tersebut termasuk bilangan genap dan bilangan ganjil.”
Guru
: “Benar, ada yang lain.?”
Vivi : “Baik, hasil dari perkalian ini
< 50.”
Guru : “Sangat bagus, bagaimana dengan
yang lain.?”
Anis : “4 x 5 = 5 x 4 = 20
5 x 6 = 6 x 5 = 30
6
x 7 = 7 x 6 = 42
8
x 3 = 3 x 8 = 24”
Guru
: “Sangat bagus,yang lain bagaimana.?”
Aldi
: “Adanya sifat Komutatif.”
Guru
: “Bisa, dari contoh ini Sari menemukan apa.?”
Sari
: “Hasil dari perkalian ini paling sedikit 20.”
Guru
: “Bagaiman dengan Dian?”
Dian
: “30 termasuk dari hasil perkalian tersebut.”
Guru
: “Bagaimana denagam Vian.?”
Vian
:”Hasil terbesar dai perkalian ini adalah 42, yaitu pada perkalian 6 x 7 = 7 x
6 = 42
Guru
: ”Bagaimana dengan Dude?”
Dude
: “Hasil dari perkalian ini apabila dijumlahkan = 116.”
Guru
: “Kalau Ita.?”
Dude
: “Semua hasil dari perklian tersebut, bukan termasuk bilangan prima.”
Guru
: “Bener tidak tu?”
Ida :
“Kurang tahu”
Lala
; “ tidak tahu pak…”
Vivi
: “Mungkin “
Anis
: “ Salah “
Aldi
: “ Salah Banget “
Guru
: “Kok jawaban kalian bervariasi banget sih…?, Memangnya kalian belum
tahu apa itu bilangan prima…..?”
Ida
dan kawan-kawan : “sudah lupa pak….”
Guru
: “Bilangan prima itu adalah bilangan yang habis dibagi oleh bilangan itu sendiri dan angka 1, kecuali
angka 1.”
Anis
dan kawan-kawan : “Ooooowwww…”
Guru
: “Kalian sudah biasa menyimpulkan…??”
Anak-anak
: “Sudah Pak….”
Ini
statemen yang sangat terkenal yang disebut dugaan Goldbach. Tidak ada
seorangpun yang telah menemukan, meskipun matematikawan tidak mampu membuktikan
itu. Untuk alasan ini kita cenderung percaya bahwa statemen ini benar.
2. Strategi
Penemuan Deduktif
Ciri utama matematika adalah
penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat
logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam matematika
bersifat konsisten. Berarti dengan strategi penemuan deduktif , kepada siswa
dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan
pengetahuan matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk
menanyakan suatu urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah
penarikan kesimpulan yang menjadi tujuan dari pembelajaran. Sebagai contoh
dialog berikut sedang memecahkan masalah sistem persamaan kuadrat dengan
penemuan deduktif di mana guru menggunakan pertanyaan untuk memandu siswa ke
arah penarikan kesimpulan tertentu:
Guru
: “Dengan aturan Cramer untuk memecahkan sistem persamaan ini :
x2 – 2x + 1 = 0
Apa yang kamu peroleh Agus ?”
Agus
: “Akar-akarnya real atau nyata”
Guru
: “Benar, dari mana kamu tahu.?”
Agus
: “Cuman nebak aja pak..”
Guru
: “Jawabanmu memang benar, v, kamu tidak tahu caranya…,
Dapatkah yang lain memberitahuku
caranya?”
Budi
: “Saya pak.”
Guru
: “kamu pakai cara apa.?”
Budi
: “Pemfaktoran..”
Guru
: “Nah , ne yang benar,,, yang lain bagaimana.?
Sudah ketemu belum hasilnya…?
(semua siswa terdiam)
Coba kamu Dita…?”
Dita
: “Belum bisa pak...”
Guru
: “Yang lain bagaimna.?, Tuti sudah..?”
Tuti
: ”Belum juga pak, masih bingung.”
Guru
: ”kalau kamu Andi, bagaimana..?”
Andi
: “Bingung juga pak.”
Guru
: “yang lain juga masih bingung ne…?”
Andi,
Dita, Tuti dll : “Ya pak………”
Guru
: “Semuanya perhatikan ke depan, bapak akan membahasnya
x2 – 2x + 1 = 0
(x
– 1) V (x – 1) = 0
x1
= 1 V x2 = 1
jadi x1 dan x2
nya adalah 1.
Ada yang bisa menyimpulkan..?”
Agus : “saya pak”
Guru : “Apa kesimpulanmu….??”
Agus : “Kedua akarnya kembar dan
nyata.”
Guru : “Nah, ne baru bener…”
Dari contoh-contoh dialog
tersebut di atas metode ini tepat digunakan apabila : (Martinis Yamin, 2004:
78) :
a. Siswa telah mengenal atau mempunyai
pengalaman yang berhubungan dengan pokok bahasan yang akan diajarkan.
b. Yang
akan diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan
dan pengambilan keputusan.
c. Guru
mempunyai keterampilan fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan, terampil
mengulang pertanyaan dan sabar.
d. Waktu yang tersedia cukup panjang.
Proses induktif-deduktif dapat
digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran dan
pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui peristiwa nyata
atau intuisi. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang
teramati, membuat daftar, sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan
hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan
demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama
berperan penting dalam mempelajari matematika. Dengan penjelasan di atas metode
penemuan yang dipandu oleh guru ini kemudian dikembangkan dalam suatu model
pembelajaran yang sering disebut model pembelajaran dengan penemuan terbimbing.
Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu atau
kelompok.
Model
Pembelajaran Penemuan Terbimbing ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran
matematika sesuai dengan karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing
siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat
menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai
seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang
sedang dipelajari. Dengan model penemuan terbimbing ini siswa dihadapkan kepada
situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi
dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai
penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan
ketrampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru.
Dalam model pembelajaran dengan
penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi
terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar
dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas
untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya.
Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat
dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam
kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa
dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir
matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah.
B. Fungsi dari Model Pembelajaran penemuan Terbimbing (Disco-very Learning)
Adapun
fungsi dari model pembelajaran penemuan terbimbing (Discovery Learning), yaitu
sebagai berikut :
1. Membangun komitmen (commitmen bulding) di kallangan peserta
didik untuk belajar, yang diwujudkan dengan keterlibatan, kesungguhan, dan
loyalitas terhadap mencari dan menemukan sesuatu dalam proses pembelajaran.
2. Membangun sikap aktif, kreatif, dan inovatif
dalam proses pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pengajaran.
3. Membangun sikap percaya diri (self confidence) dan terbuka (openness) terhadap hasil temuanya.
C Langkah–langkah dalam Model
Penemuan Terbimbing
Agar pelaksanaan model
penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, ada beberapa langkah yang
perlu ditempuh oleh guru matematika adalah sebagai berikut.
a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada
siswa dengan data secukupnya,
perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa
tidak salah.
b. Dari
data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan
menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan
sejauh yang diperlukan oleh siswa saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan
siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui
pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
c.
Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
d. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah
dibuat siswa tersebut diatas diperiksa
oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang
hendak dicapai.
e.
Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan
juga kepada siswa untuk menyusunya.
Di samping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
f.
Sesudah siswa menemukan apa yang
dicari, hendaknya guru menyediakan
soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
D. Kelunggulan dan Kelemahan Model Penemuan
Terbimbing
Tentunya setiap Model pembelajaran
mempunyai kelebihan dan kekuranan, begitu pula dengan pembelajaran penemuan terbimbing,
Adapun kelebihan dari model penemuan terbimbing adalah sebagai berikut
1. Keunggulan Model Penemuan Terbimbing
a. Membantu peserta didik untuk mengembangkan,
kesiapan, serta pengasaan keterampilan dalam proses kognitif:
b. Peserta didik memperolah pengetahuan secara
individual sehingga dapat dimengerti dan mengndap dan sulit dihilangkan dalam
benaknya.
c. Dapat membangkitkan motivasi dan gairah
belajar peserta ddik untuk belajar lebih giat lagi.
d. Memberikan
peluang untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemmpuan, bakat dan minat
masing-masing peserta didik.
e.
Memperkuat dan menambah
kepercayaan pada diri sendiri dengan proses menemukan sendiri karena
pembelajaran berpusat pada peserta didik dengan keterlibatan guru yang sangat
terbatas.
2. Kelemahan Model Penemuan Terbimbing
a. siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan
mental, siswa harus berani dan berkeinginan yang kuat untuk mengetahui keadaan
sekitarnya dengan baik.
b. Keadan kelas yang gemuk jumlah siswanya menyebabkan model ini
akan sulit mencapai hasil yang maksimal.
c. guru
dan siswa yang sudah sangat terbiasa dengan PBM gaya lama maka model ini akan mengecewakan.
STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
(PROBLEM SOLVING)
A.Pengertian
Problem Solving
Masalah menurut Jonnasen
(2003:7) didefinisikan menjadi dua
,yaitu :
·
Masalah
adalah sesuatu yang tidak diketahui dalam beberapa konteks (perbedaan antara
penentuan tujuan dan keadaan sekarang)
·
Masalah
adalah temuan atau pemecahan untuk sesuatu yang tidak diketahui harus mempunyai
nilai social,budaya,atau intelektual.
Pemecahan masalah menurut Jonnasen (2003:7) memiliki
dua sifat kritis,yaitu sebagai berikut :
·
Pemecahan
masalah membutuhka gambaran mental dari masalah atau konteks masalah tersebut.
·
Keberhasilan
dalam memecahkan masalah membutuhkan aktivitas siswa untuk memanipulasi dan
menguji solusi pemecahan masalah mereka.
Lebih lanjut Jonnasen menjelaskan bahw dalam memecahkan
masalh terjadi hubungan timbal balik antara pengetahuan dan aktivitas berfikir.
Pembelajaran menurut Sanjaya (2005:31) adalah proses
berpikir untuk memecahkan masalah,dengan demikian pengetahuan yang diperoleh
siswa hendaknya dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuannya dalam
memecahkan masalah.
Probnlem solving adalah belajar memecahkan masalah.
Pada tingkat ini para anak didik belajar
merumuskan,memecahkan masalah,memeberikan respon terhadap rangsangan yang
menggambarkan atau membangkitkan sesuatu problematika,yang menggunakan berbagai
kaidah yang telah dikuasainya.
Menurut jhon Dewey belajar memecahkan masalah itu
berlangsung sebagai berikut : “individu menyadari masalah bila ia dihadapkan
kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam
kesulitan”.
Metode problem solving adalah metode pembelajaran yang
merangsang siswa untuk berpikir dan menggunakan wawasan,tanpa melihat kualitas
pendapat yang disampaikan siswa,(Yamin :2008:85).Sehubungan dengan hal tersebut
Djamarah dan Zain (2006:91) menyebutkan bahwa metode problem solving bukan
hanya sekedar metode mengajar ,tetapi merupakan sesuatu metode berpikir.
Annonimous(2008) menyebutkan bahwa problem solving
dapat mengembangkan sikap keingintahuan dan imajinasi siswa,karena kedua hal
tersebutmerupakan modal dasar untuk dapat bersikap kritis,peka,kreatif,dan
mandiri.
Problem solving menurut Sugiyo
(2008) berorientasi pada innvestigasi dan penemuan yang pada dasarnya merupakan
pemecahan masalah yang harus diselesaikan oleh siswa,baik secara individu
maupun kelompok.
Problem solving adalah suatu cara menyajikan bahan
pelajaran dengan jalan dimana siswa dihadapkan dengan kondisi masalah,dari
masalah yang sederhana,menuju kepada masalah yang sulit atau muskil.
Menurut Kiranawati (2007) mengemukakan bahwa : “Metode
problem solving adalah pennggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan
jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah,baik itu masalah pribadi atau
perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara
bersama-sama.
Menurut Djamarah (2006:91) mengemukakan bahwa : “Metode
problem solving yang bukan hanya sekedar metode mengajar ,tetapi juga merupakan
suatu metode berpikir,sebab dalam problem solving dapat menggunakan
metode-metode lainnya yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik
kesimpulan.
Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
metode problem solving dapat diartikan sebagai metode mengajar yang banyak
menimbulkan aktivitas belajar karena siswa dihadapkan dengan masalah
,merumuskan dan menguji kebenaran dari hipotesis sampai pada menarik kesimpulan
sebagai jawaban dari masalah.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan
dari metode problem solving adalah melatih anak untuk memecahkan masalah
sendiri,baik yang sederhana sampai yang sulit dan melatih anak untuk
mandiri.dan problem solving dapat diartikan juga sebagai rangkaian aktivitas
pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang
dihadapisecara ilmiah.
B.
Konssep Dasar dan Karakteristik SPBM (Problem Solving)
SPBM dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas
pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi
secara ilmiah.
Terdapat 3 ciri utama dari SPBM yaitu :
1) SPBM merupakan rangkaian
aktivitas pembelajaran,artinya dalam implementasi SPBM ada sejumlah kegiatan
yang harus dilakukan siswa,SPBM tidak hanya mengharapkan siswa sekedar
mendengarakan,mencatat,kemudian menghafal materi pelajaran,akan tetapi melalui
SPBM siswa aktif berfikir,berkomunikasi,mencaari dan mengolah data,dan akhirnya
menyimpulkan.
2) Aktivitas pembelajaran
diarahkan untuk menyelesaikan masalah,SPBM menempatkan masalah sebagai kata
kunci dari proses pembelajaran,aratinya,tanpa masalah maka tidak mungkin ada
proses pembelajaran.
3) Pemecahan masalah
dilakukan dengan menggunakan pendekatan berfikir secara ilmiah,yaitu proses
berfikir deduktif dan induktif,dan dilakukan secara sistematis dan
empiris.Sistematis berarti berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan
tertentu,sedangkan empiris berarti proses penyelesaian masalah didasarkan pada
data dan fakta yang jelas.
Strategi
pembelajaran dengan problem solving dapat diterapkan,jika :
·
Manakala guru menginginkan agar siswa tidak hanya sekedar dapat mengingat
materi pelajaran ,akan tetapi menguasai dan memahaminya secara penuh.
·
Apabila guru bermaksud untuk mengembangakan keterampilan berpikir rasional
siswa,yaitu kemampuan menganalisis situasi,menerapkan pengetahuan yang mereka
miliki dalam situasi baru,mengenal adanya perbedaan antara fakta dan
pendapat,serta mengembangkan kemampuan dalam membuat judgment secara objektif.
·
Manakala guru menginginkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah serta
membuat tantangan intelektual siswa.
·
Jika guru ingin mendorong siswa untuk lebih bertanggungjawab dalam
belajarnya.
·
Jika guru ingin agar siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari
dengan kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan kenyataan)
C.
Hakikat Masalah dalam SPBM / Problem Solving
Masalah dalam SPBM adalah
masalah yang bersifat terbuka,artinya jawaban dari masalah tersebut belum
pasti.SPBM memberikan kesempatan pada
siswa untuk bereksplorasi mengumpulkan dan menganalisis data secara lengkap
untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Tujuan yang ingin dicapai oleh SPBM
adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis,analitis,sistematis,dan logis
untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara
empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah.
Hakikat masalah dalam SPBM
adalah gap atau kesenjangan antara sitiuasi nyata dan kondisi yang diharapkan
,atau antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang diharapkan.Kesenjangan tersebut
bisa dirasakan dari adanya keresahan,keluhan,kerisauan,atau kecemasan.
Beberapa
kriteria pemilihan bahan pelajaran dalam SPBM :
1) Bahan pelajaran harus
mengandung isu-isu yang mengandung konflik (conflict issue) yang bisa bersumber
dari berita,rekaman video,dan yang lainnya.
2) Bahan yang dipilih adalah
bahan yang bersifat familiar dengan siswa,sehingga setiap siswa dapat
mengikutinya dengan baik.
3) Bahan yang dipilih
merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak
(universal),sehingga terasa manfaatnya.
4) Bahan yang dipilih
merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh
siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
5) Bahan yang dipilih sesuai
dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk mempelajarinya.
D.
Tahapan-Tahapan Problem Solving
Jhon Dewey,seorang ahli
pendidikan berkebangsaan amerika menjelaskan 6 langkah dalam metode proble
solving ,yaitu :
1) Merumuskan masalah,yaitu
langkah siswa menetukan masalah yang akan dipecahkan.
2) Menganalisis masalah,yaitu
langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.
3) Merumuskan hipotesis,yaitu
langkah siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya.
4) Mengumpulkan data,yaitu
langkah siswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk
pemecahan masalah.
5) Pengujian hipotesis,yaitu
langkah siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan
penolakan hipotesis yang diajukan.
6) Merumuskan rekomendasi
pemecahan masalah,yaitu langkah siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat
dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesisdan rumusan kesimpulan.
Langkah-langkah pelaksanaan metode problem solving
menurut Nurhadi (2004:60),antara lain :
1)
Mengorientasikan siswa pada masalah
2)
Mmengorganisasikan siswa untuk belajar
3)
Membimbing penyelidikan individu atau kelompok
4)
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
5)
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Menurut Djamarah (2006:92) mengemukakan bahwa
:Langkah-langkah dalam metode problem solving sebagai berikut :
1)
Adnya masalah yang jelas untuk
dipecahkan
2)
Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah
tersebut.
3)
Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut
4)
Menguji jawaban sementara tersebut
5)
Menarik kesimpulan
David
Jhonson & Jhonson mengemukakan ada 5 langkah problem solving melalui
kegiatan kelompok :
1) Mendefinisikan
masalah,yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu
konflik,hingga siswa menjadi jelas masalah apa yang akan dikaji.
2) Mendiagnnnnosis
masalah,yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah,serta menganalisis
berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang dapat
mendukung dalam penyelesaian masalah.
3) Merumuskan alternatif
strategi,yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi
kelas.
4) Menentukan dan menerapkan
strategi pilihan ,yaitu pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat
dilakukan.
5) Melakukan evaluasi,baik
evaluasi proses maupun evaluasi hasil.Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap
seluruh kegiatan pelaksanaan kegiatan,sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi
terhadap akibat dari penerapan strategi yang diterapkan.
Dari beberapa bentuk problem solving yang
dikemukkakan para ahli,maka secara umum problem solving dapat dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1) Menyadari
masalah,implementasi problem solving harus dimulai dengan kesadaran adanya
masalah yang harus dipecahkan.Kemampuan yang harus dicapai oleh siswa pada
tahapan ini adalah siswa dapat menentukan atau menangkap kesenjangan yang
terjadi dari berbagai fenomena yang ada.
2) Merumuskan masalah,yakni
bahan pelajaran dalam bentuk topik yang dapat dicari dari
kesenjangan,selanjutnya difokuskan pada masalah apa yang pantas untuk
dikaji.Kemampuan yang diharapkan dari siswa dalam langkah ini adalah siswa
dapat menentukan prioritas masalah,dan siswa dapat memanfaatkan pengetahuannya
untuk mengkaji,merinci,dan menganalisis masalah sehingga pada akhirnya muncul
rumusan masalah yang jelas ,spesifik dan dapat dipecahkan.
3) Merumuskan hipotesis,yaitu
sebagai proses berfikirilmiah yang merupakan perpaduan dari berpikir deduktif
dan induktif,maka merumuskan hipotesis merupakan langkah penting yang tidak
boleh ditinggalkan.Kemampuan yang diharapkan dari siswa dalam tahapan ini
adalah siswa dapat menentukan sebab akibat dari masalah yang ingin
diselesaikan.
4) Mengumpulkan data,dalam
tahapan ini siswa didorong untuk
mengumpulkan data yang relevan,dan kemampuan yang diharapkan pada tahap ini
adalah kecakapan siswa untuk mengumpulkan dan memilih data,kemudian memetakan
dan menyajikannya dalam berbagai tampilan ssehingga mudah difahami.
5) Menguji
hipotesis,kemampuan yang diharapkan dari siswa dalam tahapan ini adalah
kecakapan menelaah data dan sekaligus membahasnya untuk melihat hubungannya
dengan masalah yang dikaji,dan diharapkan pula siswa dapat mengambil keputusan
dan kesimpulan.
6) Menentukan pilihan
penyelesaian ,kemampuan yang diharapkan dari tahapan ini adalah kecakapan
memilih alternatif penyelesaian yang memungkinkan dapat dilakukan serta dapat
memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi sehubungan dengan alternatif yang
dipilihnya,termasuk memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada setiap
pilihan.
E.
Keunggulan dan Kelemahan Problem Solving
1.
Keunggulan problem solving
a.
Problem solving merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi
pelajaran.
b.
Problem solving dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan
untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
c.
Problem solving dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
d.
Problem solving dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan
mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e.
Problem solving dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan
barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan,disamping
itu problem solving juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik
terhadap hasil maupun proses belajarnya.
f.
Melalui problem solving bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara
berpikir,dan seesuatu yang harus dimengerti oleh siswa,bukan hanya sekedar
belajar dari guru atau dari buku-buku saja.
g.
Problem solving dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.
h.
Problem solving dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis
dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
i.
Problem solving dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk
mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
j.
Problem solving dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus
belajar sekalipun belejar pada pendidikan formal telah berakhir.
2.
Kelemahan problem solving
a.
Jika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa
masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan,maka mereka akan merasa enggan
untuk mencoba.
b.
Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan
cukup waktu untuk persiapan.
c.
Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang
sedang dipelajari,maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari
Kelebihan
problem solving menurut Kiranawati (2007)
antara lain :
a.
Melatih siswa mendesain suatu penemuan
b.
Melatih siswa berpikir dan bertindak kreatif
c.
Melatih siswa memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
d.
Melatih siswa mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan
e.
Melatih siswa menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan
f.
Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi dengan cepat
g.
Membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan,khususnya dunia
kerja.
Kelemahan
metode problem solving menurut Djamarah
dan Zain,antara lain :
a.
Menetukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingakah t
berpikir siswa,tingkat sekolah,kelas,dan pengetahuan serta pengalaman yang
telah dimiliki siswa,yang sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru.
b.
Proses belajar mengajar menggunakan metode ini biasanya memerlukan waktu
yang cukup banyakdan harus mengambil waktu pelajaran lain
c.
Mengubah kebiasaan siswa dari mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak
berfikir memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok yang terkadang
memerlukan berbagai sumber belajar menjadi kesulitan tersendiri bagi siswa
d.
Tidak semua pelajaran dapat mengandung masalah yang harus dipecahkan
e.
Kesulitan mencari masalah yang tepat atau sesuai dengan taraf perkembangan
dan kemampuan siswa
f.
Banyak menimbulkan resiko,terutama bagi anak yang memiliki kemampuan rendah
atau kurang
g.
Kesulitan dalam mengevaluasi secara tepat
h.
Memerlukan waktu dan perencanaan yang matang
Beberapa
strategi yang sering digunakan dalam problem solving,adalah :
·
Membuat diagram
·
Mencobakan pada soal yang lebih sederhana
·
Membuat tabel
·
Menemukan pola
·
Memecah tujuan
·
Memperhitungkan setiap kemungkinan
·
Berpikir logis
·
Bergerak dari belakang
·
Mengabaikan hal yang tidak mungkin
·
Mencoba-coba
(Al krismanto)
Saran-saran dalam pelaksanaan metode problem
solving
Agar metode problem solving dapat efektif dalam
pelaksanaannya maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)
Dalam memilih masalah mempertimbangkan aspek kemampuan
dan perkembangan peserta didik
2)
Siswa terlebih dahulu dibekali pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan
3)
Bimbingan secara kontinu dan persediaan alat-alat atau
sarana pengajaran yang perlu di perhatikan
4)
Merencanakan tujuan yang hendak dicapai secara sistematis
PENGAJARAN
LANGSUNG
1.
Istilah dan Pengertian
Meski tidak ada sinoniim dan
resitasi yang berhubungan erat dengan Model Pengajaran Langsung (MPL), tetapi
istilah model pengajaran langsung sering disebut juga dengan Model Pengajaran
Aktif.
Pengajaran langsung adalah
suatu model pengajaran yang bersifat teacher center. Menurut Arends (1997), model
pengajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus
untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaita dengan pengetahuan
deklaratif dan pengetahuan procedural yang terstruktur denan baik yang dapat
diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Selain
itu model pembelajaran langsung ditunjukan pula untuk membantu siswa
mempelajari keterampilan dasar dan memproleh informasi yang dapat diajarkan
selangkah demi selangkah.
Cirri-ciri model pengajara
lanmgsung (dalam kardi & Nur, 2000 : 3 adalah sebagai berikut :
1)
Adanya
tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur penilaian
belajar
2)
Sintaks
atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran dan
3)
Sistem
pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan
pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan berhasil
Selain itu, juga dalam
pengajaran langsung harus memenuhi suatu persyaratan, yaitu ada alat yang
akandidemonstrasikan dan harus mengikuti tingkah laku mengajar (sintaks)
2.
Tujuan Belajar dan Hasil Belajar Siswa
Para pakar teori belajar pada
umumnya membedakan dua macam pengetahuan, yakni pengetahuan deklaratif (dapat
diungkapkan dengan prosedural) adalah pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan
pengetahuan procedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan
sesuatu.suatu contoh pengetahuan deklaratif misalnya konsep tekanan, yaitu
hasil bagi antara gaya (F) dan luas bidang benda yang dikenai gaya (A). jadi
dapat ditulis secara matematis p = F/A. pengetahuan procedural yang
berkaitan dengan pengetahuan deklaratif diatas adalah bagaimana memproleh rumus
dan persamaantentang konsep takanan tersebut.
Menghafal hukum atau rumus
tertentu dalam bidang studi, matematika, fisika dan kimia merupakan contoh
pengetahuan deklaratif sederhana atau informasi faktual, yaitu pengetahuan
deklaratif sederhana yang diperoleh seseorang, namun dapat digunakan. Berbeda
dengan informasi faktual , pengetahuan yang lebih tinggi tingkatannya
memerlukan penggunaan pengetahuan dengan cara tertentu, misalnya membandingkan
dua rancangan penlitian, menilai hasil karya seni. Sering kali penggunaan
pengetahuan proudural memerlukan penguasaan pengetahuan deklaratif. Para guru
selalu menghendaki agar siswa-siswa memproleh kedua macam pengetahuan tersebut,
supaya mereka dapat melakukan segala sesuatu dengan berhasil.
3.
Sintks atau Pola Keseluruhan dan Alur Kegiatan
Pembelajaran
Pada model pengajaran langsung
terdapat lima fase yang sangat penting. Guru mengawali pengajaran dengan
penjelasan tentang tujuan dan latar belakang pembelajaran, serta mempersiapkan
siswa untuk menerima penjelasan guru.
Pengajaran langsung menurut
kardi (1997 : 3), dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktik dan kerja kelompok. Pengajaran
langsung digunakan langsung untuk menyampaikan pelajaran yang telah ditarnspormasikan
langbsung oleh guru kepada siswa. Penyusun waktu yang duguanakan untuk mencapai
tujuan pembelajran harus seefesien mungkin, sehingga guru dapat merancang tepat
waktu yang digunakan.
Sintaks model pengajaran
langsung tersebut disajikan dalam 5 tahap, seperti :
Sintaks Model Pengajaran Langsung
Fase
|
`Peran Guru
|
Fase 1
Mendemonstrasikan tujuan dan mempersiakan siswa
|
Guru menjelaskan TPK, informasi latar belakang
pelajaran, pemtingnya pelajaran, mempersiapkan untuk belajar.
|
Fase 2
Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan
|
Guru mendemontrasikan keterampilan dengan benar, atau
menyajikan informasi tahap demi tahap
|
Fase 3
Membimbinmg pelatihan
|
Guru merencanakan dan memberi bimnbingan pelatihan
awal
|
Fase 4
Mengecek pemahaman dan memberikan pemahaman umpan
balik
|
Mencetak apakah siswa telah berhasil malakukan tugas
dengan baik, memberi umpan balik.
|
Fase 5
Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan
penerapan
|
Guru mempersiapkan kesempatan melkukan pelatiha
lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih
kompleks dan kehidupan sehari-hari.
|
Pada fase persiapan, guru
memotivasi siswa agar siap menerima presentasi materi pelajaran yang dilaklukan
melalui demonstrasi tentang keterampilan tertentu. Pengajaran diakhiri dengan
pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan pelatihandan pemberian umpan
balik terhadap keberhasilan siswa, pada fase pelatihan dan pemberian umpan
balik tersebut, guru perlu selalu mencoba memberikan kesempatan pada siswa
untuk menerapkan pengetahuan atau keterampilan yang dipelajri ke dalam situasi
kehidupan nyata.
4.
Lingkungan Belajar dan Sistem Pengelolaan
Pengajaran langsung memerlukan
prencanaan dan pelaksanaan yang sangat hati-hati di pihak guru. Agar efektif,
pengajaran langsungmensyaratkan tiap detail
keterampilan atau isi didefinisikan secar seksama dan demonstrasi serta
jadwal pelatihan direncanakan dan dilaksanakan secaara seksama (kardi dan Nur,
2000 : 8).
Menurut kardi dan Nur (2000
:8-9), meskipun tujuan pembelajaran dapat direncanakan bersama oleh guru dan siswa,
model ini tertama berpusat pada guru. Sistem pengelolaan yang dilakukan oleh
guru harus menjamin terjadinya keterlibatan siswa, terutama melalui
memerhatikan, mendengarkan dan resitasi (tanya jawab). Pembelajaran yang
terencana. Ini tidak berati bahwa pembelajaran bersifat otoriter, dingin dan
tanpa humor. Ini berati bahwa lingkungan berorientasi pada tugas dan memberi
harapan tinggi agar siswa mencapai hasil belajar dengan baik.
5.
Penelitian tentang Keefektifan Guru
Landasan penelitian dari model
pengajaran langsung dan berbagai komponennya, bersal dari bermacam-macam
bidang. Meskipun demikian, data penunjang empiriks yang paling jelas terhadap
model pengajaran langsung berasal dari penelitian tentang keefektifan guru yang
dilakuakan pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Penelitian Stalling dan
Kaskowitz (dalam Arends, 2001 : 267) menunjukkan pentingnya waktu yang
dialokasikan pada tugas (time on task). Penelitian ini juga menyumbanag
dukungan empiriks penggunaan pengajaran langsung. Beberapa orang guru
menggunakan metode-metode yang sangat terstruktur dan formal, sedangkan
guru-guru yang lain menggunakan metode-metode yang informal. Stalling dan
kolegannya ingin mengungkapkan, manakah diantara program-program itu yang dapat
berfungsi baik dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Prilaku guru dalam
166kelas diamati, siswa-siswa di tes. Banayk hal yang dapat diungkap alokasi
waktu dan penggunaan tugas yang menggunakan model poengajaran langsung lebih
berhasil dan memproleh tingkat keterllibatan yang tinggi daripada mereka yang
menggunakan metode-metode informal dan berpusat pada siswa.
B.
PELAKSANAAN PENGAJARAN LANGSUNG
Sebagaimana halnya setiap
mengajar, pelaksanaan yang baik model pengajaran langsung memerlukan
tindakan-tindakan yang keputusan-keputusan yang jelas dari guru selama
berlangsungnya perencanaan, pada saat melaksanaan pembelajaran, dan waktu
menilai hasilnya. Beberapa diantara tindakan-tindakan tersebut dapay di jumpai
pada model-model pengajaran yang lain, langkah-langkah atau tindakan tertentu
merupakan ciri khusus pengajaran langsung. Ciri utama unik yang terlihat dalam
melaksanakan suatu pengajaran langsung adalah sebagai berikut :
1.
Tugas-tugas Perencanaan
Pengajaran langsung dapat
diterapkan di bidang study apapun, namun model ini paling sesuai untuk mata pelajaran yang berorientasi pada
penampilan atau kinerja seperti menulis, membaca, matematika, musik dan
pendidikan jasmani. Di samping itu pengajaran langsung juga cocok untuk
mengajarkan komponen-komponen keterampilan dari mata pelajaran sejarah dan
sains.
a.
Merumuskan
Tujuan
Untuk merumuskan tujuan
pembelajaran dapat digunakan model Mager dalam Kardi dan Nur (2000 : 18), Mager mengemukakan bahwa
tujuan pembelajaran khusus harus sangat spesifik. Tujuan yang di tulis dalam
format Mager di kenal sebagai tujuan prilaku dan terdiri dari tiga bagian :
1)
Perilaku
siswa, apa yang akan dilakukan siswa/jemis-jemis perilaku siswa yang diharapkan
guru untuk dilakukan sebagai bukti bahwa tujuan itu telah tercapai.
2)
Situasi
Pengetesan, di bawah kondisi tertentu perilaku itu akan teramati atau di
harapkan terjadi
3)
Kriteria
Kinerja, di tetapkan standar atau
tingkat kinerja sebagai standar atau tingkat kinerja yang dapat diamati.
Singkatnya, menurut Mager
tujuan yang baik perlu berorientasi pada siswa dan spesifik, mengandung uraian
yang jelas tenteng situasi penilaian (kondisi evaluasi), dan mengandung tingakat
ketercapaian kinerja yang di harapkan (kriteria keberhasilan).
b.
Memilih
Isi
Kebanyakan guru pemula
meskipun telah beberapa tahun mengajar, tidak dapat mengharapkan akan menguasai
sepenuhnya materi pelajaran yang di ajarkan. Bagi mereka yang masih dalam
proses menguasai sepenuhnya m,ateri ajar, disarankan agar dalam memilih materi
ajar mengacu pada GBPP kurikulum yang berlaku dan buku ajar tertentu (Kardi dan
Nur, 2000 : 20).
c.
Melakukan
Analisis Tugas
Analisis tugas adalah alat
yang digunakan oleh guru untuk mengidentifikasi dengan presisi yang tinggi
hakikat yang setepatnya dari suatu keterampilan atau butir pengetahuan
terstruktur dengan baik, yang akan di ajarkan oleh guru. Ide yang melatar
belakangi analisis tugas ialah bahwa informasi atau keterampilanyang kompleks
tidak dapat dipelajari semuanya dalan kurun waktu tertentu. Untuk mengembangkan
pemahaman yang mudah dan pada akhirnya penguasaan, keterampilan dan pengertian
kompleks itu lebih dahulu harus di bagi menjadai komponen bagian, sehingga
dapat diajarkan berurutan dan logis dan tap demi tahap (Kardi dan Nur, 2000 : 23).
d.
Merencanakan
Waktu dan Ruang
Pada pengajaran langsung,
merencanakan dan mengelola waktu merupakan kegiatan yang sangat penting. Ada
dua hal yang perlu diperhatikan oleh guru yaitu memastikan bahwa waktu yang
telah disediakan sepadan dengan bakat dan kemampuan siswa dan memotivasi siswa
agar mereka tetap melakukan tugas-tugasnya denga perhatia yang optimal,
mengenal dengan baik siswa-siswa yang akan di ajar, sangat bermanfaat untuk menentukan
alokasi waktu pembelajaran. Merencanakan dan mengelola ruang untuk pengajaran
langsung juga sama pentingnya.
2.
Langkah-langkah Pembelajaran Model Pengajaran
Langsung
Langkah-langkah pengajaran
model pengajaran langsung pada dasarnya mengikuti pola-pola pembelajaran secara
umun. Menurut Kardi dan Nur (2000 : 27-43), langkah-langkah pengajaran langsung
meliputi tahapan sebgai berikut :
a.
Menyampaikan
Tujuan dan Menyiapkan Siswa
Tujuan langkah awal ini untuk
menarik dan memusatkan perhatian siswa, serta memotivasi mereka untuk berperan
serta dalam pelajaran itu.
b.
Menyampaikan
Tujuan
Siswa perlu mengetahui dengan
jelas, mengapa mereka berpartisipasi dalam suatu pembelajaran tertentu, dan
mereka perlu mengethui apa yang harus dapat mereka lakukan setelah selesai
berperan serta dalam pelajaran itu. Pemyampaian tujuan kepada siswa dapat
dilakukan guru melalui rangkuman rencana pembelajaran denga cara menuliskannya
di papan tulis atau menempelkan informasi tertulis pada papan bulletin, yang
berisi tahap-tahap dan isinya, serta alokasi waktu yang disediakan untuk setiap
tahap.
c.
Menyiapkan
Siswa
Kegiatan inti bertujuqan untuk
menarik perhatian siswa pada pokok pembicaraan, dan mengingatkan kembali pada
hasil belajar yang akan dimiliklinya yang relevan dengan pokok pembicaraan yang
akan dipelajari.
d.
Presentrasi
dan Demonstrasi
Fase kedua pengajaran langsung
adalah melakukan persentasi atau demontrasi pengetahuan dan keterampilan. Kunci
untuk berhasil ialah mempersentasikan informasi sejelas mungkin dan mengikuti
langkah-langkah demonstrasi yang efektif.
e.
Mencapai
Kejelasan
Hasil-hasil penelitian secara
konisten menunjukan bahwa kemampuan guru untuk memberikan informasi yang jelas
dan spesifik kepada siswa, mempunyai dampak yang positif terhadap proses
belajar siswa. Sementara itu, para peneliti dan pengamat terhadap guru pemula
dan sebelun berpengalaman menemukan banyak penjelasan yang kabur dan
membingungkan. Hal ini pada umunya terjadi pada saat guru tidak menguasai
sepenuhnya pokok isi bahasan yang dikerjakannya, dan tidak menguasai tekhnik
komunikasi yang jelas.
f.
Melakukan
Demonstrasi
Pengajaran langsung berpegang
teguh pada asumsi, bahwa sebagian besar yang dipelajari (hasil belajar) berasal
dari mengamati orang lain. Belajar dengan meniru tingkah laku orang lain dapat
menghemat waktu, menghindari siswa dari belajar melalui “trial and eror”
Agar dapat mendemonstrasikan
suatu konsep atau keterampilan dengan berhasil, guru perlu dengan sepenuhnya
menguasai konsep atau keterampilan yang akan didemonstrasikan, dan berlatih
melakukan demonstrasio untuk menguasai komponen-komponennya.
g.
Mencapai
Pemahaman dan Penguasaan
Untuk menjamin agar siswa akan
mengamati tingkah laku yang benar dan bukan sebaliknya, guru perlu benar-benar
memerhatikan apa yang terjadi pada setiap tahap demonstrasi ini berarti, bahwa
jika guru menghendaki agar siswa-siswanya dapat melakukan sesuatu yang benar,
guru perlu berupaya agar segala sesuatu yang didemonstrasikan juga benar,
banyak contoh yang menunjukan, bahwa anak/siswa bertingkah laku denga tidak
benar karena mencontoh tingkah laku orang lain yang tidak benar.
h.
Berlatih
Agar dapat mendemonstrasikan
sesuatu dengan benar diperlukan latiahan yang intensif dan memerhatikan
asfek-asfek penting dari keterampilan atau konsep yang didemonstrasikan.
i.
Memberikan
Latihan terbimbing
Salah satu tahap penting dalam
pengajaran langsung adalah cara guru mempersiapkan dan melaksanakan pelatihan
terbimbing. Keterlibatan siswa secara aktif dalam pelatihan dapat meningkatkan
retensi, membuat belajar langsung dengan lancar, dan memungkinkan siswqa
menerapkan konsep/keterampilan pada situasi yang baru.
Menurut Kardi dan Nur (2000 :
35-36), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam menerapkan da
melakukan pelatihan, yaitu :
1)
Menugasi
siswa melakukan latiha singkat dan bermakna
2)
Memberikan
pelatihan pada siswa sampai benar-benar menguasai konsep/ketrempilan yang
dipelajari
3)
Hati-hati
terhadap latihan yang berkelanjutan, pelatihan yang dilakukan terus menerus
dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kejenuhan pada siswa
4)
Memerhattkan
tahap-tahap awal pelatihan yang mungkin saja siswa melakukan keterampilan yang
kurang benar atau bahkan salah tanpa di sadari.
j.
Mengecek
pemahaman dan memberikan umpan balik
Tahap ini kadang-kadang
disebut juga dengan tahap resitasi, yaitu huru memberikan beberapa pertanyaan
lisan taupun tertuliskepada siswa dan guru memberikan respon terhadap jawaban
siswa. Kegiatan ini merupakan aspek penting dalam pengajaran langsung, karena
tanpa mengetahui hasilnya latiahan tidak mempunyai manfaat bagi siswa. Guru
dapat menggunakan berbagai cara untuk memberikan unpan balik, sebagai mana
umpan balik secar lisan, tes, dan kompoter tertulis, tanpa umpan balik
spesifik, siswa tak mungkin dapt memperbaiki kekurangannya, dan tidak dapat
mencapai tingkat penguasaan keterampilan yang mantap.
Menurut Kardi dan Nur (2000 :
38-42), untuk memberikan umpan balik yang efektif kepda siswa yang jumlahnya
banyak dapat digunakan beberapa pedoman yang patut dipertimbangkan, sebagai
berikut :
1)
Memberikan
unpan balik sesegera mungkin setelah latihan
2)
Mengupayakan
agar umpan balik jelas dan spesifik mungkin agar dapat membantu siswa dalam
keterampilan.
3)
Umpan
balik ditujukan langsung pada tingkah laku dan bukan pada maksud yang tersirat
dalam tingkah laku tersebut.
4)
Menjaga
umpan balik sesuai dengan tahap pengembangan siswa
5)
Memberikan
pujian dan umpan balik pada kinerja yang benar.
6)
Apabila
memberi umpan balik yang negatif, tunjukan bagaiman melakkukan dengan benar.
7)
Membantu
siswa memusatkan perhatiannya pada proses bukan pada hasil.
8)
Mengajari
siswa cara memberi umpan balik kepada dirinya sendiri, dan bagaiman menilai
keberhasilan kinerjanya sendiri. Belajar bagaimana menilai keberhasilan sendiri
dan memberikan umpan balik kepada dirinya sendiri merupakan hal pentiang yang
perlu dipelajari oleh siswa.
k.
Memberikan
kesempatan latihan mandiri
Pada tahap ini, guru
memberikan tugas kepada siswa untuk menerapkan keterampilan yang barusaja
diperoleh secara mandiri. Kegiatan ini dilakukan oleh siswa secara pribadi yang
dilakukan di rumah atau di luar jam pelajaran. Menurut Kardi dan Nur (2000 :
42-43), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam memberikan
tugas mandiri yaitu :
ü Tugas rumah yang diberikan bukan merupakan
kelanjutan dari proses pembelajaran, tetapi merupakan kelnjutan dari pelatihan
untuk pembelajaran berikutnya.
ü Guru seyogianya mengimformasikan kepada
orang tua siswa tentang tingkat keterlibatan mereka dalam membimbing siswa di
rumah
ü Guru perlu memberikan umpan balik tentang
hasil tugas yang dibeikan kepada siswa di rumah
3.
Strategi Pembelajaran Modeling
Satu ciri dalam pembelajaran
langsung adalah diterapkan strayegi modeling. Strategi modeling adalah strategi
yang dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa seseorang dapat belajar melalui
pemgamatan prilaku orang lain. Strategi belajar modeling berangkat dari teori
belajar sosial, yang juga disebut belajar melalui observasi atau menurut Arends
disebut juga dengan teori pemodelan tingkah laku (Kardi dan Nur, 2000 : 11).
Berbeda dengan para pakar
psikologi tingkah laku murni, para pakar teori pemodelan tingkah laku percaya,
bahwa sesuatu tiu telah dipelajari apabila pengamat memerhatikan dengan sadar
bahwa tingkah laku, dan kemudian menyimpan di dalam ingatan jangka panjang.
Prilaku demikian dapat dituangkan kembali dalam perbuatan serupa oleh si
pengamat.
Menurut Bandura (1986) ada
empat elemen penting yang perlu diperhatiakan dalam pembelajaran melalui
pengamatan. Keempat elemen itu adalah perhatian (atensi, mengulang (retensi),
mengolah (produksi), dan motivasi.
Ada dua alasan yang mendasari
mengapa di terapkan strategi modeling dalam suatu pembelajaran. Alasan pertama
adalah utuk mengubah prilaku baru peserta didik melalui model pengamatan pembelajaran yang dilatihkan
adalah perlu. Dengan melalui pengamatan guru (model) yang dilakukan kegiatan
semisal demonstrasi atau eksprimen, maka peserta didik dapat meniru prilaku
atau langkah-langkah yang di modelkan atau terampil melakukan kegiatan seperti
yang dimodelkan. Alasan yang kedua adalah mendorong prilaku peserta didik
tentang apa yang dipelajari, memperkukat atau memperlemah hambatan.
Teori pembelajaran sosial
memberikan penjelasan tentang peran paengamatan dalam pebelajaran. Teiri ini
menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran prilaku dan penekanannya pada proses
mental internal. Teoru pembelajaran sosial yang dikembangkan oleh Albert
Bandura, seperti yang dikutip oleh kardi dan Nur (2000 : 11) menyatakan bahwa “
sebagian besar manusia belajar memlalui pengamatan secara selektif dan
mengingat tingkah laku orang lain.” Inti dari teori pembelajaran sosial adalah
pemodelan (modeling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah penting
pelatihan pada peserta didik dalam melatihkan keterampilan proses.
Langkah modeling menurut
Bandura terdiri dari fase atensi, fase retensi, fase produksi dan fase motivasi
yang dalam pelatihan dilksanakan sebagai berikut :
Fase
atensi : (1) guru (model)
memberi contoh kegiatan tertentu (demonstrasi) di depan siswa sesuai dengan
skenario`yang telah di sepakati. Peseta didik melakukan observasi terhadap
keterampilan guru dalam melakukan kegiatan tersebut menggunakan lembar
observasi yang telah disediakan, (2) guru bersama-sama peserta didik
mendiskusikan hasil pengamatan yang dilakukan. Tujuan diskusi ini adalah untuk
mencari kekurangan dan kesulitan peserta didik dalam mengamati langkah-lanngkah
kegiatan yang disampaikan oleh guru dan untuk melatih peserta didik dalam
meggunakan lembar observasi.
Fase
Retensi : (1) diisi dengan
kegiatan guru menjelaskan struktur langkah-langkah kegiatannya (demonstrasi)
yang telah diam,ati oleh pesrta didik, untuk menunjukan langkah-langkah
tertentu yang telah disajikan.
Fase
Produksi, pada peserta ini
peserta didik ditugasi utuk menyiapkan langkah-langkah kegiatannya (demonstrasi) sendiri sesuai dengan langkah-langkah
yang telah dicontohkan, hanya dari sudut yang berbeda. Selanjutnya, hasil
kegiatan yang disajikan dalam bentuk diskusi kelas yang dilakukan secara
bergiliran. Guru dan peserta diskusi akan memberikan refleksi pada saat
diskkusi sesudah KBM berlangsung. Hal ini dilakukan bergabtian terhadap
kelompok yang lain.
Fase
motivasi berupa persentasi
hasil kegiatan atau simpulan dan kegiatan diskusi. Pada saat diskkusi kelompok
lain deberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pengamatannya.
Akhirnya guru da peserta didik
kan emnyimpulkan hasil kegiata serta overview untuk memberikan
justifikasi hasil kegiatan yang telah dilakukan.
KOOPERATIF LEARNING
Pembelajaran
adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa , bukan dibuat untuk siswa ,
pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik melakukan kegiatan belajar
. Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan efektifitas kegiatan
belajar yang dilakukan peserta didik.
Kooperatif
learning atau pembelajran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajran yang
berdasarkan faham kontruktivis.
Menurut
slavin ( 1985) . kooperatif learning merupakan suatu model pembelajaran dimana
siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen .Sedangkan Sunal dan
Flans (2000) mengemukakan kooperatif learning merupakan suatu cara pendekatan
atau serangkaian stertegi yang khusus dirancang untuk member dorongan kepada
peserta didik agar bekerja sama selama proses
pembelajaran. Selanjutnya Stahl (1994) menyatakan kooperatif learning
dapat meningkatkan dapat meningkatkan belajar siswa lebih baik dan meningkatkan
sikap tolong- menolong dalam prilaku sosial .
Bedasarkan
pendapat- pendapat diatas belajar dengan model kooperatif dapat diterapkan untuk
memotivasi siswa berani mengemukakan pendapatnya , menghargai pendapat teman
,dan saling mmemberikan pendapat . ( shering ideas ).
Unsur
– unsur dasar dalam kooperatif learning menurut lungdren (1994) sebagai berikut
:
a.
Para
siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “ tenggelam atau berenang bersama.
b.
Para
siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya
,selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang
dihadap.
c.
Para
siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
d.
Para
siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara para anggota kelompok.
e.
Para
siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh
terhadap evaluasi kelompok.
f.
Para
siswa terbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja
sama selama belajar .
g.
Setiap
siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang
ditangani dalam kelompok kooperatif .
PENGGUNAAN KOOPERATIF LEARNING
Ada
beberapa cara menggunakan kooperatif learning matematika bagi siswa disekolah ,
yaitu : pertama , memenfaatkan tugas pekarjaan rumah . Bentuklah beberapa kelompok siswa dengan ukuran antara
tiga sampai lima orang setiap kelompoknya untuk memulai siswa belajar .
mintalah mereka untuk membandingkan dan mendiskusikan hasil pekerjaan rumahnya
antar anggota yang satu dengan lainnya tetapi masih dala, satu kelompok . Pada
saat diskusi antar siswa dalam kelompok
sedang berlangsung ,guru dapat membimbing memecah kesulitan – kesulitan yang
siswa alami dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan kunci atau saran – saran
tertentu. Bila perlu dapat memberikan perhatian secara individual untuk para
siswa yang tidak aktif. Kedua , pembahasan materi baru . Di dalam format
pengajaran trdisional ( direct instruction) , biasanya guru mengembangkan
,menerangkan atau mendemonstrasikan suatu tekhnik baru .yang dapat digunakan
untuk menghitung ,memecahkan persamaan ,menggambar grafik ,membuktikan teorema
, dan sebagainya : kemudian guru meminta siswa bekerja sendiri- sendiri
menggunakan pengetahuan yang bru didapatnya untuk menyelsaikan satu atau
beberapa buah soal . di dalam format ini biasanya guru mengharapkan para siswa
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentan materi baru itu atau soal- soal
itu. Sayangnya siswa segan mengajukan pertanyaan itu kepada guru yang berdiri
didepan temen-temannya sekelas. Mereka takut atau malu berbuat kekeliruan atau
mungkin takut dianggap bodoh . Di dalam format kooperati learning setelah guru
menyampaikan materi pelajran ,para siswa bergabung dalam kelompok-kelompok
kecil untuk berdiskusi atau menyelsaikan soal latihan , kemudian menyerahkan
hasil kerja kelompo kepada guru . Jika diperlukan ,selamjutnya guru memimpin
diskusi tentang pekerjaan kelompok itu yang membutuhkan penjelasan atau
klasifikasi.
Untuk
mengoptimalkan manfaat kooperatif learning ,keanggotaan sebaiknya heterogen ,
baik dari kemampuannya maupun karakteristik lainnya . Jika para siswa yang
mempunyai kemampuan bebrbeda dimasukkan dalam satu kelompok yang sama maka akan
dapat memberikan keuntungan bagi para siswa yang berkemampuan rendah dan sedang
sebaiknya apa yang dapat diperoleh siswa yang berkemampuan tinggi ? kemampuan
komunikasi verbal matematika bagi siswa tersebut akan semakin meningkat . Untuk
memberikan penjelasan tentang suatu meteri matematika , seorang siswa harus
memahami materi itu lebih dalam dari pada sekedar kemampuan yang dibutuhkan
untuk menghasilkan sebuah jawaban pada lembar kerja .
Untuk
menjamin heterogitas keanggotaan kelompok,maka gurulah yang membentuk
kelompok-kelompok tersebut . jika siswa dibebaskan membuat sendiri maka
biasanya siswa akan memilih teman- teman yang sangat disukainya , misalnya karena sama jenisnya , sama etniknya ,atau
sama dalam kemampuannya . Hal ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang
homogen dan sering kali siswa tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun .
karena itu cara membebaskan siswa membuat kelompok sendiri bukan merupakan cara
yang baik , kecuali guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga dapat
menghasilkan kelompok-kelompok yang heterogen .Pengelompokan secara acak juga
dapat juga dapat dilakukan ,khususnya jika pengelompokkan itu terjadi pada awal
tahun baru dimana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang siswa –
siswanya.
Ukuran
( besar-kecilnya) kelompok akan
mempengaruhi pada kemampuannya produktivitas kelomponya . Ukuran
kelompok yang ideal untuk kooperatif learning adalah tiga sampai lima orang .
Jika satu kelompok terdiri atas hanya ada dua orang maka interaksi antar anggota
kelompok akan sangat terbatas dan kelompo itu akan jika satu anggotanya absen.
Sebaliknya , jika ukuran kelompok itu terlalu besar maka akan menjadi sangat
sulit bagi kelompok itu berfungsi secara efektif . Siswa-siswa yang sangat
vocal akan cenderung menguasai dan siswa-siswa yang pendiam akan cenderung
mengamini saja . Dalam kelompok yang sangat besar ,sukar bagi setiap individu
untuk mengutarakan pendapat-pendapatnya disamping lebih sukar didalam
koordinasinya .
Pada
hakekatnya kooperatif learning sama dengan kerja kelompok , oleh sebab itu
banyak guru yang mengatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam kooperatif
learning ,karena mereka telah menganggap telah terbiasa menggunakannya .
Walaupun kooperatif learning terjadi dalam bentuk kelompok tetapi tidak setiap
kerja kelompok dikatakan kooperatif learning .
Beunet
(1995) menyatakan ada 5 unsur dasar yang dapat membedakan kooperatif learning dengan kerja kelompok yaitu :
a.
Positf
interdependence
Yaitu hubungan timbal
balik yang didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan diantara anggota
kelompok dimana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula
atau sebaliknya.
b.
Interaction
face to face
Yaitu interaksi yang
langsung terjadi antara siswa tanpa adanya perantara.
c.
Adanya
tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok.
d.
Membutuhkan
keluwesan
e.
Meningkatkan
keterampilan kerja sama dalam memecahkan masalah.
Dalam cooperative learning terdapat beberapa
variasi model yang di terapkan dalam pembelajaran dan yang akan dibahas dibawah
ini yaitu kooperatif learning tipe Team Accelerated Instriction(TAI).
Dasar pemikiran dari
tipe ini adalah untuk mengadaptasi pengajaran terhadap perbedaan individual
berkaitan dengan kemampuan siswa maupun pencapaian prestasi siswa, jika demikian
bagaimana hal ini bisa terjadi salah satu bentuk kontroversi yang paling lama
terjadi dalam bidang pendidikan di amerika. Ada pendapat yang mendukung
praktik-praktik semacam pengelompokan sisiwa,pengelompokan siswa dalam kelas,
pengajaran yang terprogram,pengajaran dengan computer, menguasai pelajaran
sebagai cara untuk memastikan bahwa kebutuhan dan kesiapan para siswa
benar-benar ikut diperhitungkan dadalam pengaajaran. Perlunya semacam
individualisasi telah dipandang penting khususnya dalam pelajaran matematiika,
dimana pemmbelajaran dari tiap kemampuan yang diajarkan sebagian besar
tergantung pada penguasaan kemampuan yang dipersyaratkan.
Dasar pemikiran dibalik
individualisasi pengajaran matematika adalah bahwa para siswa memasuki kelas
dengan pengetahuan, kemampuan, dan motivasi yang sangat beragam. Ketika guru
menyampaikan sebuah pelajaran kepada bermacam-macam kelompok, besar kemungkinan
ada sebagian siswa yang tidak memiliki syarat kemampuan untuk mempelajari
pelajaran tersebut dan akan gagal memperoleh manfaat dari metode tersebut.
Siswa lainnya mungkin malah sudah tahu materi itu, atau bias mempelajarinya
dengan sangat cepat sehingga waktu mengajar yang dihabiskan bagi mereka yang
membuang waktu.
Jelas bahwa mengajar
sebuah pelajaran pada satu taraf kemampuan pada kelas yang hiterogen
menimbulkan inefvisiensi tertentu dalam penggunaan waktu mengajar. Dalam
teorinya evisiensi pengajaran maksimum seharusnya bias dicapai apabila materi
yang disampaikan kepada para siswa dapat mengasimilasi informasi. Pengaruh
substansial dari pengajaran satu oleh satu terhadap oleh prestasi siswa.
Akan tetapi, hampir
semua siswa belajar dalam kelompok-kelompok kelas dan bukan dalam sesi-sesi
pengajaran individual. Individualisasi dalam pengajaran dikelas menuntut biaya
yang terkait dengan evisiensi pengajaran yang mungkin setara ataupun bisa
menurunkan evisiensi yang disebabkan oleh penggunaan pengajaran satu tingkat
atau taraf kemampuan. Misalnya, pengajaran yang diperogran untuk memberikan
pengajaran yang terindividualisasi yang sempurna, member kesempatan pada siswa
untuk berkembang berdasarkan taraf kemampuan mereka sendiri terhadap materi
yang sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka sebelumnya. Tetapi pengajaran
terprogram seperti ini tidak dapat menghindari berkurangnya bagi guru untuk
memberikan kegiatan pengajaran langsung dan meningkatnya jumlah waktu yang
diperlukan siswa untuk melakukan tugas dikursinya masing-masing. Dalam
kajian-kajian taraf kemampuan kelompok menerima pengajaran, waktu yang dihabiskan
mengerjakan tugas dikursi masing-masing dalam hal tertentu hubungan yang
negative dengan pengajaran. Sementara waktu yang dihabiskan untuk pengajaran
langsung memperlihatkan pengaryh positif terhadap pengajaran.
Namun masalah
heterogenitas para siswa yang menjadi tujuan dari dirancangnya metode
pengajaran individual ini belumlah terselesaikan. Bisa jadi sebagai konsekuensi
kebijakan-kebijakan khusus seprti penerpan mainstreaming dan penghapusan
perbedaan, kelas-kelas yang menjadi heterogen, dan bukan sebaliknya,
akibatnya semakin menjai pertanyaan
apakah pengelomkan siiswa bisa menjadi cara yang efektif jika dihadapkan dengan
masalah heterogenitas para siswa. Kajian-kajian mengenai pengelompokan para siswa menemukan bahwa hal ini akan
memberikan manfaat yang kecil dalam kemampuan para siswa (slavin, 1987c).
A.Team Accelerated Inyruction atau Team Assisted
Individuallization (TAI).
Tipe ini
dikembangkan oleh Slavin Leavey Madder 1986, dan merupakan salah satu bentuk
koopratif yang menempatkan siswa dalam kelompok
belajar yang ,yang siswanya memiliki kemampuan heterogen atau berbeda tingkat
kecepatannya menerima pelajaran dan memecahkan permasalahan yang diberikan .
Menurut Driver ( dalam bawa , 2004) Team Asisted Individualized ( TAI )
merupakan pembelajaran yang menekankan pada pendekatan konstruktivis lebih
terfokus pada “ suksesnya siswa dalam mengorganisasikan pengetahuan mereka “
dan bukan pada “ kebenaran dalam melakukan refleksi atau apa yang dikerjakan
guru “
Tipe
TAI ini sama dengan tipe STAD dan TGT menggunakan penggunaan bauran kemampuan
empat anggota yang berbeda dan member sertifikat untuk tim dengan kinerja yang terbaik . Namun
metode STAD dan TGT menggunakan pola pengjaran tinggal untuk satu kelas , sementara
TAI menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan pengajaran yang individual.
Dalam
TAI , para siswa memasuki sekuen individual berdasarkan tes penempatan dan
kemudian melanjutkannya dengan tingkat kemampuan mereka sendiri .secara umum
,anggota kelompok bekerja pada unit pelajaran yang berbeda . Teman satu tim
saling memeriksa hasil kerja masing – masing menggunakan lembar jawaban dan
saling membantu dalam menyelsaikan berbagai masalah. Unit tes yang terakhir
akan dilakukan tanpa bantuan teman satu tim dan skornya dihitung dengan monitor
siswa . Tiap minggu , guru menjumlahkan angka dari tiap unit yang telah
diselseikan semua anggota tim dan memberikan serifikat atau penghargaan tim
lainnya untuk tim yang berhasil melampaui criteria skor yang didasarkan pada
angka tes terakhir yang telah dilakukan , dengan poin ekstra untuk lembar
jawaban dan pekerjaan rumah yang telah diselsaikan.
Karena para siswa
bertanggung jawab untuk saling mengecek satu sama lain dan mengelola materi
yang disampaikan, guru dapat menghabiskan waktu didalam kelas penyampaian
pelajaram pada kelompok kecil siswa yang terdiri dari beberapa tim yyang
belajar pada tingkat yang sama dalam sekuen matemtik, sebagai contoh, guru akan
menyebutkan serangkaian bilangan decimal,menyampaian pelajaran mengenai bilagan
decimal. Kemudian menyuruh siswa kembali kepada timnya untuk mempelajari
mengenai bilangan decimal. Lalu guru akan menyebutkkam serangkaian angka
pecahan dan seterusnya.
TAI
memiliki berbagai dinamika motivasi yang memiliki STAD dan TGT , para siswa
saling membantu satu sama lain untuk berusaha keras karena mereka semua
menginginkan tim mereka berhasil . Tanggung jawab undividual ,terjamin karena
satu-satunya skor yang diperhitungkan adalah skor tes final , dan siswa
mengerjakan tes tersebut tanpa bantuan teman satu tim . Siswa memiliki
kesempatan yang sama untuk berhasil karena semua siswa telah ditempatkan sesuai
dengan tingkat pengetahuan awal mereka.
Namun demikian,
individualisasi yang menjadi bagian dari TAI menyebutkan menjadi sedikit
berbeda dari STAD dan TGT. Dalam matematika kebanyakan konsep dibangun dari
konsep sebelumnya. Apabila konsep sebelumnya tidak dikuasai akan sulit atau
tidak mungkin untuk mempelajari konsep berikutnya; para siswa yang tidak bias
mengurangkan atau mengalikan tidak akan bias menguasai hitungan yang lebih
rumit, siswa yang tidak memahami konsep bilangan pecahan, tidak akan mampu
memahami apa itu bilangan decimal. Dalam TAI
para siswa belajar pada tingkat kemampuan mereka sendiri-sendiri, jadi
apabila mereka tidak memenuhi syarat kemampuan tertentu mereka dapat membangun
dasar yang kuat sebelum melngkah ke tahap berikutnya, jika siswa mencapai
kemajuan lebih cepat maka tidak perlu menunggu anggota kelas lainnya.
B . komponen – komponen Team Asisted individualization
( TAI )
Model
pembelajaran kooperatif tipe TAI ini memiliki delapan komponen ,yaitu :
1.
Teams
Teams yaitu pembentukan
kelompok heterogen yang terdiri dari 4 sampai 5 orang , seperti halnya yang
dikatakan tipe STAD dan TGT .
2.
Tes
penempatan ( Placement test )
Pada tes penempatan ini
para siswa diberikan terprogram dalam bidang operasi matematika pada permulaan
pelaksanaan program , mereka ditempatkan pada tingkat yang sesuai dalam program
. Mereka ditempatkan pada tingkat yang sesuai dalam program individual
berdasarkan kinerja mereka dalam tes ini
3.
Materi-
materi kurikulum
Untuk sebagian besar dari
pengajaran matematika mereka, para siswa bekerja pada materi kurikulum
individual yang mencakup penjumlahan , pengurangan , perkalian , pembagian,
angka , pecahan , decimal , rasio, persen, statistik dan aljabar . Masalah –
masalah kata dan strategi penyelsaian masalah ditekankan pada seluruh materi.
Tiap-tiap unit memiliki bagian-bagian sebagai berikut:
·
Halaman
panduan yang mengulang konsep yang telah yang telah diperkenalkan oleh guru
dalam kelompok pengajaran dan memberikan metode tahap demi tahap dari
penyelesaian masalah.
·
Beberapa
halaman untuk latihan kemampuan, tiap halaman terdiri dari enam belas masalah,
tiap latihan kemampuan memperkenalkan subkemampuan yang mengarah pada
penguasaan akhir dari seluruh kemampuan.
·
Tes
formatif dua set yang pararel dari sepuluh soal.
·
Lima
belas soal tes unit dan formatif
4.
Belajar
kelompok ( team study )
Team study yaitu tahapan tindakan belajar yang harus
dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan secara individual kepada
peserta didik yang membutuhkan.
5.
Skor
team dan rekognisi team ( team scores and team recognition )
Skor tim dan rekognisiny
tim , yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan membrei criteria
penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan kelompok yang
dipandang kurang berhasil dalam menyelsaikan tugas.
6.
Kelompok
pengajaran ( teaching group )
Setiap hari guru
memberikan pengajaran selama sekitar sepuluh sampai lima belas menit kepada atau
tiga kelompok kecil siswa yan terdiri dari siswa dari tim berbeda yang tingkat
pencapaian kurikulumnya sama guru menggunakan konsep pelajaran yang spesifik
yang telah disediakan oleh program. Tujuan dari sesi ini adalah untuk
mengenalkan konsep-konsep utama kepada para siswa. Pelajarang tersebut
dirancang untuk membantu para siswa memahami hubungan antara pelajaran
matematika yang mereka kerjakan dengan soal yang sering ditemui dan juga
merupakan soal-soal dalam kehidupan nyata. Secara umum para siswa tersebut
menerima pengenalan konsep-konsepnya dalam kelompok pengajaran sebelum mereka
mengerjakan soal-soal tersebut dalam unit-unit individual. Sementara guru
bekerja bersama kelompok pengajaran siswa-siswa lainnya melanjutkan mengerjakan
unit-unitindividual mereka dalam timnya masing-masing pelajaran langsung untuk
mengajari kelompok ini dapat diterapkan dalam program individual oleh fakta
bahwa para siswa bertanggung jawab untuk hampir semua pemieriksaan, penanganan
materi, dan pengarahan
7.
Tes
fakta ( fact test )
Seminggu dua kali, para
siswa mengerjakan tes-tes fakta selama tiga menit para siswa tersebut diberikan
lembar-lembar fakta untuk dipelajari
dirumah untuk persiapan menghadapi tes-tes
ini.
8.
Whole
– class Units ( unit seluruh kelas )
Whole-class Unit yaitu
pemberian materi oleh oleh guru kembali diakhir waktu pembelajaran dengan
strategi pemecahan masalah.
C.Langkah- langkah pembelajaran kooperatif tipe TAI
Langkah –
langkah pembelajaran kooperatif tipe TAI dibedakan menjadi 2 yaitu TAI dalam artian
Accelerated dan TAI dalam artian Asisted
a.
Langkah-langkah
pembelajaran kooperatif tipe TAI dalam artian Team Accelerated Instruction
Kegiatan
belajar dengan model ini dimulai dengan guru membagi kelas menjadi beberapa
kelompok . Biasanya antara 4-5 siswa disetiap kelompoknmya masing-masing siswa
memperoleh bahan ajar yang berbeda disesuaikan dengan kemampuan siswa . Siswa
berkemampuan tinggi mendapatkan bahan ajar yang berbeda dengan siswa
berkemampuan rendah . Selanjutnya, siswa diminta mengerjakan beberapa soal
tentu saja dengan kualitas yang berbeda pula sesuai dengan kemampuan siswa
.setlah selesai mengerjakan soal ,hasil kerja siswa dalam kelompok dikumpulkan
menjadi satu dan dikoreksi silang dengan kelompok lain . Satu hal yang harus
diperhatika adalah soal siswa berkemampuan tinggi harus dikoreksi oleh siswa
berkemampuan tinggi juga. Demikian juga dengan soal untuk siswa berkemampuan
sedang dan rendah. Jika hasil yang diperoleh memenuhi criteria ketuntasan yang
telah ditetapkan,maka siswa tersebut berhak mengikuti tes akhir. Bagi siswa
yang belum memenuhi standar tersebut akan diberikan beberapa soal lagi yang
tentu saja harus setara dengan soal sebelumnya sampai akhirnya memperoleh nilai
yang diinginkan guru.
b.
Langkah-langkah
pembelajaran kooperatif tipe TAI dalam artian Team Assisted Individuallization
·
Guru
memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual.
·
Guru
memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar
atau skor awal.
·
Guru
membbentuk beberapa kelompok.
·
Hasil
belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi
kelompok,setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok.
·
Guru
memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman,mengarahkan dan memberikan
penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
·
Guru
memberikan kuis kepada siswa secara individual.
·
Guru member penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan
nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
Unsur – unsur yang diperhatikan dalam Teams AsSisted Individualization
menurut Robert . E. Slavin adalah
sebagai berikut :
1.
Team
( kelompok ) peserta didik dikelompokkan
dalam kelompok – kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5 orang peserta didik
dengan kemampuan yang berbeda.
2.
Tes
penempatan , peserta didik diberi tas diawal pertemuan , kemudian peserta didik
ditempatkan dalam tes , sehingga didapatkan anggota yang heterogen ( memiliki
kemampuan berbeda ) dalam kelompok
3.
Langkah-
langkah pembelajaran.
Sebagai
tambahan terhadap penyelesaian masalah manajemen dan motivasi dalam program
pengajaran individual, TAI dirancang untuk memperoleh manfaat yang sangat besar
dari potensi sosialisasi yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif.
Kajian-kajian sebelumnya mengenai kemampuan kelompok dalam metode-metode
pembelajaran kooperatif secara konsisten telah menemukan sejumlah pengaruh
positif dari metode-metode ini terhadap para siswa yang cacat secara akademik.
Cukup beralasan apabila kita mengharapkan munculnya perolehan keluaran yang
serupa dalam metode-metode yang mengombinasikan pembelajaran kooperatif dengan
pengajaran individual.
TAI dirancang untung
memuaskan kriteria berikut ini untuk menyelesaikan masalah-masalah teoritis dan
praktis dari system pengajaran individual:
·
Dapat
meminimalisir keterlibatan guru dalam pemeriksaan dan pengelolaan rutin
·
Guru
setidaknya akan menghabiskan separuh waktunya untuk mengajar kelompok-kelompok
kecil.
·
Operasional
program tersebut akan sedemikian sederhananya sehingga para siswa dikelas tiga
keatas dapat melakukannya.
·
Para
siswa akan termotivasi unutk mempelajari materi-materi yang diberrikan dengan
cepat dan akurat, dan tidak akan bisa berbuat curang atau menemukan jalan
pintas.
·
Tersedianya
banyak cara pengecekan penguasaan supaya para siswa jarang menghabiskan waktu
mempelajari kembali materi yang sudah mereka kuasai atau menghadapi kesulitan
serius yang membutuhkan bantuan guru.
·
Para
siswa akan dapat melakukan pengeceekan satu sama lain, sekalipun bila siswa yang
mengecek kemempuannya ada dibawah siswa yang dicek dalam rangkaian pengajaran,
dan prosedur pengecekan akan cukup sederhana dan tidak mengganggu si pengecek.
·
Programnya
mudah dipelajari baik okeh guru maupun siswa, tidak mahal. Fleksibel, dan tidak
membutuhkan guru tambahan atau tim guru.
·
Dengan membuat para siswa bekerja dalam
kelompok-kelompok kooperatif, dengan status yang sejajar, program ini akan
terbangun kondisi untuk terbentuknya sikap-sikap positif terhadap siswa-siswa
mainstream yang cacat secara akademik dan diantara para siswa dari latar
belakang ras atau etnik berbeda.
Contoh penggunaan Cooperative Learning dalam matematika
Topik : Kelipatan
Persekutuan Terkecil (KPK) dan Faktor Persekutuan Terbesar (FPB)
Tingkat : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
Tujuan :
`1. Berlatih menentukan
KPK dan FPB jika sepasang bilangan diketahui
2. berlatih
menentukan hubungan antara KPK,FPB dan hasil kali sepasang
Bilangan.
3.Berlatih
mencatat data secara sistematis
4.Melihat
pola melalui analisis data
Ukuran kelompok: 4 orang siswa
Bahan-bahan yang diperlukan untuk setiap kelompok:
1.4
buah fotocopy lembar masalah
2.1
lembar untuk catatan hasil
3.1
buah amplop berisi 12 lembar kertas yang masing-masing memuat sepasang
Bilangan.
Model
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran
kooperatif menjadi salah satu pembaharuan dalam pergerakan reformasi
pendidikan. Pembelajaran kooperatif meliputi banyak jenis, bentuk pengajaran
dan pembelajaran yang merupakan perbaikan tipe pembelajaran tradisional. Dalam
proses belajar mengajar, para siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan
rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil
jika dikerjakan secara bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada
jika dikerjakan sendirian oleh masing-masing siswa. Latihan kerja sama
sangatlah penting dalam proses pembentukan kepribadian anak. Pembelajaran
kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi
(Ibrahim, 2000). Keterampilan ini amatlah penting untuk dimiliki siswa dalam
rangka memahami konsep-konsep yang sulit, berpikir kritis dan kemampuan
membantu teman.
Slavin, Abrani, dan Chambers (1996) berpendapat bahwa
belajar melalui kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu:
1.
Perspektif motivasi
Artinya bahwa penghargaan yang diberikan kepada
kelompok memungkinkan setiap anggota kelompok akan saling membantu. Dengan
demikian, keberhasilan setiap individu pada dasarnya adalah keberhasilan
kelompok. Hal semacam ini akan mendorong setiap anggota kelompok untuk
memperjuangkan keberhasilan kelompoknya.
2.
Perspektif sosial
Artinya bahwa melalui kooperatif setiap siswa akan
saling membantu dalam belajar karena mereka menginginkan semuan anggota
kelompok memperoleh keberhasilan. Bekerja secara tim dengan mengevaluasi
keberhasilan sendiri oleh kelompok, merupakan iklim yang bagus, dimana setiap
anggota kelompok menginginkan semuanya memperoleh keberhasilan.
3.
Perspektif perkembangan kognitif
Artinya bahwa dengan adanya interaksi antara anggota kelompok
dapat mengembangkan prestasi siswa untuk berfikir mengolah berbagai informasi.
4.
Perspektif elaborasi kognitif
Artinya bahwa setiap siswa akan berusaha untuk
memahami dan menimba informasi untuk menambah pengetahuan kognitifnya.
Pembelajaran kooperatif mempunyai dua komponen utama
yaitu komponen tugas kooperatif (cooperative task ) dan komponen struktur
insentif kooperatif (cooperative incentive structure). Tugas kooperatif
berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota bekerja sama dalam menyelesaikan
tugas kelompok, sedangkan struktur insentif kooperatif merupakan sesuatu yang
membangkitkan motivasi individu untuk bekerja sama mencapai tujuan kelompok.
Struktur insentif dianggap sebagai keunikan dari pembelajaran kooperatif,
karena melalui struktur insentif setiap anggota kelompok bekerja keras untuk
belajar, mendorong dan memotivasi anggota lain menguasai materi pembelajaran,
sehingga mencapai tujuan kelompok.
Jadi, hal yang menarik dalam pembelajaran kelompok
adalah adanya harapan selain memiliki dampak pembelajaran, yaitu berupa
peningkatan prestasi belajar peserrta didik (student achievement) juga
mempunyai dampak pengiring seperti relasi sosial, penerimaan terhadap peserrta
didik yang dianggap lemah, harga dirri, norma akademik, penghargaan tehadap
waktu, dan suka member pertolongan pada yang lain.
Model pembelajaran perlu dipahami Guru agar dapat
melaksanakan pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan hasil pembelajaran.
Dalam penerapannya, model pembelajaran harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan
siswa karena masing-masing model pembelajaran memiliki tujuan, prinsip, dan
tekanan utama yang berbeda-beda.
Menurut Dahlan (1990), model mengajar dapat diartikan
sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum,
mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas.
Sedangkan pembelajaran menurut Muhammad Surya (2003) merupakan suatu proses
perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan prilaku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.
Model pembelajaran menurut Joice dan Weil (1990)
adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan
digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi
petunjuk kepada pengajar di kelasnya. Dalam penerapannya model pembelajaran ini
harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan
belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada 4 unsur penting dalam
strategi pembelajaran kooperatif, yaitu:
1.
Adanya peserta dalam kelompok.
2.
Adanya aturan kelompok.
3.
Addanya upaya belajar setiap anggota kelompok.
4.
Adanya tujuan yang harus dicapai.
Pendekatan
pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa ciri, antara lain:
1.
Keterampilan sosial
Artinya keterampilan untuk menjalin hubungan antar
pribadi dalam kelompok untuk mencapai dan menguasai konsep yang diberikan guru.
2.
Interaksi tatap muka
Setiap individu akan berinteraksi secara bersama dalam
kelompok. Interaksi yang serentak berlangsung dalam setiap kelompok melalui
pembicaraan setiap individu yang turut serta mengambil bagian.
3.
Pelajar harus saling bergantung positif
Artinya setiap siswa harus melaksanakan tugas
masing-masing yang diberikan untuk menyelesaikan tugas dalam kelompok itu.
Setiap siswa mempunyai peluang yang sama untuk mengambil bagian dalam kelompok.
Siswa yang mempunyai kelebihan harus membantu temannya dalam kelompok itu untuk
tercapainya tugas yang diberikan kepada kelompok itu. Setiap anggota kelompok
harus saling berhubungan, saling memenuhi dan bantu-membantu.
Menurut
Kagan (1994), pembelajaran kooperatif mempunyai banyak manfaat, yaitu:
a.
Dapat meningkatkan pencapaian dan kemahiran kognitif
siswa.
b.
Dapat meningkatkan kemahiran sosial dan memperbaiki
hubungan sosial.
c.
Dapat meningkatkan keterampilan kepemimpinan.
d.
Dapat meningkatkan kepercayaan diri.
e.
Dapat meningkatkan kemahiran teknologi.
Menurut Hasan (1996), untuk memilih model yang tepat,
maka perlu diperhatikan relevansinya dengan pencapaian tujuan pengajaran. Dalam
prakteknya semua model pembelajaran bisa dikatakan baik jika memenuhi
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Semakin kecil upaya yang dilakukan Guru dan semakin
besar aktivitas belajar siswa, maka hal itu semakin baik.
2.
Semakin sedikit waktu yang diperlukan Guru untuk
mengaktifkan siswa belajar juga semakin baik.
3.
Sesuai dengan cara belajar siswa yang dilakukan.
4.
Dapat dilaksanakan dengan baik oleh Guru.
5.
Tidak ada satupun metode yang paling sesuai untuk
segala tujuan, jenis materi, dan proses belajar yang ada.
Ø
Keunggulan dan kelemahan strategi pembelajaran
kooperatif
Keunggulan pembelajaran kooperatif sebagai suatu
strategi pembelajaran diantaranya:
a.
Melalui sttategi pembelajaran kooperatif siswa tidak
terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan
kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan
belajar dari siswa yang lain.
b.
Strategi pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan
kemampuan mengungkapkan idea tau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan
membandingkannya dengan ide-ide orang lain.
c.
Strategi pembelajaran dapat membantu anak untuk respek
pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala
perbedaan.
d.
Strategi pembelajaran kooperatif dapat membantu
memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.
e.
Strategi pembelajaran kooperatif merupakan suatu
strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan
siswa, termasuk mengembangkan rasa harga diri. Hubungan interpersonal yang
positif dengan yang lain, mengembangkan keterampilan me-manage waktu, dan sikap
positif terhadap sekolah.
f.
Melalui strategi pembelajaran kooperatif dapat
mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri,
menerima umpan balik. Siswa dapat berpraktik memecahkan masalah tanpa takut
membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab
kelompoknya.
g.
Strategi pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan
kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi
nyara (riil).
h.
Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat
meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna
untuk proses jangka panjang.
Kelemahan pembelajaran kooperatif sebagai suatu
strategi pembelajaran diantaranya:
a.
Untuk memahami dan mengerti filosofis strategi
pembelajaran kooperatif memang butuh waaktu. Sangat tidak rasional kalau kita
mengharapkan secara otomatis siswa dapat mengerti dan memahami filsafat
kooperatif learning. Untuk siswa yang dianggap memiliki kelebihan, contohnya
mereka akan merasa terhambat oleh siswa yang dianggap kurang memiliki
kemampuan. Akibatnya, keadaan semacam ini dapat mengganggu iklim kerjasama
dalam kelompok.
b.
Ciri utama dari strategi pembelajaran kooperatif
adalah bahwa siswa saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer
teaching yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langsung dari guru,
bisa terjadi cara belajar yang demikian apa yang seharusnya dipelajari dan
dipahami tidak pernah dicapai oleh siswa.
c.
Penilaian yang diberikan dalam strategi pembelajaran
kooperatif didasarkan kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu
menyadari, bahwa sebenarrnya hasil atau prestasi yang diharapkan adalah
prestasi setiap individu siswa.
d.
Keberhasilan strategi pembelajaran kooperatif dalam
upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup
panjang, dan hal ini tidak mungkin dapat tercapai hanya dengan satu kali attau
sekali-sekali penerapan strategi ini.
e.
Walaupun kemempuan bekerja sama merupakan kemampuan
yang sangat penting untuk siswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan
yang hanya didasarrkan kepada kemampuan secara individual. Oleh karena itu
idealnya melalui strategi pembelajaran kooperatif selain siswa blajar bekerja
sama, siswa juga harus belajar bagaimana membangun kepercayaan diri. Untuk
mencapai kedua hal itu dalam strategi pembelajaran kooperatif memeang bukan
pekerjaan yang mudah.
Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa
variasi model yang dapat diterapkan, yaitu diantaranya:1) Student Team
Achievement Division (STAD), 2) Jigsaw, 3) Teams Games Tournaments (TGT), 4)
Group Investigation (GI), 5) Rotating Trio Exchange, dan 6) Group Resume.
A.
Model Pembelajaran Kooperaatif Tipe TGT
Model Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games
Tournament (TGT), atau Pertandingan Permainan Tim, pada mulanya dikembangkan
oleh David De Vries dan Keath Edward (1995). Model ini menggunakan pelajaran
yang sama yang disampaikan guru dan tim
kerja yang sama seperti dalam STAD, tetapi menggantikan kuis dengan turnamen,
di mana siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk
menyumbangkan poin bagi skor timnya.
TGT mempunyai banyak kesamaan dinamika dengan STAD,
tetapi menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan
permainan. Teman satu tim akan saling membantu alam mempersiapkan diri untuk
permainan denfgan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah
satu sama lain, tetapi sewaktu siswa sedang berrmain dalam game temannya tidak
boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual. Materi yang
sama yang digunakan dalam STAD dapat juga digunakan dalam TGT-kuis STAD
digunakan sebagai game dalam TGT. Sebagian guru lebih memilih TGT karena paktor
menyenangkan dan kegiatannya, sementara yang lain lebih meilih yang murni
bersipat kooperatif saja yaitu STAD, dan banyak juga mengkombinasikan keduanya.
Pembelajaran
kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif
yang mudah diterapkan, melibatkan seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan
status. Tipe ini melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya, mengandung unsur
permainan yang bisa menggairahkan semangat belajar dan mengandung
reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam
pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks
disamping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat
dan keterlibatan belajar.
TGT dapat digunakan dalam berbagai macam mata
pelajaran, dari ilmu-ulmu eksak, ilmu-ilmu sosial maupun bahasa dari jenjang
Pendidikan Dasar (SD, SMP) hingga pergururan tinggi. TGT sangat cocok untuk
mengajar tujuan pembelajaran yang dirumuskan dengan tajam dengan satu jawaban benar.
Meski demikian, TGT juga dapat diadaptasi untuk digunakan dengan tujuan yang
dirumuskan dengan kurang tajam dengan menggunakan penilaian yang bersifat
terbuka, misalnya esai atau kinerja (Nur dan Wikandari, 2000:27).
TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif
yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan 5 sampai 6
orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku kata atau ras yang
berbeda. Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka masing-masing.
Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap kelompok. Tugas yang
diberikan dikerjakan bersama-sama dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari
anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota
kelompok yang lain bertanggung jawab untuk memberikan jawaban atau
menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru.
Akhirnya untuk memastikan bahwa seluruh anggota
kelompok telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan permainan
akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam meja-meja turnamen,
dimana setiap meja turnamen terdiri dari 5 sampai 6 orang yang merupakan wakil
dari kelompoknya masing-masing. Dalam setiap meja permainan diusahakan agar
tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Siswa dikelompokkan
dalam satu meja turnamen secara homogen dari segi kemampuan akademik, artinya
dalam satu meja turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar setara.
Menurut Slavin, pembelajaran kooperatif tipe TGT
terdiri dari 5 tahapan yaitu :
1.
Tahap penyajian kelas (class precentation)
2.
Belajar dalam kelompok (teams)
3.
Permainan (geams)
4.
Pertandingan (tournament)
5.
Perhargaan kelompok ( team recognition)
Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Slavin, maka
model pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki ciri–ciri sebagai berikut:
1.
Penyajian kelas
Pada
awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya
dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi. Pada saat
penyajian kelas ini, siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi
yang diberikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat
kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor
kelompok.
2.
Kelompok (team)
Siswa
ditempatkan dalam kelompok–kelompok belajar yang memiliki kemampuan, jenis
kelamin, dan suku atau ras yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota
kelompok, diharapkan dapat memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa
yang berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai
materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri
siswa bahwa belajar secara kooperatif sangat menyenangkan. Fungsi kelompok
adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus
untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada
saat turnamen.
3.
Game
Game
terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang dirancang untuk
menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar
kelompok. Game tersebut dimainkan diatas meja dengan 6 orang siswa, yang
masing-msing mewakili tim yang berbeda. Kebanyakan game hanya berupa
nomor-nomor pertanyaan yang ditulis pada lembar yang sama. Siswa memilih kartu
bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor tersebut.
Sebuah aturan tentang penantang memperbolehkan para pemain saling menantang
jawaban masing-masing. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan
mendapatkan skor.
4.
Turnamen
Turnamen
adalah sebuah struktur di mana game berlangsung. Biasanya berlangsung pada
akhir minggu atau akhir unit, setelah guru memberikan persentasi di kelas dan
tim telah melaksanakan kerja kelompok terhadap lembar kegiatan. Tournament
biasanya dibuat dalam beberapa kategori. Misalnya kategori dengan kemampuan
rendah, sedang, dan tinggi. Setiap kelompok mengutus satu orang anggotanya di
setiap kategori. Dalam permainan setiap peserta yang bersaing merupakan wakil
dari kelompoknya. Permainan diawali dengan membacakan aturan permainan. Setelah
itu permainan dimulai dengan membagikan kartu soal beserta kunci jawabannya
yang di simpang secara terbalik di atas meja. Pertama ditentukan dahulu pembaca
soal dan pemain dengan cara diundi, sisanya bertindak sebagai penantang. Pemain
yang menang undian mengambil kartu undian yang berisikan nomor soal. Pembaca
soal akan membacakan soal sesuai dengan nomor soal yang diberikan oleh pemain.
Selanjutnya soal dikerjakan secara mandiri sampai waktu yang berikan habis dan
menuliskan jawabannya pada kartu jawaban. Setelah itu pemain membacakan
hasilnya, diikuti penantang secara bergiliran untuk membacakan hasilnya. Skor
hanya diberikan kepada permainan atau penantang yang menjawab benar. Permainan
diteruskan dengan kartu soal berikutnya sampai kartu soal habis, di mana setiap
peserta harus mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pembaca soal, pemain
dan penantang. Dalam permainan ini pembaca soal hanya bertugas membacakan soal
dan membuka kunci jawaban tanpa ikut mengerjakan soal atau memberikan jawaban
kepada peserta lain. Diakhir permainan setiap peserta mengumpulkan skor yang
diperolehnya. Selanjutnya setiap pemain kembali ke kelompoknya masing-masing dan melaporkan hasil
yang diperoleh berdasarkan tabel yang disediakan. Kelompok dengan skor
tertinggi menjadi pemenang dalam permainan ini.
5.
Penghargaan kelompok (team recognise)
Guru
kemudian mengumumkan kelompok yang menang, berdasarkan akumulasi skor yang
diperoleh. masing-masing team akan mendapat penghargaan atau hadiah apabila
skor memenuhi kriteria yang ditentukan.
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
(NUMBERED HEARD TOGETHER)
Dunia pendidikan kita ditandai oleh dispartasi antara
pencapaian academic standard dan performance standard.Faktanya, banyak peserta
didik mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang
diterimanya, namun pada kenyataannya mereka tidak memahaminya. Sebagian besar
dari peserta didik tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari
dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan. Peserta didik memiliki
kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan
yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Padahal
mereka sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan
tempat kerja dan masyarakat pada umumnya di mana mereka akan hidup dan bekerja,
karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah
untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini
maupun yang akan datang.
Dalam rangka mencapai kompetensi seperti yang
diharapkan, guru perlu mempersiapkan pedoman dalam penyampaian materi, juga
agar setiap langkah kegiatan pencapaian kompetensi untuk siswa dapat dilakukan
secara bertahap, sehingga diperoleh hasil pembelajaran yang optimal.Salah satu
model pembelajaran yang digunakan guru dalam menyampaikan materi yakni model
pembelajaran koopratif tife NHT.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran
yang mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai
tujuan pembelajaran.Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan
diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan. Tujuan
dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa
agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam
kegiatan-kegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktifitas pembelajaran
berpusat pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran serta berdiskusi untuk
memecahkan masalah.
Menurut Stahl (1994) dalam bukunya ismail (2003ciri-ciri
pembelajaran kooperatif adalah:
a.
Belajar
dengan teman
b.
Tatap
muka antar teman
c.
Mendengarkan
antar anggota
d.
Belajar
dari teman sendiri dalam kelompok
e.
Belajar
dalam kelompok kecil
f.
Aktif
berbicara atau mengemukakan pendapat atau gagasan
g.
Siswa
membuat keputusan dan
h.
Siswa
aktif
Sedangkan menurut Johnson (1984) belajar kooperatif
mempunyai ciri-ciri:
a.
Saling
ketergantungan yang positif
b.
Dapat
dipertanggung jawabkan secara individu
c.
Heterogin
d.
Berbagin
kepemimpinan
e.
Berbagi
tanggung jawab
f.
g.
Ditekankan
pada tugas dan kebersamaan
h.
Mempunyai
keterampilan dalam berhubungan social
i.
Guru
mengamati dan
j.
Efektivitas
tergantung pada kelompok
Dengan demikian dapat diringkas bahwa pembelajaran
koopratif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Siswa
belajar dalam kelompok, aktif mendengar, mengemukakan pendapat, dan membuat
keputusan secara bersama
b.
Kelompok siswa terdiri dari siswa-siswa yang
memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah
c.
Jika dalam kelas terdapat siswa –siswab yang
terdiri dari berbagai ras, suku, agama, budaya, dan jenis kelamin yang berbeda,
maka diupayakan agar dalam setiap kelompok pun terdapat ras, suku, agama, dan
jenis kelamin yang berbeda pula
d.
Penghargaan lebih diutamakan pada kerja
kelompok dari pada kerja perorangan.
Proses pembelajaran dengan model pembelajaran koopratif
dimulai dengan membagi siswa menjadi kelompok-kelompok kecil (3-5 siswa per
kelompok). Setiap siswa ditempatkan didalam kelas sedemikian rupa sehingga
antara annggota kelompok dapat belajar dan berdiskusi dengan baik tampa
mengganggu kelempok yang lain. Guru membanggi materi pelajaran, baik berupa
lembar kerja siswa, buku, atau penugasan. Selanjutnya guru menjelasakan tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai dan memberika pengarahan tenteng materi yang
harus dipelajari dan permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan. Siswa
secara sendiri-sendiri mempeajari matepembelajara,dan jika ada kesulitan mereke
saling berdiskusi dengan teman-temannya dalam kelompok. Untuk menguasai materi
pelajaran atau menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, setiap siswa dalam
kelompok ikut bertanggung jawab secara bersama, yakni dengan cara berdiskusi,
saling tukar ide, pengetahuan dan pengalaman, demi
tercapainya tujuan pembelajaran. sebagai tambahan, belajar kooperatif
menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok mencapai tujuan atau penguasaan
materi (Slavin, 1995). Johnson (1994) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar
koopratif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi
akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok.Karena siswa
belajar dalam suatu team, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di
antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan,
mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah
(Louisell & Descamps, 1992).
Zamroni (2000) mengemukakan bahwa manfaat penerapan
belajar koopratif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya
dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar koopratif
dapat mengembangkan solidaritas social dikalangan siswa. Dengan belajar
koopratif, diharapkan kelak akan muncul generasi yang memiliki prestasi
akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat.
Dari uraian tentang pembelajaran kooperatif ini, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tersebut memerlukan kerjasama antar
siswa dan saling ketergantung dalam struktus pencapaian tugas, tujuan, dan
penghargaan.Keberhasilkan pembelajaran ini tergantung dari keberhasilan
masing-masing individu dalam kelompok, di mana keberhasilan tersebut sangat
berarti untuk mencapai suatu tujuan yang positif dalam kelompok.
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu
tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk
meningkatkan penguasaan akademik. Number
head together(NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagen dan Ibrahim
(1993) untuk melibatkan para siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam
suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
Ibrahimmengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai
dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu :
1. Hasil belajar akademik
stuktural
Bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa
dalam tugas-tugas akademik.
2. Pengakuan adanya keragaman
Bertujuan agar siswa dapat menerima
teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang. Tipe pembelajaran ini
memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk
bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan saling
menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan keterampilan social
Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan
sosial siswa.
Keterampilan yang dimaksud antara lain
berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan
ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.Penerapan pembelajaran
kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep Kagen dalam Ibrahim (2000: 29), dengan
tiga langkah yaitu :
a)
Pembentukan kelompok
b)
Diskusi masalah
c)
Tukar jawaban antar kelompok
Langkah-langkah tersebut kemudian
dikembangkan oleh Ibrahim (2000: 29) menjadi enam langkah sebagai berikut :
Langkah 1. Persiapan
Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan
pelajaran dengan membuat Skenario Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Siswa (LKS)
yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Langkah 2. Pembentukan kelompok
Dalam pembentukan kelompok disesuaikan
dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi para siswa menjadi
beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5 orang siswa. Guru memberi nomor kepada
setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda. Kelompok yang
dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, ras,
suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar.Selain itu, dalam pembentukan
kelompok digunakan nilai tes awal (pre-test) sebagai dasar dalam menentukan
masing-masing kelompok.
Langkah 3. Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau
buku panduan
Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok
harus memiliki buku paket atau buku panduan agar memudahkan siswa dalam
menyelesaikan LKS atau masalah yang diberikan oleh guru.
Langkah 4. Diskusi masalah
Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS
kepada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok
setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap
orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau
pertanyaan yang telah diberikan oleh guru.Pertanyaan dapat bervariasi, dari
yang bersifat spesifik sampai yang bersifat umum.
Langkah 5. Memanggil nomor anggota atau pemberian
jawaban
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor
dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan
menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas.
Langkah 6. Memberi kesimpulan
Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban
akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan.
Menurut Nurhadi (2004;121) pembelajaran tipe
NHT dikembangkan dengan melibatkan siswa dalam melihat kembali bahan yang
tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka
mengenai isi pelajaran tersebut.Tahapan pelaksanaan pembelajaran kooperatif
tipe NHT diungkapkan oleh Nurhadi (2004;121) dalam 4 langkah sebagai berikut:
1.Penomoran (Numbering)
Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok
atau tim yang beranggotakan 3 hingga 5 orang dan memberi mereka nomor yang
berbeda.Pemberian nomor pada siswa disesuaikan dengan banyaknya siswa dalam
kelompok itu.
2.Pengajuan Pertanyaan (Questiening)
Guru mengajukansebuah pertanyaan kepada
siswa.Pertanyaan yang dapat bervariasi. Pertanyaan dapat bersifat spesifik dan dalam bentuk
kalimat Tanya. Misalnya, “Berapakah
jumlah gigi orang dewasa?”Atau berbentuk arahan, misalnya “Pastikan setiap
orang mengetahui 5 buah ibu kota provinsi yang terletak di pulau sumatra.
3.Berfikir Bersama (Heads Together)
Para siswa berfikir bersama untuk
menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban tersebut.
4.Pemberian Jawaban (Answering)
Guru memanggil satu nomor tertentu kemudian
siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan
menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas.
Dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT siswa
lebih bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan karna dalam tipe
pembelajaran ini siswa dalam kelompok diberi nomor yang berbeda dan tiap
anggota tahu bahwa hanya satu murid yang dipanggil untuk mempresentasikan
jawaban.Setiap kelompok melakukan diskusi untuk berbagi informasi antar anggota
sehingga setiap anggota mengetahui jawabannya.
Nanang (2009) mengemukakan empat langkah
yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu :
1.
Peserta
didik dibagi dalam kelompok setiap peserta didik dalam setiap kelompok tersebut
mendapat nomor.
2.
Guru
memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
3.
Kelompok
mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan setiap anggota kelompok dapat
mengerjakannya atau mengetahui jawabanya.
4.
Guru
memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil
kerjasama mereka.
5.
Tanggapan
dari teman yang lain kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
6.
Kesimpulan.
Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran
kooperatif tipe NHT terhadap siswa yang hasil belajar rendah yang dikemukakan
oleh Lundgren dalam Ibrahim (2000: 18),
antara lain adalah :
1. Rasa
harga diri menjadi lebih tinggi
2. Memperbaiki
kehadiran
3. Penerimaan
terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar
4. Perilaku
mengganggu menjadi lebih kecil
5. Konflik
antara pribadi berkurang
6. Pemahaman
yang lebih mendalam
7. Meningkatkan
kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
8. Hasil
belajar lebih tinggi
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW
Pendidikan yang mampu
mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu
mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mampu menghadapi dan memecahkan
problema dan kesulitan-kesulitan dalam kehidupan yang dihadapinya. Konsep
pendidikan terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di
masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersngkutan harus mampu menerapkan apa
yang telah dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema dan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini dan mas
mendatang.
Pemikiran ini mengandung
konsekuensi bahwa penympurnaan atau perbaikan pendidikan untuk mengantisipasi
kebutuhaan dan tantangan masa depan perlu terus menerus dilakukan, diselesikan
dengan perkembangan kebutuhan dunia usaha/ dunia industri, perkembangan dunia
kerja serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.Tugas seorang
guru selain membantu siswa mendapatkan informasi, ide-ide, keterampilan,
nilai-nilai, cara-cara berfikir dan mengemukakan pendapat adalah membimbing
para siswa tentang bagaimana belajar yang sesungguhnya dan belajar memecahkan
masalah yang dapat digunakan di masa depan mereka. Proses pembelajaran yang
terjadi selama siswa duduk di bangku sekolah dengan sendirinya menjadi sangat
menentukan keberhasilan mereka di masa yang akan datang.
Untuk mencapai hal-hal
tersebut di atas, pembelajaran matematika di Sekolah harus mencerminkan
pembelajaran yang aktif, efektif, keatif, dan menyenangkan. Karena itu juga
diperlukan perubahan strategi pembelajaran matematika.Selain strategi
pembelajaran di kenal juga istilah model pembelajaran matematika yang di
bedakan dari istilah strategi atau metode pembelajaran matematika. Istilah
model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari suatu strategi atau
metode pembelajaran.model pembelajaran memiliki empat ciri khusus yang tidak di
punyai oleh strategi atau metode tertentu,yaitu:
1.
raisional teoritik yang logis di susun oleh perancangnya
2.
tujuan pembelajaran yang akan di capai.
3.
tingkah laku pengajar yang di perlukan agar model tersebut dapat di
laksanakan dengan berhasil.
4.
lingkungan belajar yang di perlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat
tercapai.
Istilah
model pembelajaran meliputi pendekatan suatu model pembelajaran yang luas dan
menyeluruh. Model-model pembelajaran dapat di klasifikasikan berdasarkan tujuan
pembelajarannya, sintaks ( pola urutannya ) dan sifat lingkungan belajarnya
sebagai contoh pengklasifikasian berdasarkan tujuan adalah pembelajaran
langsung.
Sintaks(
pola urutan) dari suatumodel pembelajaran adalah pola yang menggambarkan urutan
alur tahap-tahap keseluruhan yang pada umumnya di sertai dengan serangkaian kegiatan
pembelajaran. Sintaks ( pola urutan) dari suatumodel pembelajaran tertentu
menunjukkan dengan jelas kegiatan-kegiatan apa yang hrus di lakukan oleh guru
atau siswa.sintaks ( pola urutan ) dari bermacam-macan model pembelajaran
memiliki komponen-komponen yang sama.contoh;setiap model pembelajaran di awali
dengan upaya menarik perhatian siswa dan memotivasi siswa agar terlibat dalam
proses pembelajaran.setiap model pembelajaran di akhiri dengan tahap menutup
pembelajaran,di dalamnya meliputi kegiatan merangkum pokok-pokok pelajaran yang
di lakukan oleh siswa dengan bimbingan guru.
Tiap-tiap
model pembelajaran membutuhkan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang
sedikit berbeda misalnya; model pembelajaran kooperatif memerlukan lingkungan
belajar yang fleksibel seperti tersedia meja dan korsi yang mudah di pindahkan.
Pada model pembelajaran diskusi para siswa duduk di bangku yang di susun secara
melingkar ( tapal kuda ). Sedangkan model pembelajaran langsung siswa duduk
berhadap-hadapan dengan guru.
Pada model
pembelajaran kooperatif siswa perlu berkomunikasi satu sama lain,sedangkan pada
model pembelajaran langsung siswa harus tenang dan memperhatikan guru.
Salah satu
model pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif. Pembelajaran
kooperatif merupakan suatu pembelajaran yang mngutamakan adanya kerja sama,
yakni; kerja sama antar siswa dalam kelompok untuk mencapi tujuan pembelajaran.
Para siswa di bagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan di arahkan untuk
mempelajari materi pelajaran yang telah di tentukan.
Tujuan
pembelajaran kooperatif dalah untuk membngkitkan interaksi yang efektip di
anatara anggota kelompok melalui diskusi. Dalam hal ini sebagian aktifitas
pembelajaran terpusat pada siswa,yakni mempelajri materi pelajaran,berdiskusi
untuk memecahkan masalah atau tugas. Dengan interaksi yang efektip di
mungkinkan semua kelompok dapat menguasai materi pada tingkat yang relatif
sejajar.
Ciri-ciri pembelajaran kooperatif:
a.
siwa belajar dalam kelompok, aktif mendengar,mengemukakan pendapat, dan membuet
keputusan secara bersama.
b.
Kelompok siswa terdiri dari siswa-siwa yang memiliki kemampuan
tinggi,sedang,dan rendah.
c.
Jika dalam kelas terdapat siswa/i yang terdiri dari berbagai
ras,suku,agama,budaya,dan jenis kelamin yang berbeda,maka di upayakan agar
dalam setiap kelompok terdapat ras,suku,agam,dan jenis kelamin yang berbeda
pula.
d.
Penghargaan lebih di utamakan pada
kerja kelompok dari pada akerja per orang.
Belajar
kooperatif bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai seorang guru dan mungkin siswa
kita pernah mengunakannya mengalaminya sebagai contoh saat bekerja dalam
laboratorium. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok
yang terdiri dari 4 atau 5 orang untuk
bekerja sama dalam menguasai materi yang dibeikan guru (Slavan, 1995; Eggen dan
Kauchak). Sedangkan Artzt dan Newman (1990: 448) menyatakan bahwa dalam belajar
kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan
tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota
kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya.
Pembelajaran
kooperatif bernaung dalam teori Konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari
konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit
jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam
kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi,
hakikat sosial dan penggunaaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam
pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran dengan model
kooperatif, memilliki tujuan diantaranya yaitu:
a.
hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif bertujuan
untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
b.
Pengakuan adanya keberagaman
Pembelajaran kooperatif bertujuan
agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam
perbedaan latar belakng.
c.
Pengembangan keterampilan sosial
Pembelajaran kooperatif bertujuan
untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa.
Seperti
halnya pada model pembelajan lansung, dalam model pembelajaran kooperatif juga
diperlukan tugas perencanaan, misalnya menentukan pendekatan yang tepat,
memilih topik yang sesuai, pembentukan kelompok siswa, menyiapkan LKS atau
panduan belajar siswa, mengenalkan siswa pada tugas dan perannya dalam
kelompok, merencanakan waktu dan tempat yang akan dipergunakan.
Salah
satu tugas guru dalam model pembelajaran kooperatif adalah memilih pendekatan
yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Dimana terdapat beberapa variasi
dari model pembelajaran kooperatif, yaitu; Student Team Achievement Division
(STAD), JIGSAW, Investigasi Kelompok (Teams Games Tournaments atau TGT), dan
Pendekatan Struktural yang meliputi Think Pair Share (TPS) dan Numbered Head
Together (NHT).
JIGSAW
Jigsaw
telah dikembangkan dan di uji coba oleh Elliot Aronson dan teman-temannya
(Aronson, Branely, Stephan, Sikes, dan Snapp(1978); Aronson, Bridgeman dan
Geffner(1978)) dari Universitas Texas. Selaras dengan pendapat Aronson(1978),
tehnik belajar kooperatif jigsaw lebih menyangkut kerjasama dan saling
ketergantungan antar siswa. Pertama kalinya dikembangkan untuk menghadapi isu
yang disebabkan perbedaan sekolah-sekolahdi Amerika Serikat yang sering terjadi
antara tahun 1964 dan 1974.
Metode
orisinil jigsaw, secara singkat digambarkan dalam bagian ini, membutuhkan pengembangan
yang ekstensif dari materi-materi khusus. Metode itu adalah strategi belajar
kooperatif dimana setiap siswa menjadi seorang anggota dalam bidang terentu.
Kemudian membagi pengetahuannya kepada anggota lain dari kelompoknya agar
setiap orang pada akhirnya dapat mempelajari konsep-konsep.
Menurut
Aronson pula, para siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok, masing-masing
anggota kelompok diberikan satu tugas untuk dikerjakan atau bagian-bagian dari
materi-materi penelitian untuk dikoreksi dan ditinjau ulang. Para siswa dari
masing-masing kelompok yanh memiliki tugas yang sama berkumpul membentuk
kelompok anggota yang benar-benar baru. Karena kelompok-kelompok anggota yang
baru ini mengerjakan tugas mereka, para siswa tersebut menjadi anggota dengan
bidang-bidang mereka yang telah ditentukan dengan mempelajari bagaimana
mengerjakan tugas-tugas mereka yang telah ditentukan juga. Para anggota dari
kelompok anggota kemudian bekerjasama untuk menentukan bagaimana cara
mengajarkan ilmu yang baru mereka peroleh kepada anggota lain dari
kelompok-kelompok peneltuan asal. Segera sesudah kelompok-kelompok anggota itu
melengkapi tugas-tugas mereka, para siswa kembali ke kelompok penelitian
mereka.
Pembelajarn
kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang
mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi peelajarn
untuk mencapai prestasi yang maksimal. Pembelajaran dengan metode jigsaw
diawali dengan pengenalan topik yang akan dibahas oleh guru. Guru bisa
menuliskan opik yang akan dibahas atau dipelajari di papan tulis, white board,
penayangan power point dan sebagainya. Guru menanyakan kepada peserta didik apa
yang mereka ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan sumbang saran ini
dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata atau struktur kognitif peserta didik
agar lebih siap menghadapi kegiatan pelajaran yang baru.
Untuk
mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya
heterogen,baik dari segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya. Dengan
demikian, cara yang efektif untuk menjamin heterogenitas kelompok ini adalah
guru membuat kelompok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan membuat kelompok
sendiri maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang sangat disukainya
misalnya sesama jenis, sesama etnik dan sama dalam kemampuan.
Hal
ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen dan seringkali siswa
tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun. Oleh karena itu, memberikan
kebebasan siswa untuk membenuk kelompok sendiri bukanlah cara yang baik, kecuali
guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga dapat menghasilkan
kelompok-kelompok yang heterogen. Pengelompokan secara acak juga dapat
digunakan, khusus jika pengelompokan itu terjadi pada awal tahun ajaran baru
dimana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang siswa-siswanya.
Jumlah
siswa yang bekerjasama harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk
dapat bekerjasama secara efektif, karena suatu ukuran kelompok mempengaruhi
kemampuan produktifitasnya. Dalam hal ini, Soejadi (2000) mengemukakan bahwa
jumlah anggota dalam satu kelompok apabila makin besar, dapat mengakibatkan
makin kurang efektif kerjasama antar para anggota kelompoknya.
Menururut
Edward (1989), mengemukakan bahwa kelompok yang terdiri dari empat orang
terbukti sangat efektif. Sedangkan Sudjana (1989) menyatakan bahwa beberapa
siswa dihimpun dalam satu kelompok dapat teriri dari 4-6 orang siswa. Jumlah
yang paling tepat menurut hasil penelitian Slavin adalah hal itu dikarenakan
kelompok yang beranggotakan 4-6 orang sswa lebih sepaham dalam menyelesaikan
suatu permasalahan dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang.
Yuzar
(2005) menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif jenis jigsaw, siswa
belajar kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 org ,heterogen dan bekerjasama
saling ketergantungan yang positif dan
bertanggung jawab secara mandiri. Setiap nanggota kelompok bertanggung jawab
atas ketuntasan bagian bahanpelajaran yang mesti di pelejari dan menyampaikan
bahan tersebut kepada anggota kelompok sial.
Wedman
(2006) mengemukakan ,model belajar kelompok menekankan nilai-nilai:
1)
Interakasi secara lisan untuk memahami informasi baru.
2)
Peranan siswa yang meminta pengorganisasian,menjelaskan dan
mengklasifikasikan imformasi baru.
3)
Pengalaman sosial yang mempasilitasi pemahaman pengembangan individu.
Dalam Jigsaw
ini setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu.
Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dan kelompoknya masing-masing bertemu
dengan anggota-anggota dan kelompok lain yang mempelajari materi yang sama.
Selanjutnya materi tersebut didiskusikan mempelajari dan memahami setiap
masalah yang dijumpai sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai
materi tersebut.
Pada tahap
ketiga, setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat menguasai materi yang
ditugaskannya,kemudian masing-masing perwakilan tersebut kembali ke kelompok
masing-masing atau kelompok asalnya. Selanjutnya masing-masing anggota tersebut
menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami
materi yang di tugaskan guru.
Pada tahap
ini siswa akan banyak menemui permasalahan yang tahap kesukarannya berpareasi.
Pengalaman seperti ini sangat penting terhadap perkembangan mental anak. Piaget
(dalam ruseffendi,1991) menyataka,”...bila menginginkan perkembangan mental
maka lebih cepat dapat masuk ke pada tahap yang lebih tinggi,supaya anak di
perkaya dengan banyak pengalaman”. Lebih lanjut Ruseffendi mengemukakan bahwa
kecerdasan mannusia dapat di tingkatkan hingga batas optimalnya dengan pengayaan
melalui pengalaman.
Pada tahap
selanjutnya siswa di beri tes atau kuis,hal tersebut dilakukan untuk mengetaui
apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi. Dengan demikian,secara umum
penyelenggaraan model belajar jigsaw dalam proses belajar mengajar dapat
menumbuhkan tanggung jawabsiswa sehingga terlibat langsun secara akitf dalam
memahami suatu persoalan dan menyelesaikan secara kelompok.
Pada
kegiatan ini keterlibatan guru dalam proses belajar mengajar semakin berkurang
dalam arti guru menjadi pusat kegitan kelas. Guru berperan sebagai fasilitator
yang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri serta menumbuhkan
rasa tangung jawab sera siswa akan merasa senang berdiskusi tentang Matematika
dalam kelompoknya. Mereka dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dan juga dengan
gurunyasebagai pembimbing. Dalam model pembelajaran biasa atau tradisional gur
menjadi pusat semua kegiatan kelas. Sebaliknya, di dalam mode belajat tipe
Jigsaw,meskipun tetap mengendalikan aturan,ia tidak lagi menjadi pusat kegiatan
kelas,tetapi siswalah yang menjadi pusat kegiatan kelas.
Motivasi
teman sebaya dapat digunakan secara efektif di kelas untuk meningkatkan, baik
pembelajaran kognitip siswa maupun pertumbuhan efektip siswa. Salah satu
tantangan terbesar yang dihadapi guru adalah motivasi siswa. Guru cendrung menggunakan kompetensi untuk
memotovasi siswa mereka dan sering mengabaikan strategi yang di dalamnya
terdapat kerjasama dan motivasi teman sebaya yang dapat di gunakan untuk
membantu siswa fous terhadap prestasi akademis. Mengapa tidak menciptakan
suasana kelas yang saling membantu dan memotivasi untuk mencapai tujuan umum?.
Aronson (1978) telah mengembangkan suatu strategi pendidikan, yaitu pendekatan
jigsaw direncanakan untuk mengunakan metode pembelajaran kooperatif di kelas.
Dalam
model jigsaw versi Aronson,kelas dibagi menjadi satu kelompok kecil yang
heterogen yang diberi nama tim jigsaw dan materi dibagi sebanyak kelompok
menurut anggota timnya. Tiap-tiap tim diberikan satu set materi yang lengkap
dan masing-masing individu ditugaskan untuk memilih topik mereka. Kemudian
siswa di pisahkan menjadi kelompok ”ahli”atau ”rekan” yang terdiri dari seluruh
siswa di kelas yang mempunyai bagian informasi yang sama.
Di
grup ahli,siswa saling membantu mempelajari materi dan mempersiapkan diri unuk
tim jigsaw. Setelah siswa mempelajari materi di grup ahli, kemudian mereka
kembali ke tim jigsaw untuk mengajarkan materi tersebut kepada teman setim dan
berusaha untuk mempelajari sisa materi. Teknik ini sama dengan teka-teki yang
di sebut pendekatan jidsaw. Sebagai kesimpulan dari pelajaran tersebut siswa
dengan bebas memilih kuis dan diberikan nilai individu.
Model
jigsaw dapat digunakan secara efektif di tiap level dimana siswa telah
mendapatkan keterampilan akdemis dari pemahaman,membaca maupun ketermpilan
kelompok untuk belajar bersama. Jenis meteri yang paling mudah digunakan untuk
pendekatan ini adalah bentuk naratif seperti ditemukan dal literatur,penilitian
sosial membaca dan ilmu pengetahuan. Materi pelajaran harus mengembangkan
keterampilan sebagai tujuan umum.
Langkah-langkah pembelajaran jigsaw
· Siswa di bagi atas
beberapa kelompok ( tiap kelompok anggotanya 5-6 orang).
· Materi pelajran diberikan
kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab.
· Setiap anggota kelompok
membaca subbab yang di tugaskan dan bertangung jawab untuk mepelajarinya.
Misalnya;jika materi yang di sampaikan mengenai sistem ekskresi. Maka seorang
siswa dari satu kelompok mempelajari tentang ginjal,siswa yang lain dari
kelompok satunya mempelajari tentang paru-paru,begitupun siswa yang lainnya
mempelajari kulit,dan lainnya lagi mempelajri hati.
· Anggota dari kelompok lain
yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam keompok-kelompok ahli
untuk mendiskusikannya.
· Setiap anggota kelompok
ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas mengajar teman-temannya.
· Pada pertemuan da diskusi
kelompok asal,siswa-siswa dikenai tagihan berupa kuis individu.
Persyaratan
lain yang perlu disiapkan guru, antara lain; Bahan Kuis, Lembar Kerja Siswa
(LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sistem evaluasi pada Jigsaw sama
dengan sistem evaluasi pada STAD, yaitu pemberian skor nilai baik secara
individual maupun kelompok.
Bentuk adaptasi dari jigsaw yang
lebih praktis dan mudah adalah Jigsaw II yang diadopsi oleh Slavin dan
teman-temannya di Universitas Jhon Hopkins. Jigsaw tipe II ini digunakan
apabila materi yang akan dipelajari berbentuk narasi tertulis. Metode ini
paling sesuai untuk subjek-subjek seperti pelajaran ilmu sosial, literatur,
sebagian pelajaran ilmu pengetahuan ilmiah dan bidang-bidang lainnya yang
tujuan pembelajaran lebih kepada penguasan kemampuan.
Dalam belajar kooperatif tipe
jigsaw, secara umum siswa dikelompokkan secara heterogen dalam kemampuan. Siswa
diberi materi yang baru atau pendalaman dari materi sebelumnya untuk
dipelajari. Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi
ahli (expect) pada suatu aspk tertentu dari materi tersebut. Setelah membaca
dan mempelajari materi, ”ahli” dari kelompok berbeda berkumpul untuk
mendiskusikan topik yang sama dari kelomopok lain sampai mereka menjadi ”ahli”
di konsep yang ia pelajari. Kemudian kembali ke kelompok semula untuk mengajarkan
topik yang mereka kuasai kepada teman sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau
assessment yang lain pada semua topik yang diberikan.
Ada perbedan mendasar antara
pembelajaran Jigsaw I dan Jigsaw II, kalau pada Jigsaw I, awalnya siswa hanya
belajar konsep tertentu yang akan menjadi spesialisasinya sementara
konsep-konsep yang lain ia dapatkan melalui diskusi dengan temen segrupnya.
Sedangkan pada Jigsaw II, setiap siswa memperoleh kesempatan belajar secara
keseluruhan konsep(scan read) sebelum ia belaajar spesialisasinya untuk menjadi
expert. Hal ini untuk memperoleh gambaran menyeluruh dari konsep yang akan
dibicarakan.
Langkah-langkah
Pembelajaran dengan jigsaw:
a)
Orientasi
Pendidik
menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan diberikan. Memberikan penekanan
tentang manfaat penggunaan metode jigsaw dalam proses belajar mengajar.
Mengingatkan senantiasa percaya diri, kritis, koopretif dalam model
pembelajaran ini. Peserta didik diminta belajar onsep secara keseluruhan secara
untuk memperoleh gambaran keseluruhan dari konsep.(Bisa juga pemahaman konsep ini
menjadi tugas yang sebelumnya harus sudah dibaca di rumah).
b)
Pengelompokan.
Misalkan
dalam kelas ada 20 siswa, yang kita tahu kemampuan matematikanya dan sudah di-rinking (siswa tidak perlu tahu), kita
bagi dalam 25% (ranking 1-5) kelompok sangat baik,25%(ranking 6-10) kelompok
baik,25% selanjutnya(ranking 11-15) kelompok sedang,25%(ranking 15-20) rendah.
Selanjutnya kita akan membaginya menjadi 5 grup (A-E) yang isi tiap-tiap
grupnya heterogen dalam kemampuan matematika, berilah indeks 1 untuk siswa dalam
kelompok sangat baik, indeks 2 untuk kelompok,baik indeks 3 untuk kelompok
sedang dan indeks 4 untuk kelompok rendah. Misalnya ( A1 berarti grup A dari
kelompok sangat baik,.....,A4grup A dari kelompok rendah).
Tiap grup akan berisi
Grup A
Grup B
Grup C
Grup D
Grup E
c)
Pembentukan da pebinaan kelompok expert.
Selanjutya
grup itu dipecah menjadi kelompok yang akan mempelajari materi yang kita
berikan dan dibina supaya jadi exepert,
berdasarkan indeksnya.
Kelompok 1 ( A1,B1,C1,D1,E1
)
Kelompok 2 ( A2,B2,C2,D2,E2
)
Kelompok 3 ( A3,B3,C3,D3,E3
)
Kelompok 4 ( A4,B4,C4,D4,E4
)
Tiap kelompok ini di beri konsep
matematika (transpormasi) sesuai dengan kemampuanya. Kelompok 1 yang terdiri
dari siswa yang baik kemampuannya di beri mateeri yang lebih kompleks worksheet 1 ( pencerminan pada garis
y=x,y=-x,garis x=h,y=h dan pencerminan pada sumbu koordinat). Kelompok 2 diberi
materi worksheet 2 ( translasi pada
koordinat kartesius dan gabungan dua translasi). Kelompok 3 di beri materi worksheet 3 ( menyatakan translasi dalam
ektor kolom) dan kelompok 4 ( pencerminan pada sumbu x,pada y,sifat-sifat
pencerminan)
Setiap kelompok diharapkan bisa
belajar topik yang diberikan dengan ssebaik-baiknya sebelum ia kembali ke dalam
grup sebagai tim ahli”expert”,tentunyab
peran pendidik cukup penting dalam fase ini.
d)
Diskusi (pemaparan ) kelompok ahli dalam grup.
Expertist
(peserta didik ahli) dalam konsep tertentu ini, masing-masing kembali dalam
grup semula. Pada fase ini kelima grup (1-5) memiliki ahli dalam konsep-konsep
tertentu (Worksheet 1-4 ). Selamjutnya pendidik mempersilakan anggota grup
untuk mempersenaasikan keahliannya kepada grupnya masing-masing, satu persatu .
proses ini di harapkan akan terjadi shearing
pengetahuan antar mereka.
Aturan dalam fase ini adalah:
-
siswa memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap anggota tim
mempelajari materi yang diberikan.
-
Memperoleh pengetahuan baru adalah tanggung jawab bersama, jadi tidak ada
yang selesai belajar sampai setiap anggota menguasai konsep.
-
Tanyakan pada anggota grup sebelum tanya pada pendidik.
-
Pembecaraan di lakukan secara pelan agar tidak mengganggu grup lain.
-
Akhiri diskusi dengan ”merayakannya”agar memperoleh kepuasan.
e)
Tes (penilaian)
Pad fase ini
guru memberikan tes tulis untuk di kerjakan oleh siswa yang memuat seluruh
konsep yang didiskusikan. Pada tes ini siswa tidak diperkenankan untuk bekerja
sama. Jika mungkin tepat duduknya agak dijauhkan.
f)
Pengakuan kelompok
Penilain
pada pembelajaran kooperatif berdasarkan skor peningkatan individu,tidak
didasarkan pada skor akhir yang di peroleh siswa,tetapi berdasarkan pada
seberapa jauh skor itu melampui rata-rata skor sebelumnya. Setiap siswa dapat memberikan
konstribusi poin maksimum pada kelompok. Siswa memperoleh skor untuk
kelompoknya didasarkan pada skor kuis mereka melampui skor dasar mereka.
JIGSAW ORISINAL
`Model jigsaw oronson yang
orisianal,irip dengan jigsaw II dalam sebagian besar aspeknya,tetapi juga
mempunyai beberapa perbedaan penting. Dalam jigsaw orisinal, para siswa membaca
bagian-bagian yang berbeda dengan yang dibaca oleh teman satu timnya. Ini
memang berguna untuk membantu para ahli menguasai informasi yang unik, sehingga
membuat tim sangat menghargai kontribusi tiap anggotanya.
Jigsaw orisinal juga membutuhkan
waktu yang lebih sedikit dibanding dengan jigsaw II; bacanya singkat,hanya satu
bagian dari seluruh unit yang harus dipelajari. Bagian yang paling sulit dari
jigsaw orisinal adalah bahwa tiap bagian harus ditulis supaya dengan sendirinya
dapat dipahami. Materi-materi yang ada tidak dapat digunakan,yang merupakan
kebaikan dari jigsaw II:buku jarang sekali dapat dibagi-bdgi dengan rapi ke
dalam bagian-bagian yang cukup masuk akal tanpa bagian lainnya.
Mempersiapkan unit jigsaw orisinal
melibatkan penulisan kembali materi untuk menyesuaikannya dengan format
jigsawII adalah bahwa semua siswa membaca semua materi, yang akan mebuat
konsep-konsep yang telah disatukan menjadi lebih mudah untuk dipahami. Guru
yang ingin memanfaaatkan kelebihan dari fitur-fitur tertentu dri jigsaw dapt
mewujudkan dengan menggunakan jigsaw II dengan memodifikasi-memodifikasi sebagi
berikut:
1.
tulislah unit-unit yang menampilkan informasi unik mengenai subjek tetapi
buetlah supaya tetap masuk akal. Anda bisa melakuka ini dengan memotong bagian
teks dan menambahkan informasi yang diperlukan,atau dengan menuliskan materi
yang benar-benar baru.
2.
bagilah siswa ke dalam tim yang beranggotakan 5-6 orang dan buaatlah lima
topik untuk tiap unit.
3.
tunjuklah satu orang pemimpin tim,dan tekankan latihan pembentukan tim
sebelum dan selama menggunakn tehnik tersebut.
4.
seringlah menggunakan kuis-kuis dan jangan menggunakan sekor tim,skor
kemajuan,atua lembar berita. Cukup berikan nilai individu kepada siswa.
CARA LAIN
MENGGUNAKAN JIGSAW
Jigsaw adalah
salah satu dari metode-metode koperatif yang paling fleksibel. Beberapa
modifikasi dapat membuaatnya tetap pada model dasarnya tetapi mengubah beberapa
detil implementasinya:
1.
dari pada membuat para siswa merujuk kepada materi naratif untuk
mengumpulkan informasi mengenai topik mereka,anda juga bis menyuruh mereka
mencari serangkain materi-materi ke perpustakaan atau kelas untuk mendapatkan
informasi tersebut
2.
setelah para ahli menyampaikan laporan, mintaklah siswa menulis esai atau
memberikan laporan lisan dari pada memberikan kuis.
3.
anda juga bisa memberikan tiap tim topik yang unik untuk dipelajari dan
memberikan masing-masing anggota tim sebuah subtopik dari pad sekedar menyuruh
mereka semua mempelejari materi yang sama. Tim kemudian dapat mempersiapkan dan
membuat sebuah presentasi lisan kehadapan kelas.
Pengertian Diskusi Dan Metode Diskusi
Menurut
pengertian yang dikemukakan dalam kamus besar bahasa Indonesia(1998) bahwa diskusi
adalah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Diskusi
juga dapat diartikan sebagai percakapan responsive yang dijalin oleh
pertanyaan-pertanayaan problematic yang diarahkan untuk memperoleh pemecahan
masalah.
Metode
diskusi adalah cara penyajian pelajaran, di mana siswa-siswa dihadapkan pada suatu masalah yang bisa berupa
pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematik untuk dibahas dan
dipecahkan bersama.
Metode
diskusi adalah metode pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu
permasalahan.
A.
Alasan Pemilihan Metode Diskusi
Salah satu komponen yang
sangat menentukan terhadap keberhasilan atau tidaknya suatu proses pengajaran
adalah metodenya. Sebagai penyaji memilih metode diskusi dikarenakan dengan
menggunakan metode ini akan mendorong siswa berfikir sistematis dengan
menghadapkannya kepada masalah-masalah yang akan dipecahkan. Selain itu dengan
menggunakan metode diskusi, siswa terlibat aktif dalam proses belajar mengajar.
Dengan diskusi murid dapat saling tukar menukar informasi, menerima informasi
dan dapat pula mempertahankan pendapatnya dalam rangka pemecahan masalah yang
dapat ditinjau dari berbagai segi. Dengan metode diskusi, tepat diguanakan pada
pembelajaran matematika dengan materi “Teorema Sisa dan Teorema Faktor” karena
dengan materi ini muncul banyak permasalahan yang harus diselesaikan oleh siswa
dengan mendiskusikannya. Metode diskusi merupakan suatu metode pengajaran yang
mana guru memberi suatu persoalan atau masalah kepada murid, dan para murid diberi
kesempatan secara bersama-sama untuk memecahkan masalah itu dengan
teman-temannya. Dalam diskusi murid dapat mengemukakan pendapat, menyangkal
pendapat orang lain, mengajukan usul-usul, dan mengajukan saran-saran dalam
rangka pemecahan masalah yang ditinjau dari berbagai segi. Metode diskusi
adalah suatu cara penyampaian materi pelajaran melalui sarana pertukaran
pikiran untuk memecahkan persoalan yang dihadapai ( Semiwan, 19990 :76 ).
Sedangkan menurut Suryosubroto ( 1997:179 ) mengemukakan metode diskusi adalah
suatu cara penyajian bahan pengajaran dengan guru memberikan kesempatan kepada
siswa atau kelompok-kelompok untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna
mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun ke berbagai alternatif
pemecahan suatu masalah. Dalam diskusi, setiap siswa turut berpartisipasi
secara aktif dan turut aktif pula dalam memecahkan masalah. Semakin banyak
siswa yang terlibat, semakin banyak pula yang mereka pelajari. Sedangkan guru
tidak banyak ikut campur tangan sebab nantinya siswa tidak dapat belajar
banyak. Dengan melaksanakan metode diskusi maka suasana kelas akan menjadi
semakin hidup, setiap anak diharapkan menjadi berpartisipasi secara aktif.
Dalam diskusi, peranan guru sebagai pusat pemberi informasi, pemberi ketegasan,
penentu batas dapat dikurangi. Sehingga guru hanya sebagai pengatur lalu lintas
dan penunjuk jalandalam pelaksanaan diskusi. Sedangkan pemecahan masalah
diserahkan kepada semua siswa. Sebagai pengatur lalu lintas jalannya diskusi
maka guru harus dapat mengatur jalannya diskusi agar pembicaraan tidak dikuasai
oleh sebagian murid saja, mencegah agar tidak ada anak yang selalu memotong
pembicaraan orang lain atau ribut-ribut bicara bersama, dan juga memberi
kesempatan serta mendorong agar semua anak mengemukakan pendapatnya. Dalam hal
ini guru dapat pula menurunkan ketegangan dari siswa dengan menjelaskan posisi
argumentasinya deibandingkan dengan teman-temannya. Sebagai penunjuk jalan,
maka harus bisa mengarahkan diskusi agar jalannya diskudi dapat berjalan dengan
baik.
Hal-hal yang harus dilakukan
guru sebagai penunjuk jalan adalah :
1) Menjelaskan kembali apa yang menjadi pokok
permasalahan apabila ada gejala-gejala
pembahasan akan menyimpang pada persoalan semula.
2) Menyerahkan gagasan baru di dalam melihat
masalah yang sedang didiskusikan itu.
3) Menunjukkan aspek-aspek penting yang menjadi
pokok pembahasan dengan ditinjau dari berbagai segi pemecahan masalah.
4) memutuskan kembali pernyataan seseorang siswa
dengan jalan memperjelas pendapat anak yang kurang dapat dimengerti oleh anak
lain.
5) Menyimpulkan semua yang telah dikemukakan
siswa, di mana titik pertemuanya dan titik perbedaannya dijelasakan kembali
kepada siswa.
Pelaksanaan diskusi dalam
proses belajar-mengajar, para siswa dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok yang disesuaikan dengan kebutuhan atau jenis diskusi. Setiap kelompok
berkisar 5 sampai 8 orang. Sehingga kalau dalam kelas terdapat 40 siswa maka
akan menjadi 5 samapi 6 kelompok diskusi. Masing-masing kelompok diberi
persoalan untuk dipecahkan bersama-sama dalam kelompok tersebut. Permasalahan
yang diberikan kepada setiap kelompok bisa sama atau berbeda-beda. Tentang
pengaturan kelompok dan pemberian masalah sebaiknya disesuaikan dengan jenis
diskusi yang dilaksanakan dalam
proses belajar mengajar.
B.
Tujuan
Metode Diskusi
Tujuan
metode diskusi adalah untuk memecahkan
suatu permasalahan, menjawab pertanyaan, menambah dan mengetahui pemahaman
siswa. Secara umum tujuan metode diskusi antara lain:
Karena itu,
diskusi bukanlah debat yang bersifat mengadu argumentasi. Diskusi lebih
bersifat bertukar pengalaman untuk menentukan keputusan tertentu secara
bersama-sama. Selama ini banyak guru yang merasa keberatan untuk menggunakan
metode diskusi dalam proses pembelajaran. Keberatan itu biasanya timbul dari
asumsi:
a.
Diskusi
merupakan metode yang sulit diprediksi hasilnya oleh karena interaksi antar
siswa muncul secara spssontan, sehingga hasil dan arah diskusi sulit
ditentukan.
b.
Diskusi
biasanya memrlukan waktu yang cukup panjang, padahal waktu pembelajaran didalam
kelas sangat terbatas, sehingga keterbatasan itu tidak mungkin menghasilkan
sesuatu secara tuntas.
Dalam proses belajar mengajar,
metode diskusi mempunyai beberapa tujuan antara lain :
1)
Menanamkan
dan mengembangkan keberanian untuk mengemukakan pendapat sendiri.
2)
Mencari
kebenaran secara jujur melalui pertimbangan pendapat yang mungkin saja berbeda
antara satu dengan yang lain.
3)
Belajar
menemukan kesepakatan pendapat melalui musyawarah.
4)
Memberikan
kehidupan kelas yang lebih mendekati kegiatan hidup yang sebenarnya.
Sebenarnya
hal ini tidak perlu dirisaukan oieh guru. Sebab dengan perencanaan dan
persiapan yang matang kejadian seperti itu bisa dihindari.
Dilihat
dari pengorganisasian materi pembelajaran, ada perbedaan yang sangat prinsip
dibandingkan dengan metode sebelumnya, yaitu ceramah dan demonstrasi. Kalau
ceramah atau demonstrasi materi pelajaran sudah diorganisir sedemikian rupa
sehingga guru tingggal menyampaikannya, maka tidak demikian halnya dengan
metode diskusi. Pada metode ini bahan atau materi pembelajaran tidak
diorganisir sebeelumnya serta tidak
disajikan langsung kepada siswa, materi pembelajaran ditemukan dan diiorganisir
oleh siswa sendiri, oleh karena tujuan terutama metode ini bukan hanya sekedar
hasil belajar, tetapi yang penting adalah proses belajar.
C.
Jenis-Jenis
Diskusi
Terdapat
bermacam-macam jenis diskusi yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran,
antara lain:
1)
Diskusi
kelas
Diskusi
kelas disebut juga diskusi kelompok adalah proses pemecahan masalah yang
dilakukan seluruh anggota kelas sebagai angota diskusi. Prosedur yang
digunakan dalam jenis diskusi ini adalah
:
a.
guru
membagi tugas sebagai pelaksanaan diskusi, misalnya siapa yang akan menjadi
moderator, siapa yang menjadi penulis.
b.
Kedua,
sumber masalah di (guru, siswa atau ahli tertentu dari luar) memaparkan masalah
yang harus dipecahkan selama 10-15 menit.
c.
Ketiga,
siswa di berikan kesempatan untuk menaggapi permasalahan setelah mendaptar pada
moderator.
d.
Keempat,
sumber masalah member tanggapan, dan kelima, moderator menyimpulkan hasil
diskusi.
2)
Diskusi
kelompok kecil
Diskusi
kelompok kecil dilakukan membagi siswa dalam kelompok- kelompok. Jumlah anggota
kelompok antara 3-5 orang. Pelaksanaan di mulai sejak guru menyajikan
permasalahan secara umum, kemudian masalah tersebut di bagi- bagi kedalam sub
masalah yang harus di pecahkan oleh setiap kolompok kecil. Selesai diskusi
dalam kelompok kecil, ketua kelompok menyajikan hasil diskusinya.
3)
Simposium
Simposium
adalah metode mengajar dengan membahas suatu persoalaan di pandang dari
berbagai sudut pandang berdasarkan keahlian. Setelah para ahli memberikan
pandangannya tentang masalah yang di bahas, maka symposium diakhiri dengan
pembacaan kesimpulan hasil kerja tim perumus yang telah di tentukan sebelumnya,
4)
Diskusi
panel
Diskusi
panel adalah pembahasan suatu masalah yang di lakukan oleh beberapa orang
panelis yang biasanya terdiri dari 4-5 orang di hadapan audien. Diskusi panel
berbeda dengan jenis diskusi lainya. Dalam diskusi panel audiens tidak terlibat
secara langsung, tetapi berperan hanya sekedar peninjau para penelis yang
sedang melaksanakan diskusi. Oleh sebab itu , agar diskusi panel afektif perlu
di gabungkan dengan metode lain, misalnya dengan metode penugasan. Siswa di
suruh untuk merumuskan hasil pembahasan diskusi.
Secara umum
ada dua jenis diskusi yang biasa dilakukan
dalam proses pembelajaran
1.
Diskusi
kelompok
Diskusi ini
juga dinamakan diskusi kelas. Pada diskusi ini permasalahan yang disajikan oleh
guru dipecahkan oleh keelas secara keseluruhan dan yang mengatur jalannya
diskusi adalah guru itu sendiri.
2.
Diskusi
kelompok kecil
Pada
diskusi ini siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok tersiri dari
3-7 orang. Proses pelaksanaannya ini dimulai dari guru menyajikan masalah
dengan beberapa sub masalah. Setiap kelompok memecahkan sub masalah yang
disampaikan guru. Proses didkusi
diakhiri dengan laporan setiap kelompok
Jenis apa
pun diskusi yang digunakan menurut bridges (1979) dalam proses pelaksanaannya,
guru harus mengatur kondisi agar :
1)
Setiap
siswa dapat bicara mengeluarkan gagasan dan pendapatnya
2)
Setiap
siswa harus saling mendengar pendapat orang lain
3)
Setiap
siswa harus saling member respon
4)
Setiap
siswa harus ddapat mengumpulkan atau mencatat ide-ideyang dianggap penting
5)
Melalui
diskusi setiap siswa harus dapat mengembangkan pengetahuannya serta memahami
isu-isu yang dibicarakan dalam diskusi.
Kondisi
tersebut ditekankan oleh Bridges sebab diskusi merupakan metode pembelajaran
yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan
strategi pembelajaran berbasis pemecahan masalah. Strategi ini
diharapkan bisa mendorong siswa untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir ilmiah
serta dapat mengembangkan pengetahuan siswa.
D.
Langkah-Langkah
Menggunakan Metode Diskusi
Agar
penggunaan diskusi berhasil dengan efektif, maka perlu dilakukan
llangkah-langkah sebagai berikut:
1)
Langkah
persiapan
Hal-hal
yang harus diperhatiikan dalam persiapan diskusi diantaranya:
·
Merumuskan
tujuan yang ingin dicapai, baik tujauan yang bersifat umum maupun tujuan yang
khusus. Tujuan yang ingin dicapai mesti di pahami oleh setiap siswa sebagai
peserta diskusi. Tujuan yang jelas dapat dijadikan sebagai kontrol dalam
pelaksanaan.
·
Menentukan
jenis diskusi yang dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Misalnya, apabila tujuan yang ingin dicapai adalah penambahan wawasan siswa
tentang suatu persoalan, maka dapat digunakan diskusi panel,sedangkan jika yang
diutamakan adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam mengembangkan gagasan,
maka simposisum dianggap sebagai jenis diskusi yang tepat.
·
Menetapkan
masalah yang dibahas. Masalah dapat ditentukan dari isi materi pembelajaran
atau masalah-masalah yang actual yang terjadi dilingkungan masyarakat yang
dihubungkan dengan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkan.
·
Mempersiapkan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tehnis pelaksanaan diskus, misalnya
ruang kelas dengan segala fasilitasnya, petugas-petugas diskusi-seperti
moderator, notulis, dan tim perumus, manakala diperlukan.
2)
Pelaksanaan
diskusi
Beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan diskusi adalah:
·
Memeriksa
segala persiapan yang dianggapa dapat mempengaruh kelancaran diskusi.
·
Memberikan
pengarahan sebelum dilaksanakan diskusi, misalnya menyajikan tujuan yang
dicapai secara aturan-aturan diskusi sesuai dengan jenis diskusi yang
dilakasanakan.
·
Melaksanakan
diskusi sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan
diskusi hendaklah memerhatikan suasana atau
iklim belajar yang menyenangkan, misalnya tidak tegang, tidak saling
mennyudutkan,
·
Memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap peserta diskusi untuk mengeluarkan gagasan
dan ide-idenya.
·
Mengendalikan
pembicaraan kepada pokok persoalan yang sedangv dibahas. Hal ini sangat
penting, sebab tanpa pengembalian biasannya arah pembahasan menjadi melebar dan
tidak terfokus.
3)
Menutup
diskusi
Akhir
dari proses pembelajaran dengan menggunakan diskusi hendaklah lakukan hal-hal
sebagai berikut:
·
Membuat
pokok-pokok pembahasan sebagai kesimpulan sesuai dengan hasil diskusi.
·
Me-review jalannya diskusi dengan
meminta pendapat dari seluruh peserta sebagai umpan balik untuk perbaikan
selanjutnya
Agar proses
pembelajaran dengan metode diskusi berjalan lancar, dan menghasilkan tujuan
belajar secara efektif, perlu diperhatikan langkah-langkah berikut.
a.
Rumuskanlah
tujuan dan masalah yang akan dijadikan topic diskusi.
b.
Siapkanlah
sarana dan prasarana yang diperlukan untuk diskusi.
c.
Susunlah
peranan-peranan peserta didik dalalm diskusi, sesuai dengan diskusi yang akan
dilakukan.
d.
Berillah
pengarahan kepada pesrta didik secukupnya agar melibatkan diri secara aktif
dalam kegiatan diskusi.
e.
Ciptakanlah
suasana yang kondusif sehingga peserta dapat mengemukakan pendapat secara bebas
untuk memecahkan masalah yang didiskusikan.
f.
Berilah
kesempatan kepada peserta didik secara merata agar diskusi tidak didominasi
oleh beberapa orang saja.
g.
Sesuaikanlah
penyenggaraan diskusi dengan waktu yang tersedia.
h.
Sadarlah
akan peranan guru dalam diskusi, baik sebagai fasilitator, pengawas,
pembimbing, maupun sebagai evaluator jalannya diskusi.
i.
Akhirilah
diskusi dengan mengambil kesimpulan dari apa-apa yang telah dibicarakan.
Kesimpulan sebaiknya dilakukan oleh peserta didik, mungkin dibawah bimbingan
guru. Kalau peserta didik sulit untuk mengambil kesimpulan, kesimpulan dapat
dilakukan oleh guru, jangan sampai mengulur-ulur waktu.
E.
Kelebihan
Dan Kekurangan Metode Diskusi
Ada
beberapa kelebihan metode diskusi, mana kala diterapkan dalam kegiatan belajar
mengajar.
1.
Metode
diskusi dapat merangsang siswa unutk lebih kreatif khususnya dalam memberikan
gagasan-gagasan dan ide-ide.
2.
Dapat
melatih untuk membiasakan diri bertukar pikiran dalam mengatasi setiap
permasalahan.
3.
Dapat
melatih siswa untuk dapat mengemukakan pendapat atu gagasan secara verbal.
Disamping itu juga bisa melatih siswa untuk menghargai pendapat orang lain
4.
Memperluas
wawasan
5.
Merangsang
kreativitas anak didik dalam bentuk ide, gagasan-prakarsa, terobosan baru dalam
pemecahan suatu masalah.
6.
Membina
untuk terbiasa musyawarah untuk mufakat dalam memecahkan suatu masalah
Selain
bebrapa kelebihan, diskusi juga memiliki beberapa kelemahan, di antaranya:
1.
Serinng
terjadi pembicaraan dalam diskusi dikuasai oleh 2 atau 3 orang siswa yang
memiliki bketerampialan berbiara.
2.
Kadang-kadang
pembahasan di dalam diskusi meluas sehingga kesimpulan menjadi kabur.
3.
Memerlukan
waktu yang cukup panjang , yang kadang-kadang tidak sesuai dengan direncanakan
4.
Dalam
diskusi sering terjadi perbedaan pendapat yang bersifat emosionalyang tidak
terkontrol. Akibatnya, kadang-kadang ada pihak yang merasa tersinggung,
sehingga dapat mengganggu iklim pembelajaran.
5.
Tidak
dapat dipakai pada kelompok yang besar
Peserta
mendapatkan informasi yang terba Agar pelaksanaan diskusi dapat berjalan dengan
baik, maka guru perlu mencari permasalahan yang kira-kira tepat untuk menjadi
bahan diskusi. Masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan yang baik untuk
dijadikan bahan diskusi hendaknya memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut
:
1)
Masalah-masalah
atau pertanyaan-pertanyaan itu hendaknya mengandung berbagai kemungkinan
jawaban atau pemecahan, sehingga setiap jawaban itu mempunyai kebenaran
ditinjau dari sudut pandang tertentu
2)
Masalah-masalah itu hendaknya mempunyai arti
bagi anak dan hendaknya disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak.
3)
Masalah atau pertanyaan itu hendaknya dapat
mengembangkan tarap belajar yang lebih tinggi.
Cara-cara mengatasi kelemahan-kelemahan
metode diskusi ada beberapa cara yang dapat diupayakan untuk mengatasi
kelemahan metode diskusi antara lain :
·
Dalam
menggunakan metode diskusi perhatikan persyaratan berikut :
·
Taraf
kemampuan murid
·
Tingkat
kesukuran yang memerlukan pemecahan yang serius agar dipimpin langsung oleh
guru
·
Kalau
pimpinan diskusi diberikan kepada murid hendaknya diatur secara bergiliran
·
Guru
tak boleh sepenuhnya mempercayakan pimpinan diskusi pada murid, perlu bimbingan
dan kontrol
·
Guru
mengusahakan seluruh murid ikut berpartisifasi dalam diskusi
·
Diusahakan
supaya murid mendapat giliran berbicara dan murid lain belajar bersabar
mendengarkan pendapat temannya.
Pengertian
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Pada dasarnya pengertian
pembelajaran kooperatif secara umum banyak
dikemukakan oleh para ahli diantaranya : Pembelajaran kooperatif adalah
sikap siswa atau perilaku bersama, kadang-kadang harus diperhatikan oleh guru
atau membantu diantara sesama, dalam struktur kerjasama yang teratur dalam
kelompoknya yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling kerja sama
(Stahl,1994). Sedangkan,
Jhonson
& Jhonson (1994) mengemukakan pembelajaran kooperaif adalah mengerjakan
sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim
untuk mencapai tujuan bersama. Sunal & Hass(1993) pembelajaran kooperatif
merupakan pendekatan serangkaian strategi yang khusus di rancang untuk member
dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama berlangsungnya proses
pembelajaran
Pembelajaran kooperatif
tipe Student Team Achievement Division (STAD) merupakan pendekatan Cooperatif
Learning yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk
saling memotivasi dan saling membantu dalam mengusai materi pelajaran guna
mencapai prestasi yang maksimal. Pembelajaran kooperatif tipe Student Team
Achievement Division ( STAD ) ini merupakan salah satu tipe dari model
pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok 4-5 orang secara
heterogen.
STAD
merupakan salah satu system pembelajaran kooperatif yang didalamnya siswa
dibentuk kedalam kelompok belajar yang mempunyai tingkat kemampuan dan jenis
kelamin yang berbeda. Guru memberikan pelajaran dan selanjutnya siswa bekerja
dalam kelompok masing- masing untuk memastikan bahwa angota kelampok telah
menguasai pelajaran yang telah diberikan kemudian siswa melaksanakan tes atas
materi yang diberikan dan mereka harus mengerjakan sendiri tanpa bantuan siswa
lainnya. Ibrahim dkk ( 2000: 20 – 21 ) mentatakan bahwa pembelajaran kooperatif
tipe STAD adalah model pembelajaran yang paling sederhana. guru yang mengunakan STAD juga mengacu kepada
belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap
minggu mengunakan persentasi perbal atau teks ( dapat dipertanggung jawabkan ).
Pembelajaran
STAD Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi,
kegiatan kelompok, kuis dan penghargaan kelompok. Slavin ( dalam Nur, 2000: 26
) menyatakan bahwa pada STAD siswa ditempatkan
dalam tim belajar beranggotakan 4-5 orang yang merupakan campuran
menurut tingkat prestasi, jenis kelamin dan suku. Akhirnya seluruh siswa
dikenai kuis tentang materi itu dengan
catatan, saat kuis mereka tidak boleh saling membantu. Tipe inilah yang akan
diterapkan dalam pembelajaran matematika.
Pembelajaran kooperatif
tipe Student Team Achievement Division ( STAD ) yang dikembangkan oleh Robert
Slavin dan teman-temannya di Universitas Jhon Hopkin ( dalam Slavin, 1995 )
merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan
pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru yang baru mulai
menggunakan pembelajaran kooperatif. Tipe yang dikembangkan Slavin ini
merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan
interaksi diantara sisiwa untuk saling
memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai
prestasi yang maksimal. Menurut Nur dan Wikandari (2000: 31 – 32 ), STAD
terdiri dari siklus kegiatan pengajaran seperti berikut ini:
n Mengajar: menyajikan
pelajaran
n Belajar dalam tim: siswa
bekerja didalam tim mereka denagn dipandu oleh lembar kegiatan siswa untuk
menuntaskan materi pelajaran.
n Tes: siswa mengerjakan
kuis atau tugas cara indipidual
n Pengargaan tim: sekor tim
dihitung berdasarkan sekor peningkatan
angota tim, dan srtivikat, laporan berkala kelas, atau papan pengumunan
digunakan untuk member pengargaan kepada
tim yang berhasil mencetak sekor tinggi.
Pada
proses pembelajarannya, belajar kooperatif tipe STAD melalui lima tahapan yang
meliputi :
1.
Tahap penyajian materi, dimana pada tahap ini
guru memulai dengan menyampaikan indicator yang harus dicapai hari itu dan
memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi yang akan dipelajari, serta
dilanjutkan dengan memberikan persepsi dengan tujuan mengingatkan siswa
terhadap materi prasarat yang telah dipelajari sebelumnya.
Dalam pengembangan materi
pembelajaran perlu ditekankan hala-hal sebagai berikut :a) mengembangkan materi
pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok, b)
menekankan bahwa pelajar adalah memahami makna dan bukan hapalan, c) memberikan
umpan balik sesering mungkin untuk mengontrol pemahaman siswa, d) memberikan
penjelasan mengapa jawaban pertanyaan itu benar atau salah, e) beralih kepada
metari selanjutnya apabila siswa telah memahami permasalahan yang ada.
2.
Tahap kerja kelompok, pada tahap ini setiap
siswa diberi lembar tugas sebagai bahan yang akan dipelajari, dalam kerja
kelompok siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan penyelesaian
agar semua anggota kelompaok dapat memahami matri yang dibahas, dan satu lembar
dikumpulkan sabagai hasil kerja kelompok. Sementara guru berserang sebagai
pasilitator dan motipator kegiatan setiap kelompok
3.
Tahap tes individu, yaitu untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar
telah dicapai, diadakan tes pada individual mengenai materi yang telah dibahas
4.
Tahap perhitungan sekor
perkembangan induvidu,
dihitung berdasarkan skor awal,
5.
Tahap pemberian
pengargaan kelompok,
yaitu pemberian pengarggaan kepada kelompok dimana pengargaan masing – masing
kelompok diberiakan berdasarkan sekor rata – rata yang diperoleh dengan
menyebutnya sebagai kelompok baik, hebat dan super.
A.
Persiapan
– persiapan yang dilakukan dalam tipe STAD
Seperti halnya pembelajaran yang lainnya, pembelajaran kooperatif tipe
STAD ini juga membutuhkan persiapan-persiapan
yang matang sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan.
Persiapan-persiapan tersebut antara lain :
a. Perangkat Pembelajaran
Sebelum
melaksanakan kegiatan pembelajaran ini perlu dipersiapkan perangkat
pembelajarannya, yang meliputi Rencana Pembelajaran ( RP ), Buku Siswa, Lembar
Kegiatan Siswa ( LKS ) beserta lembar jawabannya.
b. Membentuk Kelompok
Kooperatif
Menentukan anggota kelompok
diusahakan agar kemampuan siswa dalam kelompok adalah heterogen dan kemampuan
antar satu kelompok dengan kelompok lainnya relatif homogen. Tentunya di dalam
kelas ada terdiri dari sparuh laki-laki dan separuh perempuan, tiga perempat
kulit putih, dan seperempat minoritas boleh saja membentuk kelompok yang
terdiri dari empat orang yang terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan, dan
tiga siswa kulit putih serta satu siswa minoritas. Kelompok tersebut juga harus
terdiri dari seorang siswa berprestasi tinggi,seorang siswa berprestasi rendah,
dan dua lainnya berprestasi sedang. Tentunya berprestasi tinggi, adalah sebuah terminologi
yang relatif, ini berarti tinggi untu kelas yang bersangkutan, tidak perlu
tinggi bila dibandingkandengan norma-norma nasional. Apabila memungkinkan kelompok kooperatif
perlu memperhatikan ras, agama, jenis kelamin, dan latar belakang social. Apabila
dalam kelas terdiri atas ras dan latar belakang yang relatif sama, maka
pembentukan kelompok dapat didasarkan pada prestasi akademik, yaitu :
1.
Siswa
dalam kelas terlebih dahulu di-ranking sesuai kepandaian dalam mata pelajaran
matematika. Tujuannya adalah untuk mengurutkan sisiwa sesuai kemampuan
matematika dan digunakan untuk mengelompokkan sisiwa ke dalam kelompok.
2.
Menentukan
tiga kelompok dalam kelas yaitu kelompok
atas, kelompok menengah, dan kelompok bawah. Kelompok atas sebanyak 25% dari
seluruh siswa yang diambil dari siswa ranking satu, kelompok tengah 50% dari
seluruh siswa yang diambil dari urutan setelah diambil kelompok atas,dank
elompok bawah sebanyak 25% dari seluruh siswa yaitu tersiri atas siswa setelah
diambil kelompok atas dan kelompok menengah.
c. Menentukan Skor Awal
Skor awal yang dapat digunakan
dalam kelas kooperatif adalah nilai ulangan sebelumnya. Skor awal ini dapat
berubah setelah ada kuis. Misalnya pada pembelajaran lebih lanjut dan setelah
diadakan tes, maka hasil tes masing-masing individu dapat dijadikan skor awal.
d. Pengaturan Tempat Duduk
Pengaturan tempat duduk dalam
kelas kooperatif perlu juga diatur dengan baik, hal ini dilakukan untuk
menunjang keberhasilan pembelajaran kooperatif apabila tidak ada pengaturan
tempat duduk dapat menimbilkan kekacauan yang menyebabkan gagalnya pembelajaran
pada kelas koopratif.
e. Kerja Kelompok
Untuk mencegah hambatan pada pembelajaran
kooperatif tipe STAD, terlebih dahulu diadakan latihan kerja sama kelompok. Hal
ini bertujuan untuk labih jauh mengenalkan masing-masing individu dalam
kelompok.
B.
Tahap
Pelaksanaan Pembelajaran Tipe STAD
1. Persiapan materi dan penerapan Siswa dalam kelompok
Sebelum menyajikan guru harus
mempersiapkan lembar kegiatan dan lembar jawaban yang akan dipelajari siswa
dalam kelompok-klompok kooperatif. Kemudian menetapkan siswa dalam kelompok
heterogen dengan jumlah maksimal 4-5
orang, aturan heterogenitas dapat berdasarkan pada :
a.
Kemampuan
akademik ( pandai, sedang dan rendah ) yang didapat dari hasil akademik ( skor
awal ) sebelumnya. Perlu diingat pembagian itu harus diseimbangkan sehingga
setiap kelompok terdiri dari siswa dengan tingkat prestasi seimbang.
b.
Jenis
kelamin, latar belakang social, kesenangan bawaan / sifat ( pendiam dan aktif
).
2. Penyajian Materi Pelajaran
a.
Pendahuluan
Disini
perlu dtekankan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok dan
menginformasika hal yang penting untuk memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang
konsep-konsep yang akan mereka pelajari. Materi pelajaran dipresentasikan oleh
guru dengan menggunakan metode pembelajaran. Siswa mengikuti presentasi guru
dengan seksama sebagai persiapan untuk mengikuti tes berikutnya. Yang mana guru
memulai dengan menyampaikan indicator yang harus dicapai hari itu dan
memotivasi rasa ingin tahu siswa yang terkait dengan materi yang akan
disampaikan. Dilanjutkan dengan memberikan persepsi dengan tujuan untuk
mengingatkan siswa terhadap materi
prasarat yang telah dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan materi yang akan
disajikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Mengenai tekhnik penyajian
materi pelajaran dapat dilakukan secara klasikal . Hal ini merupakan pengajaran
seperti yang seringkali dilakukakn atau disuse pelajaran yang di pimpin oleh
guru, tetapi bias juga memasukkan persentasi audiovisual. Bedanya persentase
kelas dengan pengajaran biasa hanyalah bahwa persentasi tersebut haruslah
benar-benar berfocus pada unit STAD. Lamanya presentasi dan berapa kali harus
dipresentasikan bergantung pada kekomplekkanmateri yang akan dibahas.
b.
Pengembangan
Dilakukan
pengembangan materi yang sesuai yang akan dipelajari siswa dalam kelompok. Di
sini siswa belajar untuk mamahami makna bukan hafalan. Pertanyaan-pertanyaan
diberikan penjelasan tentang benar atau salah. Jika siswa telah memahami konsep
maka dapat beralih konsep yang lain. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan ini, antara lain :
n Tetaplah selalu pada
hal-hal yang akan disampaikan agar dapat dipelajari oleh siswa.
n Fokuskan pada pemaknaan,
bukan penghafalan.
n Demonstrasikan secara
aktif konsep-konsep atau skil-skil, dengan menggunakan alat bantu visual,
cara-cara cerdik, dan contoh yang banyak.
n Nilailah siswa sesering
mungkin dengan memberikan banyak pertanyaan.
n Jalaskan mengapa sebuah
jawaban bisa salah atau benar, kecuali jika memang sudah sangat jalas.
n Berpindahlah pada konsep
berikutnya begitu para siswa telah menangkap gagasan utamanya.
c.
Praktek
terkendali
Praktek terkendali dilakukan dalam menyajikan
materi dengan cara menyuruh siswa mengerjakan soal atau contoh dan mempersiapkan
jawaban terhadap pertanyaan/soal,, memanggil siswa secara acak untuk menjawab
atau menyelesaikan masalah agar siswa selalu siap dan dalam memberikan tugas
jangan menyita waktu yang lama.
3. Kegiatan kelompok
Guru membagikan LKS kepada setiap
kelompok sebagai bahan yang akan dipelajari siswa. Isi dari LKS selain materi
pelajaran juga digunakan untuk melatih kooperatif. Guru member bantuan dengan
memperjelas perintah, mengulang konsep dan menjawab pertanyaan. Dalam kegiatan
kelompok ini, para siswa bersama-sama mendiskusikan masalah yang akan dihadapi,
membandingkan jawaban, atau memperbaiki miskonsepsi, kelompok diharapkan
bekerja sama dengan sebaik-baiknya dan saling membantu dalam memahami materi
pelajaran. Siswa diminta untuk merespon satu rangkaian soal sambil guru
mengamati kalau terjadi miskonsepsi. Pada latihan terkontrol ini respon setiap
siswa sangat menguntungkan bagi guru dan siswa. Pengembangan dan latihan
terkontrol dapat saling mengisi dengan total waktu 20 menit. Guru harus
memasukkan rincian khusus tanggung jawab kelompok dan ganjaran individual
berdasarkan pencapaian materi yang dipelajari.
Adapun
tugas dan tanggung jawab setiap kelompok terhadap kelompoknya yaitu :
n
Setiap
anggota kelompok memilikitanggung jawab untuk memastikan bahwa teman satu
kelompok mereka telah mempelajari materinya.
n
Setiap
kelompoktidak ada yang boleh berhenti belajar sampai semua anggota
kelompokmenguasai pelajaran tersebut,
n
Setiap
anggota kelompok harus meminta bantuan kepada teman angota kelompoknya, apabila
belum paham
4. Evaluasi
Dilakukan selama 45-60 menit
secara mandiri untuk menunjukkan apa yang telah siswa pelajari selama bekerja
dalam kelompok. Setelah kegiatan presentasi guru dan kegiatan kelompok, siswa
diberikan tes secara individual. Dalam menjawab tes, siswa tidak diperkenankan
untuk saling membantu. Hasil evaluasi digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan
sebagai nilai perkembangan kelompok.
Adapun
prosedur yang dapat dilakukan diantaranya:
n
Bagikan
soal, berupa soal kuis dan waktu yang sesuai kepada siswa untuk
menyelesaikannya dan tidak boleh kerjasama
n
Biarkan
siswa saling bertukar kertas dengan anggota kelompo lain, ataupun mengumpulkan
kuisnya untuk dinilai setelah kelas selesai.
5. Penghargaan kelompok
Setiap anggota kelompok diharapkan
mencapai skor tes yang tinggi karena skor ini akan memberikan kontribusi
terhadap peningkatan skor rata-rata kelompok. Dari hasil nilai perkembangan,
maka penghargaan pada prestasi kelompok diberikan dalam tingkatan penghargaan
seperti kelompok baik, hebat dan super.
6. Perhitungan ulang skor
awal dan pengubahan kelompok
Satu
periode penilaian ( 3-4 minggu ) dilakuka perhitungan ulang skor evaluasi
sebagai skor awal siswa yang baru. Kemudian dilakukan perubahan kelompok agar
siswa dapat bekerja dengan teman yang lain.
Materi
Matematika yang Relevan dengan STAD
Materi-materi matematika yang
relevan dengan pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Divisions
( STAD ) adalah materi-materi yang hanya
untuk memahami fakta-fakta, konsep-konsep dasar dan tidak memerlukan penalaran
yang tinggi dan juga hafalan, misalnya bilangan bulat, himpunan-himpunan,
bilangan jam dll. Dengan penyajian materi yang tepat dan menarik bagi siswa,
seperti halnya pembelajran kooperatif tipe STAD dapat memaksimalkan proses
pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
C.
Langkah
pembelajaran kooperatif tipe STAD ( Nur dan Wikandari, 2000: 32-35)
a. Bagilah kelompok ke dalam
kelompok-kelompok masing-masing terdiri dari empat atau lima anggota. Sebaiknya
empat anggota, karena membuat kelompok terdiri dari lima anggota hanya apabila
kelas tidak dapat dibagi habis dengan empat anggota. Untuk menempatkan siswa
dalam kelompok, urutkan mereka dari atas ke bawah berdasarkan kinerja akdemik
tertentu dan bagilah daftar siswa yang telah urut itu menjadi empat. Kemudian
ambil satu siswa dari tiap perempatan
itu sebagai anggota tiap kelompok, pastikan bahwa kelompo-kelompok yang
terbentuntuk itu brimbang menurut jenis klamin dan asal suku.
b. Buatlah lembar kegiatan
siswa ( LKS ) dan kuis pendek untuk pelajaran yang anda rencanakan untuk
diajarkan. Selama belajar kelompok ( satu atau dua peroiode kelas ) tugas
anggota kelompok adalah menguasai secara tuntas materi yang akan
dipresentasikan dan membantu anggota kelompok menguasai secara tuntas
materi tersebut. Siswa mendapat LKS atau
materi pelajaran lain yang dapat digunakan untuk latihan keterampilan yang
sedang diajarkan dan menilainya sendiri dan anggota kelompoknya.
c. Pada saat anda mnjelaskan
STAD, kepada kelas anda, bacakan tugas-tugas yang harus dikerjakan kelompok.
n
Mintalah
anggota kelompok bekerja sama mengatur bangku atau meja-kursi mereka, dan
berikan kesempatan sekitar 10 menit untuk memilih nama kelompok mereka.
n
Bagilah
LKS atau materi belajar lain ( dua set untuk
tiap kelompok ).
n
Anjurkan
agar siswa pada tiap-tiap kelompok bekerja dalam duaan ( berpasangan ) atau
tigaan. Apabila mereka sedang mengerjakan soal, setiap siswa dalam suatu
pasangan atau tigaan hendaknya mengerjakannya diantara teman dalam pasangan atau
tigaan itu. Apabila ada siswa yang tidak dapat, mengerjakan soal itu, teman
satu kelompok siswa itu memiliki
tanggung jawab untuk menjelaskan soal itu. Apabila siswa-siswa itu sedang mengerjakan soal-soal jawaban singkat,
meeka dapat saling mengajukan pertanyaan
diantara satu kelompok, partner secara
bergantian memegang lembar jawaban atau menciba menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu.
n
Beri
penekanan kepada siswa bahwa mereka tidak boleh mengakhiri kegiatan belajar
sampai mereka yakin bahwa seluruh anggota kelompok mereka dapat menjawab 100%
benar soal-soal kuis tersebut.
n
Pastikan
siswa memahami bahwa LKS itu untuk belajar, bukan untuk diisi dan dikumpulkan.
Oleh karena itu, penting bagi siswa pada akhirnya diberi lembar kunci jawaban
LKS untuk mengecek pekerjaan mereka sendiri dan teman satu kelompok mereka pada saat mereka belajar.
n
Berikan
kesempatan kepada siswa untuk saling menjelaskan jawaban mereka, tidak hanya
saling mencocokkan jawaban mereka dengan lembar kunci jawaban itu.
n
Apabila
siswa memiliki pertanyaan, mintalah mereka untuk mengajukan pertanyaan itu
kepada teman satu kelompok mereka sebelum mengajukan kepada anda.
n
Pada
saat siswa bekerja dalam kelompok, berkelilinglah di dalam kelas, berikanlah pujian kepada
kelompok yang bekerja baik dan secara bergantian duduklah bersama tiap kelompok
untuk memperhatikan bagaimana angota-anggota tim itu bekerja.
d. Bila tiba saatnya
memberikan kuis, bagikan kuis atau bentuk evaluasi yang lain, dan berikan waktu
yang cukup kepada siswa untuk menyelesaikan tes itu. Jangan mengijinkan siswa
untuk bekerja sama pada saat mengerjakan kuis itu;pada saat ini mereka harus
menunjukkan bahwa mereka telah belajar sebagai individu.mintalah siswa
menggeser tempat duduknya lebih jauh
bila hal ini dimungkinkan.salah satu cara dapat ditempuh,meminta siswa saling
menukarkan pekerjaan mereka dengan siswa anggota tim lain atau mengumpulkan
pekerjaan itu untuk anda periksa sendiri pada kesempatan lain.
e. Buatlah skor individual
dan skor tlm.skor tim pada STAD didasaarkan pada peningkatan
skor anggota tim dibandingkan dengan
skor yang lalu mereka sendiri.sesegera mungkin setelah tiap kuis,anda
seharusnya menghitung skor peningkatan
individual dan skor tim,dan mengumumkan
skor tim itu secara tertulis dipapan pengumuman atau cara lain yang
sesuai.apabila mungkin,pengumuman skor
tim itu dilakukan pada pertemuan pertama setelah kuis tersebut.hal
ini membuat hubungan antara bekerja dengan baik dan
menerima pengakuan jelas bagi siswa,meningkatkan motivasi mereka untuk
melakukan yang terbaik.hitunglah skor
tim dengan menjumlahkan poin peningkatan yang diperoleh tiap anggota tim
dan membagi jumlah itu dengan jumlah anggota tim yang mengerjakan kuis itu.
f. Pengakuan kepada prestasi
tim . segera setelah anda menghitung poin untuk tiap siswa dan menghitung skor
tim.anda hendaknya mempersiapkan semacam pengakuan kepada tiap tim yang
mencapai rata-rata peningkatan 20 atau lebih.anda dapat memberikan sertifikat
kepada anggota tim atau mempersiapkan suatu peragaan dalam papan penumuman.penting
untuk membantu siswa menghargai skor
tim. Minat anda sendiri yang besar terhadap skor tim akan membantu.
Apabila anda memberikan lebih dari satu kuis dalam satu minggu,kombinasikan
hasil-hasil kuis itu kedalam satu skor mingguan. Setelah 5 atau 6 minggu
penerapan STAD,aturlah ulang siswa kedalam tim-tim baru. Hal ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bekerja dengan teman sekelas yang lain dan
menjaga program pengajaran tetap segar. Setiap model-model pembelajaran ,pasti
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Begitu juga pada model pembelajaran
kooperatif tipe STAD.
Adapun
kelebihan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD adalah:
n
dapat
meningkatkan motivasi siswa dalam belajar,
n
dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa,
n
dapat
meningkatkan kreatifitas siswa,
n
dapat
mendengar,menghormati,serta menerima pendapat siswa lain,
n
dapat
mengurangi kejenuhan dan kebosanan,
n
dapat
mengdentifikasikan perasaannya juga perasaan siswa lain,
n
dapat
meyakinkan dirinya untuk orang lain dengan membantu orang lain dan meyakinkan
dirinya untuk saling memahami dan saling
mengerti.
D.
Keunggulan
dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe STAD
Keunggulan dari metode
pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah adanya kerja sama dalam kelompok dan
dalam menentukan keberhasilan kelompok tergantung keberhasilan individu,
sehingga setiap anggota kelompok tidak bisa menggantungkan pada anggota yang
lain. Pembelajaran kooperatif tipe STAD menekankan pada aktivitas dan interaksi
diantara siswa untuk saling memotivasi saling membantu dalam menguasai materi
pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.
Selain kelebihan, pembelajaran kooperatif
tipe STAD ini juga memiliki kekurangan, antara lain:
1.
setiap
siswa harus berani berpendapat atau menjelaskan kepada teman-temannya,
2.
siswa
akan sedikit ramai ketika perpindahan kelompok (dari kelompok asal ke kelompok
ahli).
E. Menghitung Skor Individu
dan kelompok
Menurut Slavin ( dalam
Ibrahim, dkk. 2002 ) untuk memberikan skor perkembangan individu dihitung seperti pada table di bawah
ini :
TABLE PERHITUNGAN SKOR PERKEMBANGAN
Nilai Tes
|
Skor Perkembangan
|
Lebih dari 10 poin di bawah skor awal……
|
0 poin
|
10 poin di bawah sampai 1 poin di bawah
skor awal…..
|
10 poin
|
Skor awal sampai 10 poin di atas skor
awal……
|
20 poin
|
Lebih dari 10 poin di atas skor awal
|
30 poin
|
Nilai sempurna ( tanpa memperhatikan skor
awal )…..
|
30 poin
|
Menghitung
Skor Kelompok
Skor
kelompok ini dihitung dengan membuat rata-rata skor perkembangan anggota
kelompok, yaitu dengan menjumlah semua skor pekembangan yang diperoleh anggota
kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompok. Sesuai dengan rata-rata skor
perkembangan kelompok, diperoleh kategori skor kelompok seperti yang tercantum
pada tabel di bawah ini :
TINGKAT PERKEMBANGAN KELOMPOK
Rata-rata kelompok
|
Predikat
|
0 ≤ x ≤ 5
|
-
|
5 ≤ x ≤ 15
|
Kelompok baik
|
15 ≤ x ≤ 25
|
Kelompok hebat
|
25 ≤ x ≤ 30
|
Kelompok super
|
Perhatikan
bahwa, kriteria ini merupakan satu rangkaian sehingga untuk menjadi Kelompok
yang Sangat Baik sebagian besar anggota tim harus memiliki skor di atas skor
awal mereka, dan untuk menjadi Kelompok yang Super sebagian besar anggota
Kelompok harus memiliki skor setidaknya 10 poin di atas skor dasar mereka
DAFTAR
PUSTAKA
n Slavin, Robert E. 2005. Cooperatif Learning (Teori riset dan
Praktik). Bandung : Nusa media.
n Trianto.2009. Mendesain Model pembelajaran Inovatif
progresif. Surabaya : Prenada media.
n Irzani.2009.Strategi Belajar Mengajar Matematika.Yogyakarta
: Media Grafindo Press.
Komentar
Posting Komentar