Problematik Pembelajaran Geometri di Sekolah
Geometri merupakan bagian Matematika yang membicarakan titik, garis,
bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh
Stein (1980) berikut ini:Geometry is the
study of points, lines, planes, and space, of measurement and construction of
geometric figures, and of geometric facts and relationships. The word
“geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).
Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak jelas pada
pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya
penjelasannya tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We
cannot see a geometric line.” Akibatnya, pengajaran Geometri di sekolah
memerlukan kompetensi dan semangat guru yang memadai.
Siswa Belajar dengan Ilusi
Seperti diketahui bersama, permasalahan pembelajaran pada dasarnya
dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk pengajaran Matematika pada Sekolah
Menengah Pertama (SMP), sedikitnya ada empat faktor penyebab kesulitan. Pertama, krusialitas muatan kurikulum
(stndar isi). Dalam konteks ini banyak materi Matematika di SMP memiliki
tingkat kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat intelektual siswa
rata-rata (sebagai contoh stnadar isi tentang “Kesebangunan Segitiga”,
“Eksponen”, “Lingkaran”, dan “Barisan dan Deret”). Kedua, ketidaksiapan siswa secara individu, terutama dalam
memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan (mengingat) rumus-rumus yang
demikian banyak. Sejak SD, siswa telah memperoleh banyak rumus,
setelah di SMP mereka kembali menerima berbagai macam rumus, yang jumlahnya
tidak sedikit. Akhirnya, untuk mengingat rumus yang demikian banyak itu,
merupakan beban tersendiri bagi siswa. Apalagi kalau guru hanya menyodorkan
rumus “siap pakai” kepada siswa, maka siswa tidak pernah tahu cara menurunkan
rumus tersebut. Akhirnya generasi penerus bangsa ini hanya bersifat menghafal. Ketiga, keterbatasan
fasilitas; sampai saat ini sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat
bantu pembelajaran, seperti: alat peraga, dan media pendukung lainnya. Seperti
diketahui bersama, belakangan ini pemerintah nyaris tidak lagi memasok alat
peraga matematika ke sekolah. Kalau guru pasif dan hanya bersifat menunggu,
maka dapat dipastikan sekolah tidak memiliki alat-alat pendukung pembelajaran
matematika. Keempat, kesulitan yang bersumber dari guru; antara lain: (1) kurangnya
inisiatif guru dalam menciptakan metode penurunan rumus yang sesuai dengan
tingkat intelektual siswa, (2) tidak berupayanya guru dalam menciptakan
pembelajaran yang KE-EMAS-AN
(Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3)
kecenderungan guru untuk mengambil jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa, (4) dan
kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal-soal berbentuk ‘problem
solving’ dan soal bersifat open-ended. Dalam kesempatan ini,
pembahasan akan difokuskan pada permasalahan yang bersumber dari guru dan
ketidaksiapan siswa dalam belajar Geometri, sebab kendala tentang kurikulum dan
fasilitas memerlukan “sentuhan” pemerintah atau pihak-pihak lain yang
berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan.
Khusus dalam pengajaran bidang Geometri, beradasarkan pengalaman langsung
di lapangan, yang tampak paling dominan sebagai penyebab kesulitan adalah
keterbatasan alat pendukung pembelajaran. Dengan kata lain, permasalahan
pengajaran Geometri muncul ketika banyak guru tidak sempat atau memandang tidak
perlu, serta tanpa usaha untuk melakukan visualisasi objek-objek Geometri yang
abstrak itu. Bahkan, sangat dikhawatirkan jika kelompok guru yang telah menyadari
betul pentingnya alat peraga juga melakukan “pelanggaran” dalam tugasnya
sehari-hari. Artinya, mereka ”terseret”
untuk ikut-ikutan ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran. Tidak jarang juga
sebagian pahlawan pendidikan ini bersikap ”cuek” dan pasrah terhadap kondisi
sekolah. Mereka cenderung menunggu bantuan alat dari pemerintah atau pihak-pihak
lainnya, tanpa berupaya membuat alat sendiri. Apalagi tidak pernah terpikir
olehnya untuk menugasi siswa membuat model yang dapat mempermudah mereka
memahami konsep-konsep Geometri.
Sejalan dengan sikap ”tunggu
bola” dan kepasrahan itu, akhirnya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas,
guru lebih dominan memilih bentuk verbalitas (talk only). Sebagai contoh dalam pembahasan bangun ”kerucut”, guru
bukan menunjukkan model kerucut, namun hanya berwacana tentang bangun runcing
itu. Contoh lain, ada oknum guru hanya bercerita tentang diagonal ruang dan bidang
diagonal dalam pembahasan tentang kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan
benda-benda nyata yang dapat dijadikan model.
Akibat
dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya menjadi
pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan
membayangkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa
setiap hari diajak berhalusinasi dan lama kelamaan mereka menjelma menjadi
ilusionis. Tentunya dalam konteks yang berbeda dengan pesulap legendaris Dedy Corbuzer maupun ilusionis atraktif
seperti Demian, yang dalam kiprahnya
menghasilkan banyak uang. Kalau pembelajaran di sekolah terus berwujud ”dunia
khayalan”, dapat dibayangkan betapa banyaknya ilusionis tanpa penonton yang
akan memenuhi negeri ini, sementara tugas besar pembangunan yang menghadang di
depan mata tidak tergarap. Keadaan ini dapat dikatakan fase ”Full illusion and no action”, yang
ditakuti setiap negara.
Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran
Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran
Geometri, yang dapat ditanggulangi guru adalah kendala yang bersumber dari guru
itu sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan cara-cara
penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya
guru dalam menciptakan model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif,
dan Antisipatif), kecenderungan guru memilih jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa
dibarengi sajian cara penurunan rumus itu, sampai pada kurangnya kesadaran guru
akan pentingnya soal model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.
Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini diharapkan guru mau untuk
mengubah budaya “ngekoh”, dan siap
melakukan inovasi pembelajaran. Guru hendaknya mulai beralih dari model
pembelajaran konvensional (yang didominasi ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara yang
dapat ditempuh adalah mengajak siswa melakukan aksi (action) langsung dalam pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan
konsep-konsep serta memperoleh rumus yang terkandung di dalamnya. Siswa
hendaknya memulai belajar tentang konsep Geometri dengan melakukan kerja
praktik yang melibatkan secara maksimal panca indranya.. Hal ini senada dengan pendapat Meier yang
disitir Astuti (2002), sebagai berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan
seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar,
rasional, memakai “otak kiri”, verbal), tetapi juga melibatkan seluruh
tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti (2002: 54).
Lebih jauh Meier menegaskan bahwa
belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang
diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar.
Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan
keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar
secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola
interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.
Aneka “Aksi” yang Dapat Diangkat
Aksi (action) apa yang dapat
dijadikan acuan dalam pembelajaran Geometri? Sedikitnya dapat dibedakan menjadi
tiga macam kegiatan nyata yang mesti dilakukan siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses
berpikir tentang konsep. Kedua,
kegiatan memanipulasi objek atau praktik untuk menyusun rumus atau membuktikan
rumus yang telah ada. Ketiga, membuat
suatu produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari.
1. Membuat
sketsa atau gambar
Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan
spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam
Murtanto, 2002) menggambarkan proses
pemecahan masalahnya sebagai berikut:
Saya membuat
gambar yang abstrak. Saya baru menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak
saya menyerupai proses abstraksi saat saya menghadapi soal-soal fisika secara
analitik. Jumlah variabel direduksi, lalu apa yang diperkirakan sebagai bagian
esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, baru kemudian teknik
analitis dapat diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita dapat memilih
salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang
disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur
yang sama (Murtanto, 2002: 225).
Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan strategi pemecahan
masalah dengan menggabungkan imaji spasial-visual
dengan aspek kinetik atau kinestetis-jasmani pikiran. Einstein pun
megatakan bahwa proses berpikirnya meliputi unsur visual. Hal yang sama juga
berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan pengalamannya berjuang
memecahkan persoalan matematika yang membingungkan selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar
(Murtanto, 2002: 225).
Dari beberapa pendapat itu jelas bahwa begitu pentingnya peran gambar
dalam belajar. Dengan demikian kegiatan melibatkan siswa dalam kreativitas
pembuatan sketsa atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan
konsep-konsep pelajaran yang abstrak sangatlah penting.
Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun,
unsur-unsur penting Geometri pada umumnya dapat divisualisasikan dengan gambar
atau diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling
abstrak sekalipun, seperti halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih
dapat digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu artinya, kalau guru mau berusaha untuk
memvisualisasikan objek bahasan dari Geometri, sangat memungkinkan untuk
divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibuat hendaknya jangan sampai
menyesatkan, seperti pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:
Gambar dari suatu bangun Geometri haruslah dapat
membantu memberikan penjelasan dalam rangka usaha menanamkan pengertian tentang
bangun itu. Misalnya jika Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh
mungkin diusahakan agar gambar yang Anda buat itu dapat membantu memahami
pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).
2. Kegiatan manipulasi objek
Tentang objek Geometri yang
bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan akan susahnya mencari padanan
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran “garis” misalnya, selain bisa
digambarkan juga dapat dimodelkan. Gambar garis hanyalah sebagai
representasi dari garis yang bersifat abstrak itu. Perhatikan penegasan Stein
berikut: “A geometric line is a set of
points. The pencil or chalk lines we draw are only representations of geometric
lines.”
Lebih jauh dari itu, dengan sedikit usaha tidak mustahil guru dapat menemukan
aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” misalnya
dapat dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan
sebagainya. Bahkan, Iswadji, dkk.
(1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun Geometri ke
dalam benda konkret, seperti yang diungkapkan berikut ini:
Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan
benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek
itu, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang
abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam
bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah
dipahami. Bentuk konkret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau
gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus,
dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin
juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).
Untuk suatu pembuktian tentang
kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru, dengan bantuan benda-benda konkret
yang relevan akan mempercepat pemahaman siswa dan menuntun mereka dalam proses
pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai contoh dalam membuktikan bahwa volum
kerucut adalah sepertiga dari volum tabung yang jari-jari alas dan tinggi kedua
bangun itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam kerja praktik menuangkan
pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.
3. Membuat produk (karya nyata)
Kegiatan membuat hasil karya
atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam proses belajar. Mengapa? Dengan
kemampuan menciptakan atau menghasilkan suatu karya nyata berarti siswa telah memahami
dengan baik konsep-konsep yang terkandung di dalamnya. Memang muara dari
kegiatan belajar tentunya menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri sendiri
dan masyarakat luas. Dengan kemampuan menciptakan suatu karya tertentu, siswa
diharapkan akan mampu mengembangkan kemampuannya itu untuk mengarungi kehidupan
ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.
Ambil contoh, siswa yang baru
saja belajar jaring-jaring kubus dan balok kemudian memiliki gagasan untuk
menciptakan suatu karya ”kemasan produk” yang bentuknya unik, menarik, dan
hemat bahan, maka yang bersangkutan dapat dikatakan telah menghasilkan suatu
produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan membanggakan baik bagi
guru, sekolah maupun orang tua siswa. Apalagi misalnya hasil ciptaan anak
bersangkutan sampai menang dalam lomba karya ilmiah dan memiliki hak paten,
tentu saja akan mengangkat citra dan martabat daerah dan bangsa. Dengan alasan
itu, maka guru diharapkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk
yang relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan
dan tingkat intelektual siswa. Bukankah menurut Wiles (1955), guru yang hebat
adalah guru yang memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang berguna).
Bertolak dari berbagai
pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk mampu
memvisualisasikan objek bahasan yang bersifat abstrak dan selalu mengusahakan
alat bantu pembelajaran, terutama yang berhubungan dengan alat peraga atau alat
praktik yang mampu memudahkan dan mempercepat pemahaman siswa. Selain itu,
dengan mengajak siswa untuk menghasilkan suatu produk yang didasari
konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan pelajaran lebih bermakna.
Kekurangsiapan sebagian guru
dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan
nyata, yang berakibat siswa menjadi asing dengan kebermanfaatan pelajaran
Geometri, harus segera diantisipasi dengan model pembelajaran yang mampu
mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.
Jika tidak sejak dini
dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang diterimanya di kelas ke
dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak dapat mengaitkan konsep-konsep
pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang ditemukan dalam
kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa seperti itu bagaikan Gatotkaca yang dapat terbang melangit
namun tidak mampu menapak bumi. Dengan kata lain, guru perlu mengajak siswa
melakukan “aksi” dalam kegiatan belajar mengajar untuk meningkatkan pemahaman
siswa terhadap konsep-konsep pelajaran, menemukan keterkaitan materi dengan
masalah nyata, serta menguatkan daya ingat siswa terhadap rumus-rumus yang
ditemukan lewat kegiatan nyata (aksi) tersebut. Hal ini diharapkan dapat mengurangi
frekuensi khayalan (ilusi) yang telah melanda sebagian siswa, sebagai akibat
kurangnya pengetahuan mereka terhadap keterkaitan materi pelajaran dengan objek
nyata.
Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu dapat dipandang sebagai
dua kutub yang bertolak belakang. Tetapi, jika cara visualisasi atau
pemodelannya salah, maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan
terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu
kehati-hatian guru dalam memilih padanan objek agar tidak berbalik menyesatkan
siswa. Gambar berikut menunjukkan terjadinya “kegamangan konsep” akibat adanya
aksi yang tidak pas.
Gb. 1: Aksi yang belum pas menimbulkan
”kegamangan”
Jika guru menampilkan gambar/sketsa,
maka gambar tersebut harus memenuhi syarat dari segi kesesuaian bentuk dan
perbandingan ukuran. Seperti yang telah
disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana
kontribusi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, dapat digambarkan dalam
bentuk grafik sebagai berikut:
Solusi yang ditawarkan dalam
kesempatan ini diharapkan sekaligus juga dapat menjawab atau paling tidak
meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan akibat kondisi awal
atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan dalam
menghubungkan antara gambar bangun dengan rumusnya, kecenderungan siswa untuk sekedar menghafal
rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan dalam mengkonversi bangun
dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam mengubah variabel pokok
dari suatu formula.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Rahmani
(Penerjemah). 2002. The
Accelerated Learning (Dave Meier).
Bandung: Mizan Media
Utama.
Iswadji, Djoko, dkk. 1995/1996. Materi Pokok Geometri Ruang, Modul 1-9. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Murtanto, Yudhi.
2002. Sekolah Para Juara, Menerapkan
Multiple Intellegences di
Dunia
Pendidikan. Bandung:
Kaifa.
Oka Yadnya, I
Gusti Agung. 2006. Penerapan Model
Pembelajaran “Sipitu Berbasis
Gambar” untuk Meningkatkan
Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika
(Geometri) Siswa Kelas VII
SMP Negeri 1 Singaraja
(Laporan Penelitian
Tindakan Kelas). Singaraja: /t, p/.
Stein,Edwin I. 1980. Fundamentals
of Mathematics. Seventh Edition. Boston:
Allyn and
Bacon, Inc.
Penulis:
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya
Guru di SMP Negeri 1 Singaraja
Problematik
Pembelajaran Geometri:
Antara ”Action” dan ”Illusion”*)
Oleh
Drs. I Gusti Agung Oka
Yadnya**)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Geometri merupakan bagian dari Matematika yang membicarakan hal-hal yang
menyangkut titik, garis, bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana
diungkapkan oleh Stein (1980) berikut ini:Geometry
is the study of points, lines, planes, and space, of measurement and
construction of geometric figures, and of geometric facts and relationships.
The word “geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).
Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak jelas pada
pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya
penjelasannya tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We
cannot see a geometric line.”
Masalah pembelajaran Geometri pada jenjang Pendidikan Dasar muncul ketika banyak guru tidak sempat, memandang
tidak perlu, atau tanpa usaha untuk melakukan visualisasi objek-objek Geometri
yang abstrak itu. Bahkan, sangat dikhawatirkan jika kelompok guru yang telah menyadari
betul pentingnya alat peraga juga melakukan “pelanggaran” dalam tugasnya
sehari-hari. Artinya, mereka ”terseret”
untuk ikut-ikutan ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran. Tidak jarang juga
sebagian pahlawan pendidikan ini bersikap ”cuek” dan pasrah terhadap kondisi
sekolah. Mereka cenderung menunggu bantuan alat dari pemerintah atau pihak-pihak
lainnya, tanpa upaya untuk membuat alat sendiri atau tidak menugasi siswa untuk
membuat model yang dapat mempermudah pemahaman konsep.
Sejalan dengan sikap ”cuek”
dan kepasrahan itu, akhirnya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru
lebih dominan memilih bentuk verbalitas (talk
only). Sebagai contoh dalam pembahasan bangun ”kerucut”, guru bukan menunjukkan
model kerucut, namun hanya berwacana tentang bangun runcing itu. Contoh lain,
ada oknum guru hanya bercerita tentang adanya diagonal ruang dan bidang
diagonal dalam pembahasan tentang kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan
benda-benda nyata yang dapat dijadikan model.
Akibat
dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya menjadi
pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan
membayangkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa
setiap hari diajak berhalusinasi dan lama kelamaan mereka menjelma menjadi
ilusionis. Keadaan ini dapat
dikatakan fase ”No action and Full Illusion”.
B. Pembatasan Masalah
Permasalahan pembelajaran pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor.
Berdasarkan pengalaman nyata, sedikitnya ada empat faktor penyebab munculnya permasalahan
dalam pembelajaran Geometri di tingkat pendidikan dasar, khususnya pada Sekolah
Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajat. Pertama, muatan kurikulum. Dalam konteks ini banyak materi Geometri
di SMP memiliki tingkat kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat
intelektual siswa rata-rata (beberapa contoh materi krusial disajikan pada
lampiran 1). Kedua, ketidaksiapan siswa
secara individu, terutama dalam memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan
(mengingat) rumus-rumus yang demikian banyak. Ketiga, keterbatasan fasilitas; sampai saat ini
sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat bantu pembelajaran, seperti: alat
peraga, dan media pendukung lainnya. Keempat,
kesulitan yang bersumber dari guru; antara lain: (1) kurangnya inisiatif guru
dalam menciptakan metode penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual
siswa, (2) tidak berupayanya guru dalam menciptakan pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan,
Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3) kecenderungan guru untuk mengambil jalan
pintas dengan hanya memberi rumus siap
pakai kepada siswa, (4) dan kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal
model ‘problem solving’ dan soal bersifat open-ended.
Dalam
kesempatan ini, pembahasan akan difokuskan pada permasalahan yang bersumber
dari guru dan ketidaksiapan siswa dalam belajar Geometri, sebab kendala tentang
kurikulum dan fasilitas memerlukan “sentuhan” pemerintah atau pihak-pihak lain
yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan.
II. PEMBAHASAN
A. Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran
Geometri
Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran
Geometri, yang dapat ditanggulangi guru adalah kendala yang bersumber dari guru
itu sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan cara-cara
penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya
guru dalam menciptakan model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif,
dan Antisipatif), kecenderungan guru memilih jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa
dibarengi sajian cara penurunan rumus itu, sampai pada kurangnya kesadaran guru
akan pentingnya soal model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.
Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini diharapkan guru mau
untuk mengubah budaya “ngekoh”, dan
siap melakukan inovasi pembelajaran. Guru hendaknya mulai beralih dari model
pembelajaran konvensional (yang didominasi ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara yang
dapat ditempuh adalah mengajak siswa melakukan aksi (action) langsung dalam pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan
konsep-konsep serta memperoleh rumus yang terkandung di dalamnya. Siswa
hendaknya memulai belajar tentang konsep Geometri dengan melakukan kerja
praktik yang melibatkan secara maksimal panca indranya.. Hal ini senada dengan pendapat Meier yang
disitir Astuti (2002), sebagai berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan
seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar,
rasional, memakai “otak kiri”, verbal), tetapi juga melibatkan seluruh
tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti (2002: 54).
Lebih jauh Meier menegaskan bahwa
belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang
diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran
terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru
ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah
menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia
baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.
B. Jenis “Aksi” dalam Pembelajaran Geometri
Aksi (action) apa yang dapat
dijadikan acuan dalam pembelajaran Geometri? Sedikitnya dapat dibedakan menjadi
tiga macam kegiatan nyata yang mesti dilakukan siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses
berpikir tentang konsep. Kedua,
kegiatan memanipulasi objek atau praktik untuk menyusun rumus atau membuktikan
rumus yang telah ada. Ketiga,
membuat suatu produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah
dipelajari.
1. Membuat
sketsa atau gambar
Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan
spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam
Murtanto, 2002) menggambarkan proses
pemecahan masalahnya sebagai berikut:
Saya membuat
gambar yang abstrak. Saya baru menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak
saya menyerupai proses abstraksi saat saya menghadapi soal-soal fisika secara
analitik. Jumlah variabel direduksi, lalu apa yang diperkirakan sebagai bagian
esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, baru kemudian teknik
analitis dapat diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita dapat memilih
salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang
disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur
yang sama (Murtanto, 2002: 225).
Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan strategi pemecahan
masalah dengan menggabungkan imaji spasial-visual
dengan aspek kinetik atau kinestetis-jasmani pikiran. Einstein pun
megatakan bahwa proses berpikirnya meliputi unsur visual. Hal yang sama juga
berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan pengalamannya berjuang
memecahkan persoalan matematika yang membingungkan selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar
(Murtanto, 2002: 225).
Dari beberapa pendapat itu jelas bahwa begitu pentingnya peran gambar
dalam belajar. Dengan demikian kegiatan melibatkan siswa dalam kreativitas
pembuatan sketsa atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan
konsep-konsep pelajaran yang abstrak sangatlah penting.
Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun,
unsur-unsur penting Geometri pada umumnya dapat divisualisasikan dengan gambar
atau diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling
abstrak sekalipun, seperti halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih
dapat digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu artinya, kalau guru mau berusaha untuk
memvisualisasikan objek bahasan dari Geometri, sangat memungkinkan untuk
divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibuat hendaknya jangan sampai
menyesatkan, seperti pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:
Gambar dari suatu bangun Geometri haruslah dapat
membantu memberikan penjelasan dalam rangka usaha menanamkan pengertian tentang
bangun itu. Misalnya jika Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh
mungkin diusahakan agar gambar yang Anda buat itu dapat membantu memahami
pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).
2. Kegiatan manipulasi objek
Tentang objek Geometri yang
bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan akan susahnya mencari padanan
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran “garis” misalnya, selain bisa
digambarkan juga dapat dimodelkan. Gambar garis hanyalah sebagai
representasi dari garis yang bersifat abstrak itu. Perhatikan penegasan Stein
berikut: “A geometric line is a set of
points. The pencil or chalk lines we draw are only representations of geometric
lines.”
Lebih jauh dari itu, dengan sedikit usaha tidak mustahil guru dapat menemukan
aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” misalnya
dapat dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan
sebagainya. Bahkan, Iswadji, dkk.
(1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun Geometri ke
dalam benda konkret, seperti yang diungkapkan berikut ini:
Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan
benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek
itu, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang
abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam
bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah
dipahami. Bentuk konkret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau
gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus,
dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin
juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).
Untuk suatu pembuktian tentang
kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru, dengan bantuan benda-benda konkret
yang relevan akan mempercepat pemahaman siswa dan menuntun mereka dalam proses
pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai contoh dalam membuktikan bahwa volum
kerucut adalah sepertiga dari volum tabung yang jari-jari alas dan tinggi kedua
bangun itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam kerja praktik menuangkan
pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.
3. Membuat produk (karya nyata)
Kegiatan membuat hasil karya
atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam proses belajar. Mengapa? Dengan
kemampuan menciptakan atau menghasilkan suatu karya nyata berarti siswa telah
memahami dengan baik konsep-konsep yang terkandung di dalamnya. Memang muara
dari kegiatan belajar tentunya menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri
sendiri dan masyarakat luas. Dengan kemampuan menciptakan suatu karya tertentu,
siswa diharapkan akan mampu mengembangkan kemampuannya itu untuk mengarungi
kehidupan ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.
Ambil contoh, siswa yang baru
saja belajar jaring-jaring kubus dan balok kemudian memiliki gagasan untuk
menciptakan suatu karya ”kemasan produk” yang bentuknya unik, menarik, dan
hemat bahan, maka yang bersangkutan dapat dikatakan telah menghasilkan suatu
produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan membanggakan baik bagi
guru, sekolah maupun orang tua siswa. Apalagi misalnya hasil ciptaan anak
bersangkutan sampai menang dalam lomba karya ilmiah dan memiliki hak paten,
tentu saja akan mengangkat citra dan martabat daerah dan bangsa. Dengan alasan
itu, maka guru diharapkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk
yang relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan
dan tingkat intelektual siswa. Bukankah menurut Wiles (1955), guru yang hebat
adalah guru yang memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang berguna).
Bertolak dari berbagai
pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk mampu
memvisualisasikan objek bahasan yang bersifat abstrak dan selalu mengusahakan
alat bantu pembelajaran, terutama yang berhubungan dengan alat peraga atau alat
praktik yang mampu memudahkan dan mempercepat pemahaman siswa. Selain itu,
dengan mengajak siswa untuk menghasilkan suatu produk yang didasari
konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan pelajaran lebih bermakna.
Kekurangsiapan sebagian guru dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan
materi pelajaran dengan kehidupan nyata, yang berakibat siswa menjadi asing
dengan kebermanfaatan pelajaran Geometri, harus segera diantisipasi dengan
model pembelajaran yang mampu mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.
Jika tidak sejak dini dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang
diterimanya di kelas ke dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak dapat
mengaitkan konsep-konsep pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang
ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa seperti itu
bagaikan Gatotkaca yang dapat
terbang melangit namun tidak mampu menapak bumi. Dengan kata lain, guru perlu
mengajak siswa melakukan “aksi” dalam kegiatan belajar mengajar untuk
meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran, menemukan
keterkaitan materi dengan masalah nyata, serta menguatkan daya ingat siswa
terhadap rumus-rumus yang ditemukan lewat kegiatan nyata (aksi) tersebut. Hal
ini diharapkan dapat mengurangi frekuensi khayalan (ilusi) yang telah melanda
sebagian siswa, sebagai akibat kurangnya pengetahuan mereka terhadap
keterkaitan materi pelajaran dengan objek nyata.
Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu dapat dipandang sebagai
dua kutub yang bertolak belakang. Tetapi, jika cara visualisasi atau
pemodelannya salah, maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan
terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu
kehati-hatian guru dalam memilih padanan objek agar tidak berbalik menyesatkan
siswa. Gambar berikut menunjukkan terjadinya “kegamangan konsep” akibat adanya
aksi yang tidak pas.
Gb. 1: Aksi yang belum pas menimbulkan
”kegamangan”
Jika guru menampilkan gambar/sketsa,
maka gambar tersebut harus memenuhi syarat dari segi kesesuaian bentuk dan
perbandingan ukuran. Seperti yang telah
disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana
kontribusi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, dapat digambarkan dalam
bentuk grafik sebagai berikut:
Solusi yang ditawarkan dalam
kesempatan ini diharapkan sekaligus juga dapat menjawab atau paling tidak
meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan akibat kondisi awal
atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan dalam
menghubungkan antara gambar bangun dengan rumusnya, kecenderungan siswa untuk sekedar menghafal
rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan dalam mengkonversi bangun
dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam mengubah variabel pokok
dari suatu formula.
B. “Sipitu” sebagai Sebuah Model Pembelajaran
Rendahnya prestasi belajar
Matematika siswa, khususnya menyangkut pokok-pokok bahasan Geometri, telah
memotivasi penulis melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Kelemahan
mendasar yang dapat ditemukan pada siswa yang menjadi tanggung jawab penulis
antara lain kelemahan siswa dalam mengingat rumus-rumus Geometri yang demikian
banyaknya. Sebagian besar siswa hanya bersifat ”menghafal” rumus dan tidak
memahami bagaimana asal mula terbentuknya rumus tersebut. Akibatnya mereka
cepat lupa, karena kekuatan mengingat manusia sangat terbatas, seperti yang
dikemukakan Negoro dan B. Harahap (1984) bahwa baik siswa, guru, bahkan
profesor pun tidak dapat mengingat semua rumus yang pernah dipelajarinya.
Bertolak
dari fenomena itu, pada semester genap tahun ajaran 2005/2006 penulis mencoba
mengajak siswa untuk berpikir bahwa rumus bukanlah satu-satunya cara untuk
menghitung. Rumus yang banyak jumlahnya itu tidak perlu dianggap sebagai beban
yang harus dihafalkan semuanya. Selanjutnya penulis terapkan model pembelajaran
”Sipitu”, yang merupakan singkatan
dari aksi-pikir-tulis. Artinya,
model pembelajaran ini menekankan pada tiga hal penting, yaitu: kerja praktik
(aksi), memikirkan konsep atau rumus yang diperoleh dari kerja praktik (pikir),
dan menyusun serta menulis konsep atau rumus tersebut (tulis). Adapun hasilnya
cukup positif, selain motivasi belajar siswa meningkat, kelompok siswa yang
sebelumnya memiliki nilai ulangan Geometri rata-rata di bawah 6,5, setelah
dilakukan inovasi pembelajaran menjadi di atas 7,0. Hasil penelitian ini,
secara ringkas disajikan pada lampiran 2.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Dalam geometri objek yang
dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak. Jika objek
yang abstrak ini disajikan oleh guru hanya dalam bentuk wacana belaka, maka
siswa akan mempelajari Geometri secara khayalan. Mereka berhalusinasi dalam
memikirkan konsep yang abstrak tanpa pernah diketahui padanannya dengan benda
nyata yang dapat ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari.
Untuk mengantisipasi hal itu,
guru perlu melakukan inovasi pembelajaran dengan melibatkan siswa secara
langsung dalam kegiatan kerja praktik. Atau setidaknya, pada waktu guru
membicarakan objek Geometri, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar
dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu
ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat
diamati sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konhret dari suatu benda pikiran
dapat berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda
membicarakan tentang kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus
atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya.
Satu penawaran tentang model
pembelajaran yang telah terbukti memberikan hasil positif di SMP Negeri 1 Singaraja
adalah “Model Pembelajaran Sipitu”. Model pembelajaran ini telah diujicobakan
beberapa kali dan ternyata berdampak positif terhadap peningkatan motivasi dan
prestasi belajar siswa.
B. Saran-saran
Seiring dengan simpulan
tersebut di atas, dalam kesempatan ini dikemukakan beberapa saran, yaitu:
- Kepada guru Matematika diharapkan segera melakukan pembaharuan pembelajaran, terutama untuk pokok-pokok bahasan Geometri, mengingat materi ini relatif sulit bagi siswa pada umumnya.
- Kepada kepala sekolah diharapkan senantiasa mendukung upaya yang dilakukan guru untuk memperbaiki kualitas pembelajarannya, baik dalam bnetuk moril maupun material sesuai dengan kemampuan lembaga yang dipimpinnya.
- Kepada pihak-pihak terkait, yang berkompeten dalam bidang pendidikan, seperti Dinas Pendidikan dan jajarannya, diharapkan menyediakan anggaran bagi guru untuk melakukan kegiatan inovasi pembelajaran dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, terutama pada jenjang Pendidikan Dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Rahmani
(Penerjemah). 2002. The
Accelerated Learning (Dave Meier).
Bandung: Mizan Media
Utama.
Iswadji, Djoko, dkk. 1995/1996. Materi Pokok Geometri Ruang, Modul 1-9. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Murtanto, Yudhi.
2002. Sekolah Para Juara, Menerapkan
Multiple Intellegences di
Dunia
Pendidikan. Bandung:
Kaifa.
Oka Yadnya, I
Gusti Agung. 2006. Penerapan Model
Pembelajaran “Sipitu Berbasis
Gambar” untuk Meningkatkan
Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika
(Geometri) Siswa Kelas VII
SMP Negeri 1 Singaraja
(Laporan Penelitian
Tindakan Kelas). Singaraja: /t, p/.
Stein,Edwin I. 1980. Fundamentals
of Mathematics. Seventh Edition. Boston:
Allyn and
Bacon, Inc.
Seminar Pendidikan Matematika
Problematik Pembelajaran Geometri:
Antara ”Action” dan ”Illusion”
Oleh
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya
Disajikan pada
Seminar Pendidikan Matematika tentang
Pemantapan
Konsep dan Pemecahan Masalah
Pembelajaran
Geometri pada
Pendidikan
Dasar
Universitas
Pendidikan Ganesha
(Undiksha)
Singaraja
Nopember
2008.
Tahun 2008
Lampiran 1
Cakupan Materi Geometri di SMP dan Ttitik
Krusialitasnya
Materi Geometri di SMP meliputi
garis, sudut, bangun datar, kesebangunan, bangun ruang, dan Pythagoras. Standar
Kompetensi Lulusan yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP),
khususnya menyangkut materi Geometri adalah sebagai berikut:
Memahami bangun-bangun geometri, unsur-unsur dan
sifat-sifatnya, ukuran dan pengukuran, meliputi: hubungan antar garis, sudut
melukis sudut dan membagi sudut), segitiga (termasuk melukis segitiga) dan segi
empat, teorema Pythagoras, lingkaran (garis singgung sekutu, lingkaran luar dan
lingkaran dalam segitiga dan melukisnya), kubus, balok, prisma, limas dan
jaring-jaringnya, kesebangunan dan kongruensi, tabung, kerucut, bola, serta
menggunakannya dalam pemecahan masalah sehari-hari dan bidang lain (BSNP, 2006:
23).
Sebagian di antaranya memiliki
titik-titik krusial bagi siswa SMP. Berikut ini disajikan beberapa contoh pokok
bahasan Geometri yang mengandung titik-titik krusial.
Tabel 1:
Beberapa Pokok Bahasan Geometri dan Titik Krusialitasnya
No
|
Pokok Bahasan
|
Titik Krusialitasnya
|
1
|
Garis dan Sudut (di Kelas VII)
|
-
Pengaplikasian perbandingan ke dalam pokok bahasan
ini.
|
2
|
Segi Empat dan Segitiga (di
Kelas VII)
|
-
Mengingat rumus-rumus luas yang demikian banyak dan
variatif.
-
Mengidentifikasi alas dan tinggi segitiga yang
beraneka ragam jenis dan posisinya.
|
3
|
Lingkaran
|
-
Luas tembereng, jika sudut pusatnya bukan sudut
istimewa.
|
4
|
Kesebangunan
|
-
Mengenali sisi-sisi bersesuaian pada bangun yang
bersifat kompleks.
|
5
|
Bangun Ruang Sisi Datar (di
Kelas VIII)
|
-
Pengaplikasian bentuk aljabar ke dalam pokok bahasan
ini.
|
6
|
Dalil Pythagoras (di Kelas
VIII)
|
-
Mengenali bangun-bangun yang dibuat kompleks dan
rumit.
-
Perhitungan
akar, jika ukuran-ukuran yang diberikan bukan bilangan kuadrat.
|
7
|
Bangun Ruang Sisi Lengkung (di Kelas IX)
|
-
Proses penurunan rumus-rumusnya.
-
Mengingat rumus-rumus volum, luas permukaan, dan luas
selimut yang cukup banyak dan beraneka ragam.
|
8
|
Dan lain-lain
|
-
Dan lain-lain
|
BIODATA PENULIS
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya, Lahir di Desa Bongkasa, Abiansemal Badung
pada tahun 1963. Pendidikannya dimulai dari SD No. 1 Bongkasa, kemudian
berlanjut ke SMP Negeri Blahkiuh dan SMA Negeri Mengwi. Setamat SMA, melanjutkan studi ke FKIP Unud
Singaraja. Diploma Satu Pendidikan Matematika diselesaikan tahun 1984. Ketika
diangkat menjadi Guru, tepatnya di SMP Negeri 1 Singaraja tahun 1985, sekaligus melanjutkan ke jenjang
S1 Pendidikan Matematika di perguruan tinggi yang sama, yang diselesaikan tahun
1989.
Prestasinya dalam Kejuaraan Guru di Tingkat Propinsi:
-
4
Kali menjadi juara Karya Tulis Ilmiah di tingkat propinsi
-
2
kali menjadi juara Lomba Artikel tingkat propinsi.
Prestasinya dalam Kejuaraan Guru Tingkat Nasional:
-
5
kali menjadi juara Kreativitas Guru Tingkat Nasional yang digelar LIPI.
-
2
kali menjadi juara Keberhasilan Guru Tingkat Nasional yang digelar Depdiknas.
-
2
kali menjadi juara LKTI ”Lingkungan Hidup” Tingkat Nasional yang digelar
Depdiknas.
-
2
kali menjadi juara dalam Simposium Guru tingkat nasional.
Pengalaman Presentasi di Tingkat Nasional:
- Menjadi juara I Presentasi Pembelajaran Guru MIPA digelar Universitas Negeri Yogyakarta.
- Menjadi juara III Presentasi Pembelajaran Guru MIPA Nasional yang digelar UPI bekerjasama dengan JICA.
Karya tulis yang pernah diterbitkan:
-
tiga
karya diterbitkan oleh LIPI
-
satu
karya diterbitkan oleh Depdiknas.
-
Satu
karya diterbitkan oleh UPI – JICA.
Lain-lain:
Pernah menjadi Juara III Guru Teladan se-Bali.
Komentar
Posting Komentar