KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Pendidikan
sebagai Fardlu ‘ain
Disadari
bahwa pendidikan sangatlah penting, karena dari sanalah ditentukan kualitas
sumber daya manusia sebuah masyarakat. Dalam Islam, pendidikan diarahkan bagi
terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian Islam yang tercermin dalam cara
berfikir dan berperilaku yang berlandaskan pada ajaran Islam, memahami tsaqafah
Islam dan menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan keahlian). Sumberdaya
manusia yang bermutu merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang
baik. Sementara, sumberdaya manusia yang buruk secara pasti akan
melahirkan masyarakat yang buruk pula.
Dalam banyak ayat dan hadits telah dijelaskan
mengenai kewajiban menuntut ilmu dan mendudukkan orang-orang yang berilmu dalam
posisi yang tinggi. Terkait dengan posisi sebagai seorang muslim yang harus
senantiasa terikat dengan syariah, maka mencari ilmu adalah kewajiban yang yang
harus dipikul oleh setiap individu (fardlu ‘ain). Karena Islam melarang beramal
dengan tanpa landasan ilmu yang jelas. Sedangkan menguasai ilmu-ilmu lain bersifat fardlu kifayah
(fardlu atas sebagian kaum muslimin) yang tidak akan gugur kewajiban mencarinya
sebelum sebagian kaum muslimin berhasil melaksanakannya dalam batas yang
mencukupi. Misalnya ilmu ekonomi, kedokteran, industri, elektronika, mekanika
dan ilmu-ilmu lain yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan dalam kehidupan kaum
muslimin.
Kaidah syar’i ‘maa laa yatimmu al wajib illa
bihi fa huwa wajib’ menegaskan bahwa seluruh aspek pendukung bagi
terlaksananya kewajiban pendidikan (menuntut ilmu) menjadi sesuatu yang wajib
pula. Dengan kata lain menyelenggarakan pendidikan, menyediakan guru yang
memadai, buku-buku, gedung, perpustakaan dan sarana lainnya menjadi sesuatu
yang wajib.
Yang kemudian menjadi persoalan adalah siapa
sebenarnya yang memiliki kewajiban untuk itu. Individu, masyarakat ataukah
negara? Inilah yang menjadi pangkal persoalan kebijakan pembiayaan pendidikan.
Komersialisasi Pendidikan
Kebijakan pendidikan di Indonesia memiliki kecenderungan
menyerahkan urusan pendidikan kepada individu dan masyarakat (private).
Pendidikan bukan lagi menjadi bagian wilayah public yang dijamin oleh
negara. Individu dan masyarakatlah yang memiliki kewajiban awal untuk
mengupayakan secara mandiri sedangkan negara bertindak sebagai benteng terakhir
jika ada sebagian masyarakat yang tidak mampu memenuhinya.
Dampak otonomi daerah sebagai kebijakan
pengelolaan pemerintahan di Indonesia
memang luar biasa. Masing-masing kabupaten menjadi ‘negara kecil’ yang bebas
mengeluarkan kebijakan khususnya tentang pembiayaan pendidikan. Karena
pendapatan asli daerah (PAD) beragam, dijumpai beberapa kabupaten ‘kaya’ mampu
membebaskan biaya pendidikan (gratis) yang besar sedangkan daerah lain yang
miskin harus bersusah payah mensubsidi pendidikan.
Dalam skala nasional, munculnya BHMN, KBK dan MBS
adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri
berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi
favorit sebagai percontohan. Kisah gagalnya siswa berpotensi masuk ke perguruan
tinggi tersebut lantaran ketidakmampuan membiayai, kerap hadir di media massa menjelang tahun
ajaran baru. Tak pelak, kekhawatiran tentang nasib pendidikan generasi akibat
komersialisasi pendidikan semakin menguat. Kita tentunya perlu waspada jangan
sampai pameo ‘orang miskin dilarang sekolah’ akhirnya terbukti.
Kebijakan Islam
tentang Pembiayaan Pendidikan
Negara
dalam pandangan Islam semestinya bertanggungjawab atas terselenggaranya
pendidikan yang murah, bermutu dan Islami
bagi seluruh rakyat, menyediakan sarana prasarana yang memadai, guru
yang berkualitas dan biaya operasional, terutama mengarahkan agar sistem pendidikan yang diselenggarakan mampu
mewujudkan tujuan pendidikan Islam.
Maka,
semestinya pendidikan harus ditempatkan
sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat (public services) semata
yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Membiarkan pendidikan berkembang
sebagai sebuah industri yang selalu menghitung cost and benefit sehingga
cenderung makin mahal sebagaimana tampak dewasa ini jelas bertentangan dengan
prinsip pendidikan untuk seluruh rakyat sebagai public services tadi karena pasti tidak semua rakyat mampu
menikmatinya secara semestinya.
Model
pendidikan yang baik semestinya bisa
disediakan oleh negara karena negaralah
yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu, termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana, prasarana yang
memadai dan SDM yang bermutu. Dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, pemerintah akan bertumpu pada dua elemen sistem besar,
yakni ekonomi dan politik. Politik akan melahirkan kebijakan-kebijakan,
sementara ekonomi akan melahirkan pengeloalaan sumber-sumber ekonomi dan dana.
Kedua fungsi ini akan saling menunjang penyelenggaraan layanan umum (public
services) yang merupakan kewajiban negara untuk setiap warga negaranya. yakni pada lapangan
kesehatan, pendidikan, keamanan dan infrastruktur.
Hal
inilah yang pernah terjadi pada masa kejayaan Islam. Pendidikan dilaksanakan
oleh negara secara murah bahkan cuma-cuma untuk seluruh rakyat.
Rasulullah
SAW pernah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar, bahwa
para tawanan itu bisa bebas dengan mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam
baca-tulis.
Dengan
tindakan itu, yakni membebankan
pembebasan tawanan itu ke baitul mal dengan cara menyuruh para tawanan
tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis, berarti Rasulullah SAW telah
menjadikan biaya pendidikan setara
dengan barang tebusan. Artinya,
Rasul memberi upah kepada para pengajar
itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.
Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu
kisah dari Al Wadliyah bin atha’, yang mengatakan bahwa kepada ada tiga orang
guru yang mengajar anak-anak di Madinah,
Khalifah Umar Ibnu Al Khathab memberi gaji sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar =
4,25 gram emas).
Mengemban
dakwah Islamiyah adalah kewajiban atas segenap kaum Muslimin:
“Serulah
(manusia) ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik …” (QS An
Nahl 125).
Juga
sabda Rasulullah SAW:
“Sampaikan
apa yang berasal dariku walaupun hanya satu ayat” (HR Bukhari).
Tetapi, mungkinkah tugas dakwah
dan tabligh itu dapat terlaksana tanpa adanya pendidikan ?
Al-Badri (1990) juga menceritakan bahwa Imam Ibnu Hazm
dalam kitab Al Ahkaam, memberikan batas
ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan agar ibadah dan mu’amalah
kaum muslimin dapat diterima (sah). Ia menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala
negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:
“Diwajibkan
atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu
untuk mendidik masyarakat.”
Di masa
kejayaan Islam, sejak abad 4 Hijriah
telah dibangun banyak sekolah Islam.
Tetapi sebelum sekolah semodel itu dikembangkan, pendidikan ketika itu
biasanya dilakukan di dalam masjid, majelis-majelis taklim dan tempat-tempat
pendidikan keterampilan lainnya.
Muhammad Athiyah Al Abrasi dalam buku Dasar-dasar Pendidikan Islam,
memaparkan usaha-usaha para khalifah untuk membangun sekolah-sekolah itu.
Dalam
perkembangannya, setiap khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi Islam
dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan. Pada
setiap sekolah tinggi dilengkapi dengan iwan (auditorium, gedung
pertemuan), asrama penampungan mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga
dilengkapi dengan kamar mandi, dapur dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi.
Di antara
sekolah-sekolah tinggi yang terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah
Al Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah
An-Nashiriyah di Kairo. Di antara madrasah-madrasah tersebut yang terbaik
adalah Madrasah Nizhamiyah. Sekolah ini
akhirnya menjadi standar bagi daerah lainnya di Irak, Khurasan (Iran) dan
lainnya.
Madrasah Al
Mustanshiriyah di Baghdad didirikan oleh Khalifah Al Mustanir pada abad ke–6
Hijriah. Sekolah ini memiliki sebuah auditorium dan perpustakaan yang dipenuhi
berbagai buku yang cukup untuk keperluan proses belajar mengajar. Selain itu, madrasah ini juga dilengkapi
dengan pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat. Madrasah lain
yang juga cukup terkenal adalah Madrasah Darul Hikmah di Kairo yang didirikan
oleh Khalifah Al Hakim Biamrillah pada tahun 395 H. Madrasah ini adalah institut pendidikan yang
dilengkapi dengan perpustakaan dan sarana serta prasarana pendidikan lainnya.
Perpustakaannya dibuka untuk umum.
Setiap orang boleh mendengarkan kuliah, ceramah ilmiah, simposium,
aktifitas kesusastraan, dan telaah agama.
Pada perpustakaan ini, seperti juga pada perpustakaan lainnya, dilengkapi dengan ruang-ruang studi dan ceramah serta ruang
musik untuk refreshing bagi pembaca.
Berdasarkan
sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah – sebagaimana disarikan oleh
Al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam,
negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan
kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin.
Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban
yang harus dipikul negara serta diambil dari kas baitul maal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut
didasarkan atas ijma shahabat yang memberi gaji kepada para pengajar dari baitul
maal dengan jumlah tertentu. Di Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan
Khalifah Al Muntashir di kota Baghdad, setiap siswa menerima beasiswa
berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin
sepenuhnya. Fasilitas sekolah tersedia lengkap, seperti perpustakaan beserta
isinya, rumah sakit dan pemandian.
Begitu pula dengan Madrasah
An-Nuriah di Damaskus yang didirikan
pada abad keenam Hijriah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky.
Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf
pengajar, tempat peristirahatan untuk
siswa, staf pengajar dan para pelayan serta ruang besar untuk ceramah. Dan
jauh sebelumnya, Ad Damsyigy mengisahkan dari Al Wadliyah bin Ataha’
bahwa Khalifah Umar Ibnu Khattab memberikan gaji kepada tiga orang guru yang
mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan
(1 dinar = 4,25 gram emas).
Langkah
Praktis
Guna
mengatasi problem komersialisasi pendidikan, maka perlu dilakukan
langkah-langkah yang sistematis dengan merombak semua sistem mulai paradigma
pendidikan hingga paradigma ekonomi. Beberapa langkah praktis yang harus
dilakukan di Indonesia
antara lain:
1.
Meninjau ulang kebijakan penetapan sebagai
BHMN (Badan Hukum Milik Negara) kepada sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
yang telah terbukti makin membuat mahal biaya pendidikan di tempat itu sehingga
sangat memberatkan dan menyakiti rakyat. Juga mengawasi agar otonomi
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah tidak membuat biaya makin melambung yang tidak
terangkau oleh rakyat banyak.
2.
Menghentikan komersialisasi pendidikan karena
secara pasti hal itu akan mengancam terpenuhinya hak seluruh rakyat untuk
mendapatkan pendidikan yang bermutu tinggi, murah, dan Islami.
3.
Melaksanakan penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia secara murah, bermutu tinggi
dan Islami bagi seluruh rakyat sebagai
bagian dari public services semata yang diberikan oleh negara kepada
rakyatnya sehingga terlahir secara massal SDM yang berkepribadian Islami dan
berkualitas unggul yang memiliki daya
saing internasional yang tinggi yang akan mampu mengangkat bangsa dan negara
ini dari berbagai keterpurukan yang ada.
4.
Melaksanaan pengelolaan harta kekayaan negara
dan kekayaan alam sebagai milik umum rakyat sesuai dengan syariah sehingga
dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi pembiayaan pelayanan publik, termasuk
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, murah, dan Islami.
5.
Menyadari bahwa apa yang dilakukan negara dan
pemerintahan kepada rakyatnya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah
SWT di hari kiamat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Seorang Imam
(Kepala Negara) yang memimpin manusia adalah laksana penggembala, dan dia akan
dimintai pertanggungawaban tentang pemeliharaan urusan rakyatnya” (HR. Al
Bukhari).
Komentar
Posting Komentar